Sabtu, 05 September 2015

Mahasystem Chapter 2


Mahasystem
Chapter 2: The Top Loser

“Den ada telpon...”
“Aku tahu” ujarku seraya tetap mengayunkan pedang. “Men!” kuayunkan sebuah pedang kayu. “Kote!” aku melangkah maju seraya mengayunkan pedang kayuku lagi, suara berdecit keluar dari lantai kayu diantara jemari kakiku “Do!” teriakku seraya mengarahkan pedang ke arah perut pembantuku. Pak Hardi namanya.
“De-een...” lengan pak Hardi tampak bergetar karena takut. Aku tersenyum.
“Sambungkan telponnya”
“Silahkan den...” pak Hardi mengambil sebuah remote dan dari arah langit-langit muncul sebuah layar LED ukuran 72 inch. Dari situ muncul wajah ayahku yang percayalah, wajahnya benar-benar memenuhi layar itu. Membuatku merasa akan berbicara dengan seorang raksasa.
“Alex! Apa-apaan ini, kamu masih saja bermain dengan mainan itu? Cepat buang!” ayahku menghardik.
“Aku ini atlit kendo pah, lagian ini bukan mainan. Ini namanya boken, pedang kayu... lain kali kalau papah ke Jepang belikan aku katana dong... ya ya ya?”
“Kamu ini, kemarin papa sudah belikan kamu samurai kan?”
“NO. No no no. Katana pah, bukan samurai. Ok? Samurai itu cuma predikat saja, katana itu baru nama pedangnya. Lagipula yang papah bawa waktu itu cuma replika, papa dapat darimana?”
“Dari pandai besi di daerah Garut...”
“Oh ok.”
“Sebenarnya mereka ahli membuat perkakas”
“So?”
“You know, seperti panci, wajan dan semacamnya...”
“Whatevah.....”
“Lagipula kamu ini kenapa? Kenapa harus kendo? Banyak jenis seni beladiri yang lain yang tidak bergantung pada alat. Kita punya pencak silat, sebagai aliran bela diri asli milik bangsa. Kenapa harus kendo?” tanya ayahku. Aku terdiam.
“Papa sendiri, kenapa harus kerja diluar negeri?” aku bertanya, ayahku terdiam sejenak lalu menghela nafasnya.
“Papa tau, papa mungkin jarang ada buat kamu tapi... papa benar-benar dibutuhkan disini dan lebih penting dari itu, bagaimana keadaan kamu?”
“Aku baik-baik aja pah. Pak Hardi mengurusku dengan baik” ujarku seraya menepuk bahu pak Hardi. Pak Hardi langsung bertingkah gugup seraya tersenyum.
“Hardi... saya benar-benar tidak tahu bagaimana lagi caranya untuk berterima kasih. Tapi tolonglah... jaga anak saya ini baik-baik. Satu-satunya harta yang paling saya jaga ini... saya tau dia agak berandalan dan sedikit manja tapi tolong...”
“Pah...”
“Apapun itu, saya mohon lindungi anak saya ini seperti kamu melindungi diri kamu sendiri...”
“Pah!”
“Saya mengerti. Siap juragan!” seru pak Hardi.
“Cih. Yang benar saja, pah, aku ini bukan anak kecil lagi, perlindungan apa? Aku ini atlit kendo setara kyoshi dan belajar kenjutsu juga, jadi apa yang musti ditakutkan?”
“Alex, papa bersyukur kamu memilih untuk tinggal disini, di kediaman papa, ketimbang memilih tinggal bersama ibumu yang miskin itu. Hah, perempuan itu... dia bahkan seenaknya mengambil hak asuh adikmu, ah, tapi sudahlah... bagaimanapun papa senang kamu bisa memilih dengan bijak.”
“Pah, usiaku ini sudah 23 tahun, tentu aku tidak seperti Rossa yang memilih tinggal bersama ibu. Aku ini laki-laki... dan aku butuh uang... butuh kekayaan papa, kediaman papa ini? Aku menginginkannya juga. Jadi bagaimana jika mulai sekarang rumah ini, berikut mobil-mobil itu, jadi milikku?”
“Ah, tentu saja semua itu punya kamu sekarang, rumah itu, mobil-mobil itu. Semuanya”
“Semuanya? Benarkah? Termasuk semua kepemilikan saham papa di perusahaan? Semua uang tabungan, harta simpanan dan wanitanya juga?”
Ayahku terdiam. Menarik bibirnya keatas seraya melotot ke arahku.
“Jujur saja pah, papa menghubungiku bukan karena merindukanku bukan?” ujarku lagi.
Ayahku pun menarik bahunya dan menyenderkannya di kursi.
“Setidaknya yah, papa memang mengkhawatirkan kesehatanku... tapi yang paling papa khawatirkan sebenarnya adalah cabang perusahaan papa disini. Lebih tepatnya papa memanfaatkanku untuk menjaga tahta kepemimpinan papa di perusahaan, tak ada lagi yang bisa papa percaya di negeri ini selain pak Hardi dan juga aku, anakmu. So, jika aku menginginkan seluruh aset kekayaan papa di negeri ini, bukankah itu hal yang wajar?”
“Aku mengerti keinginanmu nak... tapi...”
“Atau papa lebih memilih aku menjadi tunawisma yang penyakitan dan meninggalkan papa tanpa keturunan, sehingga semua orang tau bahwa satu-satunya pewaris keluarga Wong tengah ditelantarkan oleh orang tuanya... kupikir jika itu terjadi bahkan wall street sendiri akan meledak... saham perusahaan papa akan anjlok karena serangan opini dan para pesaing bisnis papa akan memanfaatkan ini melalui pemberitaan media dan wajah papa akan muncul dalam cover majalah TIME...”
Ayahku kemudian tertawa terbahak-bahak.
“Kau tahu, aku bisa saja mengambil kembali adikmu, tidak semudah itu untuk menjatuhkan ayahmu ini nak... tidak semudah itu”
“Tentu. Namun dengan surat kuasa sementara yang telah papa berikan padaku untuk memegang pimpinan perusahaan, papa pikir berapa banyak bawahan papa yang siap mengkhianati papa dibawah kepemimpinanku? Jika aku menginginkannya aku akan membiarkan perusahaan papa untuk go public
“Hahahaha. Bagus. Sekarang papa benar-benar yakin kamu adalah anakku... kau... Alex... kamu benar-benar anak papa, kamu sama cerdasnya denganku... hahaha” lalu ayahku menghentikan tawanya seraya menatapku tajam “Dan kamu... sama busuknya seperti ibumu...”
Tak menunggu lama, aku melangkah cepat ke arah layar LED itu dan mengayunkan pedang kayuku hingga patah. “Jangan... pernah... seenaknya... menghina ibuku!” aku bergumam dan layar pun pecah berkeping-keping... suara ayahku tak lagi terdengar.
“Hardi...!” seruku.
“Iya den?”
“Segera siapkan mobil... kita ke kampus sekarang...”
“Kampus den? Tapi rapat di kantor hari ini...”
“Tidak, aku benar-benar tidak tertarik dengan perusahaan konyol itu. Satu lagi... mulai sekarang jangan panggil aku den... panggil aku bos...”
“Ba-Baik... den... eh... bos...”
Namaku Alex Rolland. Aku seorang pria keturunan Tionghoa. Meski begitu, tidak ada yang melihatku atau menganggapku sebagai orang keturunan, itu karena... aku sudah terlahir berbeda dengan manusia lainnya. Ayahku, Rolland Wong, merupakan salah satu orang terkaya di negeri ini. Dan kau pasti bertanya mengapa namaku Alex Rolland dan bukan Alex Wong, jawabannya sederhana saja, itu karena di negeri ini nama belakang tidak begitu penting, aku sendiri tidak mengerti kenapa nama Rolland menjadi nama belakangku, mungkin hanya sebagai tambahan saja atau apa itu aku tidak tahu. Selain itu ayahku juga memiliki banyak istri dan wanita simpanan, namun sayangnya tak ada satu pun diantara mereka yang bisa memberikannya anak kecuali... ibuku. Ibuku sendiri merupakan wanita jawa sederhana yang sejak awal tidak pernah tau bahwa laki-laki yang ia nikahi itu merupakan konglomerat papan atas... selama ini ayahku menyembunyikan pekerjaan dan statusnya yang membuat kami harus hidup prihatin bertahun-tahun menunggu kepulangannya setiap hari. Namun semua rahasia itu terbongkar saat ayahku dengan gaya hidup hedonisnya divonis dokter bahwa ia tidak akan bisa lagi mendapatkan keturunan. Kupikir itu karma, karena telah menelantarkan aku dan adikku Rossa. Sadar bahwa ia tak lagi memiliki penerus, tepat pada saat aku lulus dari sekolah menengah atas, ayahku kembali. Ia kembali begitu saja setelah bertahun-tahun menghilang dan berkata ingin membawaku pergi. Ayah dan ibuku mengalami pertengkaran hebat, yang berakhir di pengadilan. Hingga akhirnya perebutan hak asuh anak pun dimulai. Saat itu Rossa masih berusia 10 tahun, dan dibawah pengaruh ayahku pengadilan memutuskan bahwa seluruh hak asuh anak jatuh kepada ayah. Rossa tidak pernah mengenal ayah, ia masih dalam kandungan saat ayahku pergi. Ditambah lagi ayah tidak pernah menginginkan Rossa, yang dia inginkan adalah seorang penerus laki-laki yaitu aku. Sadar bahwa ini tidak adil untuk adik maupun ibuku, aku menawarkan kesepakatan pada ayahku, bahwa ia harus mengubah keputusan pengadilan dengan pengaruhnya lagi, membiarkan Rossa untuk hidup dengan kasih sayang ibunya juga penghidupan yang layak yang tak pernah ia berikan selama ini dan sebagai gantinya ia boleh membawaku. Aku. Seorang anak yang sejak kecil hidup menderita dalam kemiskinan juga dikucilkan anak-anak lainnya. Sejak kecil aku tidak memiliki teman, mereka selalu menganggapku... berbeda. Dan dengan kesepakatan yang kubuat itu, kini aku bisa menduduki jok empuk Royce seraya membaca surat kabar dan menikmati segelas coffeelatte. Tidak lupa asistenku yang merangkap sebagai sopirku... Hardi.
“Berita baik den... eh bos?” Hardi bertanya.
“Entahlah, coba kulihat... hm... seorang pria yang dipastikan tewas karena mengalami kecelakaan tabrak lari hidup kembali setelah... dicium seorang wanita cantik misterius? Berita macam apa ini...? Mengapa hal seperti ini malah bisa dijadikan headline sih? Haaah... ada-ada saja, tampaknya kualitas media cetak akhir-akhir ini cukup mengkhawatirkan... lain kali kau pilih langganan yang bagus...!”
“Ah... ya... siap bos! Nanti saya ganti korannya!”
“Ya... ya... besok-besok aku tidak mau membaca hal-hal seperti ini”
“Tapi apa itu tidak aneh bos? Barangkali mobil yang dikendarai korban merupakan mobil yang cukup canggih sehingga bisa menyelamatkan pengendaranya dari kecelakaan...”
“Tidak, tidak, disini dituliskan bahwa korban hanya bersepeda, sedangkan pelaku tabrak larinya sendiri menggunakan mobil jenis Lamborghini Gallardo...”
“Lamborghini Gallardo... mobil sport macam itu menabrak sebuah sepeda pastinya dengan kecepatan tinggi kan bos?”
“Hah. Tau apa kau tentang mobil? Lamborghini Gallardo... mobil norak macam itu tidak akan sanggup menghadapi jalanan macet seperti ini... mesin yang cepat panas jika dikemudikan dengan kecepatan rendah... merepotkan saja. Ayahku tidak memiliki mobil semacam itu di garasinya kan?”
“Ada bos!”
“Apa?”
“Iya bos. Ada, Lamborghini juga, hanya saja tipe Murcielago-nya bos.”
“Murcielago? Itu jauh lebih keren dari Gallardo kan?”
“Tentu saja, baik secara performance maupun body kit-nya mobil juragan itu jauh lebih bagus bos”
“Mobil ayahku itu... adalah mobilku juga. Ingat itu. Ngomong-ngomong soal mobil, kau ingat dengan dua perempuan yang menggembosi ban mobil kita kemarin?”
“Kupikir mereka berdua cukup cantik bos, yah, yang tuna netra juga”
“Kau ini. Hanya melihat segala sesuatu dari sisi luarnya saja... apa kau tidak berpikir bahwa mereka adalah mata-mata perusahaan Fabian? Perbaiki perspektifmu itu”
“Ah... iya... maaf bos, tapi bos... ngomong-ngomong kenapa bos memilih berlangganan koran ketimbang membacanya langsung di internet? Itu kan jauh lebih praktis dan mudah bos?”
“Jaga bicaramu itu, apa kau sedang mengolok-olokku hah?”
“Ah tidak bos... sama sekali tidak bos... maaf”
“Mataku ini... terasa sakit jika terkena cahaya berlebih, bahkan jika melihat layar tablet terlalu lama akan membuat mataku perih, itulah kenapa tadi kuhancurkan layar LED di rumah... yah tentu saja selain itu aku memang tidak suka pada pak tua yang menjelek-jelekan ibuku tadi... tapi jika ditanya mengapa aku lebih memilih membeli koran, itu karena dulu saat usiaku masih 8 tahun aku pernah menjadi seorang loper koran... jadi ini semacam sentimentilku saja”
“Dengan keadaan bos yang seperti itu... bos berjualan koran?”
“Ya, meskipun aku sangat membenci matahari, pak tua busuk yang tak bertanggung jawab itu membuatku harus menghadapi sinar matahari setiap harinya”
“Bos sebenarnya...”
“Apa?”
“Maaf bos tapi... ayah bos itu... dia sebenarnya orang baik... mungkin agak sulit untuk bawahan rendah seperti saya menjelaskan tapi sebenarnya beliau tidak seperti kelihatannya, beliau... selama ini... beliau...”
“Cukup! Jangan teruskan. Aku muak mendengar cerita omong kosong tentangnya.”
“Ah iya bos, maaf bos...”
“Berhenti disini, kita sudah sampai”
Akhirnya. Kampusku. Aku tidak pernah bermimpi untuk berkuliah, tadinya kupikir hanya orang-orang kaya saja yang mau belajar disini, terlebih penampilan para mahasiswa disini semuanya tampak seperti aktor dalam sinetron. Tapi sekarang keadaanku berubah. Setidaknya aku puas melihat ekspresi anak-anak manja itu... mereka melihat kedatanganku seperti melihat sosok raja. Apa mereka tidak pernah melihat mobil mewah sebelumnya? Dasar norak.
“Bos...  jangan lupa dengan kacamata dan payungnya” seru pak Hardi mengingatkanku. Segera kugunakan kacamata hitamku dan kukembangkan payungnya. Payung ini bermotif bunga sakura, warna merah muda dari kelopaknya memang tidak cocok untukku, tapi kuharap ini cukup untuk melindungiku dari sinar matahari sekaligus menarik perhatian para gadis.
“Jadi itu orangnya?” terdengar suara seorang mahasiswi berbisik.
“Iya, namanya Alex Rolland... dia mahasiswa terkaya disini, hampir setiap hari ia berganti mobil mewah...” sahut mahasiswi yang lain... aku hanya terkekeh dalam hati.
“Wah kalau dianterin pake mobil-mobil keren itu sih aku juga mau”
“Ya kan? Aku juga mau kalo diajak ngerasain duduk di mobil-mobil itu...”
Aku tersenyum, setibanya di lorong kampus, kututup kain payungku dan mengikatnya kembali.
“Tapi sayang sekali yaa...”
Bisikan-bisikan para mahasiswi itu masih saja terdengar, menghentikan langkahku sejenak.
“Iya... sayang sekali. Andai saja dia... tidak...”
“Albino...”
“Dia mungkin bisa terlihat lebih tampan...”
Cukup. Menyebalkan. Kutarik kembali senyum itu. Kupercepat gerak langkahku. Itu memang benar, aku albino. Kulit dan mataku tidak memiliki warna. Lantas apa? Itu hanya istilah saja bahwa tubuhku tidak memiliki warna, bukankah kulit putih pucatku ini selayaknya juga berwarna putih? Rambutku yang tampak pirang bukankah itu adalah warna? Pupil mataku yang berwarna merah muda, bukankah ini juga warna? Ini hanyalah kelainan pigmen... ini adalah bukti bahwa aku spesial, tapi mengapa kalian melihatku seperti ini? Aku sendiri bisa menerima perbedaanku dengan yang lainnya, lantas mengapa orang lain tidak bisa menerima perbedaanku? Aku... selama hidupku harus menerima tekanan, dianggap berbeda, bagi mereka itu hanya umpatan kecil. Ejekan yang tidak berarti, Bagiku, untuk merasakan bahwa aku tidak sama dengan yang lainnya adalah menyebalkan... tak ada satupun manusia di bumi yang mengerti... bahkan orang kulit hitam yang didiskriminasi masih bisa memiliki teman... lantas mengapa kalian harus menjauhiku? Perasaan ini... mengapa Tuhan dengan begitu tega menciptakanku berbeda dengan yang lainnya?
Oculocutaneous albinism, begitulah para dokter menyebutnya. Suatu penyakit yang membuat tubuhku tak mampu membuat pigmen melanin atau dengan kata lain membuatku kehilangan warna pigmen pada rambut, kulit dan mataku. Meskipun ini tidak menular secara langsung, penyakit ini pun belum ada obatnya... ini adalah kelainan pada genetika, seperti sebuah identitas... atau sebuah kutukan. Karena penyakit ini aku tidak begitu nyaman dengan cahaya terang, atau sinar matahari... hanya dengan menyinari kulitku di siang hari itu sudah cukup untuk membuat kulitku terbakar. Sewaktu kecil aku selalu diasingkan oleh teman-teman sebayaku. Hanya Rossa yang melihatku sebagai seorang kakak yang keren ketika aku menyelamatkannya dari gangguan anak-anak nakal... saat itu Rossa memanggilku dengan sebutan pangeran vampir... ya, pangeran vampir adalah panggilan yang keren, sampai akhirnya suatu ketika anak-anak nakal itu kembali seraya membawa cermin dan dengan cermin itu mereka semua mengarahkan sinar matahari langsung padaku. Saat itulah aku lari... meninggalkan Rossa menangis sendirian diganggu dan dilempari bola-bola tanah. Rossa pulang seraya menangis, sedang aku hanya mengurung diri dalam kamar. Aku merasa sangat bersalah. Lalu semua itu terjadi, sore itu hujan turun. Aku yang merasa gagal untuk melindungi adikku segera keluar dari kamar, Kuambil sebatang kayu yang terbuat dari gagang sapu. Sebuah pembalasan dendam yang membuat anak-anak nakal itu mengingatku dengan sebutan “Vampir Berpedang...” sebutan lain yang akhirnya membawaku ke jalan pedang... kenjutsu. Aku mempelajari semua itu sewaktu remaja hingga akhirnya aku menjadi atlet di cabang olahraga pedang yang lain... kendo. Kini aku percaya bahwa dengan pedang dan keadaanku yang seperti ini pun, aku bisa melindungi siapapun. Tapi tidak. Bukan orang ini...
“Lu berani macem-macem ma gue hah?” ujar seorang pria bertubuh besar. Yang kutahu namanya Jefri, mahasiswa semester 8 jurusan teknik sipil, sudah 5 tahun lebih dia berkuliah disini.
“Ampun Jef... gua minta maaf... gua ga akan ulangi lagi...” yang meminta ampunan ini namanya Sigit. Dia sekelas denganku, jurusan ekonomi manajemen semester 4. Seorang pembuat onar.
“Kita buka aja semua bajunya terus kita ikat dia, kita gantung dia di pohon deket kantin, biar kita balas dia dengan bikin dia malu...” ide itu terlontar dari salah seorang kawan dari Jefri, jumlah mereka semua sekitar 8 orang.
“Tapi sebelum itu kita hajar dulu sampai puas...” ujar Jefri lagi.
“Ayolah bro, kawan-kawan... maafin gue... gue udah menyesal, please lepasin gue sekarang...” Sigit terus memohon. Tak ada yang mempedulikan, orang yang tak sengaja melihat pun membiarkan ini seolah tak terjadi apa-apa. Ini seperti adegan bullying pada film-film remaja Amerika, dan sayangnya di Indonesia jika itu bukan didalam kegiatan ospek kampus, hal seperti itu jarang terjadi. Dan jika itu terjadi satu-satunya alasannya pastilah bahwa orang yang menjadi korban adalah orang yang benar-benar pantas dihajar... mengetahui itu aku segera menjauh...
“Ah... siapapun... lepasin gue... Alex... lu Alex kan? Tolongin gue...Alex!! Woi!” sialnya Sigit memanggil namaku. “Alex!! Lu denger gue ga sih... tolongin gue...!!” aku mempercepat langkahku lagi seraya tetap tak peduli. Aku tidak ingin terlibat masalah disini. Terlebih jika itu bukan masalahku.
Jefri tersenyum terkekeh... “Alex hah? Bahkan temen bermuka pucat lu itu ga mau nolongin lu... mau apa lu sekarang?” ujar Jefri. “Lagipula apa yang bisa lu harapkan dari si albino bermuka pucat itu? Dia bahkan gak akan berani menghadapi matahari...” Tapi Sigit malah tersenyum dan menunjuk ke arah belakang Jefri... “Guys... kayanya kalian yang bakalan butuh pertolongan sekarang” ujar Sigit. Ya. Sejak tadi aku tengah berdiri di belakang mereka. Jefri dan kawan-kawan yang terkejut langsung berteriak panik...
“Muka pucat! Mau apa lu sekarang?!”
“Apa katamu barusan...?”
“Lu mau apa?!”
“Tidak... bukan yang itu... kalimat sebelumnya...”
“Dasar lu muka pu...!!!”
Belum selesai Jefri berbicara, aku sudah menusukan payungku ke lubang mulutnya. Seketika Jefri ingin tersedak dan kutarik kembali payungku dan mengayunkan payung itu ke arah lehernya. Kawan-kawannya yang tidak ingin tinggal diam ikut menyerangku. Aku mundur sejenak, menginjakan kakiku pada tembok dan mendorong tubuhku untuk melesat seraya mengayunkan payungku ke kepala empat diantara mereka. Payung ini... payung ini kugunakan sebagai pedang. Empat orang sisanya menyerangku dan kembali kutunjukan keahlianku berpedang dengan payungku, kuincar titik-titik terlemah dari tubuh mereka agar mereka berhenti. Sayang ini hanyalah payung. Mereka kembali bangkit dan mengejarku hingga ke lapangan voli... cahaya matahari membuat konsentrasiku terpecah, beruntung aku masih bisa melihat dengan kacamata hitam yang kukenakan. Delapan orang. Mengepungku. Delapan orang melawanku sendirian... apa itu adil? Dengan payung ditanganku saat ini, ya, itu adil. Mereka pun menyerangku bersamaan... sebelah lenganku berpegangan pada tiang yang biasa digunakan untuk memasang net dan sebelahnya lagi memegang payung. Satu buah lompatan dan kujadikan tubuh mereka sebagai pijakan untukku berputar. Kuayunkan payungku di setiap putaran ke kepala mereka dan mereka langsung tumbang... bermaksud menghindari cahaya matahari aku menghempaskan tubuhku ke tembok lorong, Jefri yang tidak mau menyerah berusaha menyerangku kembali dengan meluncurkan pukulannya, aku berguling ke samping untuk mengelak, Jefri tetap tidak berhenti, kali ini sebuah tendangan ia lancarkan ke arahku. Aku hanya perlu sedikit menggeser tubuhku seraya menarik sebelah kakinya yang ia pakai untuk menendang dan disaat bersamaan kugunakan pegangan payungku untuk menghantam wajahnya. Jefri yang kesakitan hanya menutupi wajahnya menahan sakit, ku arahkan ujung tajam payungku kepada Jefri.
“Apa kita sudah selesai disini?” ujarku.
“Sudah... sudah cukup... pergilah... dasar sial...!!” jawab Jefri
“Aku belum mendengar kata maaf...”
“Gua minta maaf, ok?! Apa lu puas sekarang...?” jawab Jefri lagi.
“Baiklah. Anggap ini tak pernah terjadi... lain kali bersikaplah sedikit lebih sopan...”
Setelah semua itu aku kembali berjalan hendak memasuki kelas, namun di lorong Sigit mengejar seraya merangkul bahuku.
“Yo big bro!! Thank you so much!! Mulai saat ini Alex adalah big bro...!!”
“Jangan salah paham, aku hanya menyelamatkan harga diriku. Bukan menolongmu...” ujarku.
“Apapun itu. Alex sudah menolongku, jadi Alex akan menjadi big bro dan aku adalah little bro...!! Sigit dan Alex... mulai saat ini kita adalah teman dan orang-orang akan mengenal kita sebagai sig-X!! Itu adalah singkatan nama kita by the way... tapi jika big bro punya saran nama yang lebih keren akan kupertimbangkan... apa mungkin serigala-X? Atau its X?”
“Haah... apa-apaan kau ini, seenaknya menyingkat namaku dengan hanya menggunakan satu huruf X saja...”
“Wooo... X adalah huruf yang keren... begini saja, bagaimana kalau samurai x? Atau xxx...?? xxx... fufufufufu”
“Kau bercanda. Itu seperti judul anime era 90an. Lupakan soal julukan ini... jadi kenapa tadi kau sampai berurusan dengan Jefri?” tanyaku.
“Hohoho... sebenarnya aku tidak melakukan kejahatan... aku hanya mengambil sedikit bagian foto mereka, itu saja...”
“Apa hanya itu?”
“Maksudku, aku memperindahnya... dengan kata lain... mengeditnya, sehingga mereka tampak berhubungan xxx... jika kau mengerti maksudku... dengan babi, kuda dan hewan kaki empat lainnya...”
Orang ini. Orang ini memang pantas dicincang... pikirku. Aku telah menyelamatkan orang yang salah...
“Setelah itu... setelah itu... aku menyebarkan foto-foto itu di sosial media melalui akun milik mereka yang telah aku retas sebelumnya... ohohohoho” Sigit tertawa antusias. Kuhentikan tawa itu dengan mengayunkan payungku ke lehernya.
“Dengar, sejujurnya jika aku tahu mereka memperlakukanmu seperti itu karena ini, aku akan membiarkanmu disiksa disana dan dipermalukan di depan umum... kau tahu, tindakanmu itu keterlaluan! Dan jika kau berani melakukan hal yang sama padaku, aku tidak segan-segan membawa katana pemberian ayahku dan kuhunuskan langsung padamu...” ujarku mengancam.
“Ahahaha big bro... big bro tidak perlu cemas. Aku tidak akan melakukan itu pada big bro... kita sudah menjadi teman, ingat?”
“Satu hal lagi, katana-ku itu buatan garut, replika dari katana aslinya. Hanya digunakan sebagai pajangan dinding... dan meski pun itu tidak terlalu tajam... kau harus tahu sesuatu...”
“Euh... apa?”
“Pedang yang tidak terlalu tajam jauh lebih menyakitkan...” ujarku. Aku mengatakan itu seraya mengeluarkan mimik wajah menyeramkan. Sigit terdiam. Entah karena ia menjadi takut padaku atau apa, yang jelas ia berhenti mengoceh. Kemudian ia berhenti berjalan... membuatku menoleh.
“Ibuku...” ujarnya.
“Eh?”
“Mereka mengatakan bahwa aku anak seorang pelacur...”
Saat itulah giliranku yang terdiam.
“Aku tahu mereka mengatakan itu dalam keadaan bercanda... tapi bagi yatim piatu sepertiku, itu terdengar menyakitkan. Semua orang di lingkunganku, di panti asuhan, tahu bahwa aku adalah bayi yang dibuang, pada awalnya aku tidak peduli... sampai akhirnya Jefri dan kawanannya terus mengejekku dengan omong kosong itu...”
“Itu tidak benar...” ujarku.
“Apa?”
“Ibumu tidak seperti itu...”
“Bagaimana kau bisa tahu?”
“Seorang ibu pasti akan melindungi anaknya, jika ia harus meninggalkanmu di panti asuhan, maka semua itu ia lakukan karena ia ingin kau tetap hidup...”
“... Ah aku...”
“Entahlah, tapi aku lega karena telah memukuli orang yang tepat. Ejekan semacam itu tidak hanya terasa kejam bagi seorang yatim piatu, namun bagiku juga...”
“Empati...”
“Eh?”
“Artinya big bro masih memiliki empati... baiklah big bro, tampaknya kita memang harus berteman...” jawab Sigit seraya tersenyum.
“Hm... teman ya? Entahlah, akan kupikirkan, kau mengatakan itu seperti seorang gay...” ujarku
“Yang benar saja! aku masih normal! Apa big bro ingin akunnya diretas juga?”
“Coba saja kalau kau berani, hm jadi kau seorang peretas? Hacker eh?”
“Salah satu dari mereka yang disebut anonymous... sayangnya gara-gara insiden kemarin, aku yang terbakar emosi malah membocorkan identitasku pada Jefri dan kawan-kawannya... aku dan mulut besarku ini memang payah...”
“Seorang yatim piatu yang berkuliah di jurusan manajemen dan juga seorang hacker... itu kombinasi identitas yang aneh... siapa yang akan percaya? Lagipula tindakanmu juga tak bisa sepenuhnya kubenarkan...” ujarku lagi.
“Yah tapi itulah kenyataannya, oh ya, berbicara soal peretasan, kau tahu, akhir-akhir ini aku banyak menerima informasi rahasia...”
“Informasi rahasia?”
“Rahasia... sangat rahasia. Masih ingat dengan kejadian bencana longsor yang menimpa para relawan penyelamat korban banjir?”
“Hm... aku tidak begitu ingat, memangnya apa yang spesial dari kejadian itu...?”
“Dari semua korban longsor, semuanya berhasil diselamatkan dan dievakuasi, kecuali satu orang...”
“Seandainya aku jawab aku tidak tertarik dengan arah pembicaraanmu, apa kau akan berhenti mengoceh?”
“Namanya David Moses. Mungkin disini tak ada yang peduli dengan nama itu, namun dari kabar yang kuterima dari website WikiLeaks, David Moses sebenarnya adalah seorang mantan agen NSA, sekaligus mantan anggota CIA... David Moses. Dia adalah buronan Amerika yang sudah lama menghilang, meski begitu Amerika sendiri entah untuk alasan apa sama sekali tidak mengupayakan pencarian dirinya pada saat bencana longsor itu terjadi, tubuh David Moses tidak pernah ditemukan, dan ada kabar bahwa tubuh itu sebenarnya telah dievakuasi oleh pemerintah tanpa ada yang tahu akan dikirim kemana, karena menurut desas-desus yang kudengar David Moses adalah seorang pengkhianat yang diburu oleh negerinya sendiri karena telah membocorkan rahasia negara...”
“Mungkin itu hanyalah hoax, sudahlah, ada sejuta orang dengan nama David, bagaimana Amerika bisa tahu bahwa itu adalah sosok David yang mereka incar?”
“Tidak, jika WikiLeaks yang mengatakan itu, maka hal itu bisa jadi benar”
“Entahlah, aku tidak peduli dengan kabar-kabar seperti itu, terakhir aku membaca headline pada sebuah surat kabar tadi pagi isinya hanyalah dongeng tentang seorang pemuda yang hidup kembali setelah dicium wanita cantik, bukankah itu terdengar lebih konyol?”
“Apa mungkin semua itu hanya pengalihan isu? Bahwa sebenarnya ada rahasia yang lebih besar yang sedang ditutupi oleh pemerintah kita? Aaah. Aku jadi pusing”
“Kau itu berlebihan. Sudahlah lupakan semua khayalan konspirasimu itu. Kita ada kelas”
Waktu terus berjalan. Selama mata kuliah berlangsung, aku terus berpikir... apa yang sedang kulakukan disini? Belajar? Untuk apa? Aku sudah kaya raya sekarang. Apa yang sebenarnya kuinginkan... aku tak tahu... bahkan kekayaanku ini tak mampu membeli kasih sayang dan perhatian orang-orang. Aku masih saja dianggap berbeda. Aku sudah lama tak bertemu dengan Rossa dan ibuku sejak aku pergi bersama ayah. Satu-satunya orang yang menganggapku temannya disini hanya orang ini... Sigit. Entah apakah itu akan menjadi pertemanan yang abadi atau tidak...
“Eh... apa big bro barusan bicara sesuatu?” tiba-tiba Sigit menoleh ke arahku.
“Ti-tidak. Kita sedang belajar. Fokuslah!” jawabku.
Dasar. Orang itu, instingnya tajam sekali. Haaah... menyebalkan, jika sifat sombongku ini hanyalah pencitraan, mengapa aku tidak langsung membuka diri saja pada semua orang? Apa? Itu dia! Sejauh ini aku memang tidak memiliki banyak teman karena aku menutup diriku sendiri pada pergaulan. Aku... entah terlalu minder atau apa, aku hanya lebih suka menjadi sosok yang dingin dan keren. Membuatku tampak seperti seorang arogan yang sangat memilih pergaulan. Seolah semua orang berada jauh di bawah levelku. Padahal sebelum ini, aku pun paham betul bagaimana rasanya hidup susah. Aku hanya... ingin menjadi sama. Baiklah. Kali ini aku akan mengatakannya... tentang perasaanku... aku akan mengatakan itu padanya!!!
Kelas mata kuliah pertama akhirnya usai. Aku segera bergegas keluar melintasi berbagai lorong, gedung dan segala macam jurusan hingga akhirnya aku berhenti. Disini. Jurusan seni rupa. Aku sendiri tengah bersembunyi diantara semak-semak mencoba memperhatikan. Fiuh... aku harus mengatakannya... hari ini... tapi dimana orang itu? Seporsi keindahan yang telah mencuri hati? Ah. Itu dia!
Gadis itu tengah berkumpul bersama teman-temannya, dengan senyum yang cemerlang dan wajah putih mempesona seperti itu... tapi siapa namanya... sial... aku bahkan tak tahu siapa namanya... aku hanya bisa merunduk diantara semak-semak...
“Namanya Karina. Biasa dipanggil Karin, yah kalo big bro naksir aku bisa sadap handphonenya”
“Sigit! Kamu... kamu... ngapain disini?” ujarku terkejut melihat Sigit yang tiba-tiba berada di sampingku.
“Dari tadi aku ngikutin big bro... eh taunya big bro malah diem-diem ngintipin cewek pake ngomong sendirian lagi...”
“Ngomong sendiri? Maksudmu dari tadi kamu bisa mendengar apa yang kupikirkan begitu?”
“Pikiran apa? Jelas-jelas big bro bicara sendiri kok”
“Hah. Sudahlah, kau lihat? Gadis itu, gadis yang namanya Karin itu... apa yang kau tahu tentang dia? Apa dia sudah punya pacar...?”
“Eh? Jadi big bro benar-benar naksir ya? Entahlah, sejauh ini yang aku tahu dia primadonanya jurusan seni rupa...”
“Kalau hanya itu sih aku juga tahu. Dulu, asal tahu saja, gadis itu pernah menolongku dengan memayungiku saat aku kepanasan... sejak saat itulah aku berharap aku bisa memayunginya di kala hujan... gara-gara itu aku selalu membawa payung bergambar bunga sakura agar menarik hatinya...”
“Apa cuma karena itu, big bro menyukainya?”
“Tentu saja! Gadis baik harus dijadikan pacar! Gejolak masa muda ini... gejolak masa muda di musim pancaroba... prinsip dan kode etik seorang samurai... adalah mengejar cintanya dengan bersungguh-sungguh!!”
“Wah big bro bersemangat sekali... baiklah malam ini akan kusadap nomor handphonenya!”
“Hey... hey... apa ini? Seorang albino dan peretas amatir tengah berduaan eh?”
Tiba-tiba sebuah suara muncul mengejutkanku dan Sigit. Tentu saja, siapa lagi kalau bukan...
“Jefri! Urusan kita sudah selesai, apa lagi yang kamu mau sekarang?” ujarku.
“Hey, hey, hey, lihat pasangan gay ini, mereka serasi sekali... kawan-kawan! Lucuti pakaian mereka berdua! Kita ikat mereka dan kita sebar foto mereka dalam keadaan semenjijikan mungkin, gua pengen mereka berdua tampak mesra di kamera...” seru Jefri pada kawanannya. Kini jumlah mereka bukan lagi 8 orang... entah berapa, yang pasti jauh lebih banyak... mungkin 3 kali lebih banyak...
“Jefri... kau! Jika kalian berani melangkah lebih jauh lagi, aku tidak segan-segan membunuh kalian disini satu-persatu!” ujarku lagi. Sebagian dari mereka yang sudah merasakan pukulan payungku akhirnya tampak mundur dan berhati-hati.
“Hey, hey, apa yang kalian takutkan, lihat... tidak ada payung atau senjata apapun disini, kita juga menang secara jumlah, jadi apa lagi yang kalian takutkan? Hajar mereka berdua!” seru Jefri lagi. Sial, aku harus memikirkan sebuah cara, tanpa payung atau pedang aku tak bisa melakukan apa-apa. Bodohnya, mengapa harus kutinggalkan barang-barangku di kelas tadi sih? Melihat keadaan itu Sigit tiba-tiba berdiri maju.
“Jadi kamu cemburu pada kami ya Jef?” Sigit tiba-tiba mengoceh lagi. Apa yang bocah ini pikirkan sebenarnya? Tampaknya kata-kata itu menyulut emosi Jefri. “Apa babi dan anjing itu tidak cukup memuaskanmu?” ujar Sigit lagi. Wajah Jefri merah padam.
“Dasar brengsek. Kawan-kawan!! Pegangi dia lebih dulu... akan kuhajar bocah haram ini dengan tanganku sendiri!” dan begitulah, teman-teman Jefri menahan tubuh Sigit dan Jefri dengan leluasa memukulinya.
“Ahk!” sebercak darah keluar dari mulut Sigit. Aku mencoba untuk bangkit, dan teman-teman Jefri menahan tubuhku juga. Salah seorang dari mereka memukuli perutku. Sakit. Sakit sekali, lalu seorang yang lainnya memukul wajahku dan membuat kacamata hitamku terjatuh hingga akhirnya salah satu dari mereka mengeluarkan senjata tajam dari sakunya...
“Sekarang selesai sudah...”
“Hei kalian yang disana...!!”
Tiba-tiba sebuah suara muncul dari arah yang lain... suara yang tak kukenal.
“Permainan apa yang sedang kalian mainkan?”
Sesosok pria dengan rambut hitam berkilau, bertubuh besar dan bermata sipit dengan jaket kulit khas pengendara motor, tengah menghisap rokok tiba-tiba muncul dan mendekati kami.
“Anggap lu ga liat apa-apa Rick! Urus urusanmu sendiri!” seru Jefri.
“Yeah, bagaimanapun ini kampus dan ini bukan teritori anak jurusan teknik sipil... apa yang kalian lakukan disini cukup memalukan. Lepasin mereka berdua!” ujarnya lagi.
Tanpa menunggu instruksi, 5 orang dari kelompok Jefri langsung menjegal pria tersebut, pria itu langsung melempar rokoknya ke angkasa, melompat, lalu menendang, menjadikan bahu dari penyerangnya sebagai pijakan lalu mendaratkan lutut kakinya tepat ke arah wajah salah satu dari mereka. Dengan cepat ia mengelak dari setiap pukulan dan secepat itu pula ia memberikan balasan. 5 orang itu hanya tersungkur kesakitan. Rokoknya yang masih terbakar di udara mendarat jatuh dan ia tangkap kembali dengan mulutnya.
“Waaa panaaas!!” rupanya rokok itu mendarat terbalik.
“Jadi lu mau nantangin gue juga?” ujar Jefri.
“Terserah, bukan aku yang mulai...” jawab pria itu dengan santai.
“Baiklah.” Akhirnya kelompok Jefri melepaskanku dan Sigit, mengalihkan perhatiannya pada pria itu. Sekitar 20 orang berdiri di belakang Jefri. “Kawan-kawan, kita lawan dia beramai-ramai”
“Whats the problem, eh chief?” tiba-tiba dari arah samping kiri pria tadi muncul sekelompok pemuda yang lain, jumlahnya sekitar 40 orang mengenakan jaket kulit dengan logo-logo yang serupa. Begitu pula dari arah kanannya, sekelompok pemuda berjaket kulit yang lain muncul, “Apa ada yang bisa saya banting?” ujar salah satu dari mereka. Di jaketnya menancap sebuah badge logo bergambar serigala, bertuliskan “Night Rider Squad” sadar dirinya kalah jumlah, Jefri mulai menciut. Ia melangkah mundur, tampak segan untuk menghadapi pria itu secara langsung.
“Brengsek, kita selesaikan ini nanti... kita pergi kawan-kawan...” seru Jefri. Dalam hatiku aku berpikir, bahwa Jefri hanyalah seorang pengecut, yang hanya berani bertarung secara keroyokan, seandainya dia berani menantangku duel satu lawan satu aku pasti akan meladeninya.
“Apa lu bilang?” Jefri tiba-tiba menatapku. Aku tak mengerti maksudnya. Aku tak mengatakan apa-apa. Lalu Jefri memberi tanda agar kawan-kawannya tidak jadi pergi. Ia menatap pria berjaket kulit tadi kemudian menatapku tajam...
“Ricky, gue mau mengajukan sebuah kesepakatan” ujarnya lagi.
“Kesepakatan? Kesepakatan apa?” jawab pria itu.
“Si albino ini nantangin gue duel satu lawan satu, dan gue bakal terima itu. So, apapun hasil dari duel itu, lu engga boleh ikut campur, sebagai gantinya... gue enggak bakal macem-macem lagi di wilayah lu!” seru Jefri.
“Duel? Eh... itu beneran? Aku enggak liat ada orang yang ngomongin duel...” ujar pria tadi seraya menatapku. Aku juga heran, ini aneh... mengapa dengan mudah pikiranku bisa dibaca orang? Aku sama sekali tidak merasa kelepasan berbicara, tapi sudahlah, jika itu memang harus, aku akan menghadapinya dengan sekuat tenaga.
“Jadi gimana? Apa lu setuju? Gue mau lu jadi saksi dari perkelahian gue sama si albino busuk ini...” ujar Jefri. Pria yang diketahui bernama Ricky itu pun menginstruksikan kelompoknya untuk mengelilingi kami. Membentuk sebuah lingkaran dan menghalangi pandangan orang-orang.
“Ok, terdengar cukup fair. Kita kelompok Night Rider Squad, bakal menjadi wasit sekaligus ring buat pertarungan kalian, jadi tidak ada yang boleh kabur dari lingkaran manusia ini. Kalian berkelahilah sampai ada salah satu dari kalian yang mengaku kalah...” jawab Ricky.
Mataku masih bengkak. Sisa dipukuli tadi. Perutku juga masih mual, sial, sekarang aku benar-benar harus bertarung. Tanpa pedang... hanya tangan kosong. Meski begitu pedang sudah ada dalam jiwaku. Ketajaman pedang, hanya bisa diukur dari apa yang harus dilindunginya. Dan apa yang akan menjadi lawannya. Jika itu hanya untuk membela diriku dan melawan Jefri, tangan kosong ini sudah cukup. Kami berjalan memutari lingkaran saling menatap tajam. Mengukur kekuatan masing-masing...
“Gua bakal habisi lo disini...!” ujar Jefri mencoba mengancam. Aku terdiam. Sigit yang tidak ikut-ikutan, mencoba menyemangatiku seraya berdesakan diantara kerumunan orang-orang... Lalu aku juga melihat orang itu diantara kerumunan, dia... Karina? Sedang apa dia disini? Fokusku langsung terpecah, melihat kesempatan ini Jefri tiba-tiba menyerangku dengan cepat. Ia berhasil menghantam wajahku dengan kepalan tinjunya. Rupanya pukulan ini bukan omong kosong, pukulan ini sangat kuat. Begitu kuat hingga membuat tubuhku ikut terjatuh. Aku mencoba bangkit dan aku melihat Karina melihatku dengan tatapan mengasihani... Jefri melompat. Menghimpit tubuhku dengan kedua pahanya. Aku hanya terbaring di tanah, menerima berbagai pukulan di wajah. Kesakitan ini semakin lama semakin terasa monoton. Aku hanya bisa melihat warna terang, gelap, terang, kemudian gelap lagi, terang lagi, kira-kira itu yang kurasakan selama pukulan-pukulan itu mendarat di wajahku. Sial, mengapa aku begitu lemah? Apa hanya begini? Dimana letak harga diriku sebagai atlet kendo kalau begini? Terlebih lagi, bagaimana aku bisa menyatakan perasaanku pada Karin jika ia melihatku seperti ini... rasanya lebih mudah untuk menerima pukulan-pukulan ini dan menyerah begitu saja... aku... aku ingin mengaku kalah... tapi pukulan itu terus mendarat di wajahku. Tak terhenti, hey, ayolah apa tidak ada yang mau menghentikan kejadian ini...? Aku tak bisa melihat apa-apa lagi sekarang... lalu seketika itu juga wajah pelatih kendo-ku muncul dalam ingatan... maafkan aku sensei... mungkin aku memanglah seorang pecundang...
Saat itu usiaku baru 12 tahun, hujan rintik-rintik turun di sore hari. Aku mengambil sebatang kayu yang terbuat dari gagang sapu. Aku berencana untuk membalas anak-anak nakal yang mengganggu adikku, Rossa. Aku berlari keluar rumah menuju lapangan tempat dimana anak-anak nakal itu sering berkumpul. Rupanya mereka sudah tak ada disana. Aku terus berlari dan mencari... hingga akhirnya aku menemukan mereka tengah berteduh di dekat sebuah warung klontong di ujung gang. Aku langsung berlari ke arah mereka, mereka yang melihatku langsung berteriak panik...
“Hey... hey... itu... itu si vampir dateng...!!”
“Senjata gaib... mana senjata gaib kita??”
“Cermin enggak akan mempan di waktu hujan... kita butuh cahaya matahari...!!”
“Kalau begitu kita harus bikin formasi... ayo ayo... buat formasi yin dan yang...!!!”
Bocah-bocah itu pun menghadangku bersamaan. Mereka menaruh kedua telapak lengannya di dahi mereka... lalu saat jarakku semakin dekat, mereka membuka telapak tangan itu seraya berteriak...
“JU... RUS... MA... TAHARI...!!!!”
“Jurus matahari pala lu peyang!!”
Aku tidak pernah mengerti imajinasi anak-anak ini... jadi langsung kupukuli saja mereka dengan batang kayu. Beberapa diantara mereka ada yang berhasil mengelak, aku yang tengah terbakar emosi terus mengayunkan batang kayu itu, hingga akhirnya aku merasa batang kayuku tertahan... aku menoleh ke belakang, rupanya benar saja, ada seseorang yang memegangi batang kayuku.
“Sudah hentikan. Kalian ini sedang apa? Dan kamu... kenapa berkelahi menggunakan senjata? Tidak jantan sama sekali tau!” ujarnya.
“Bukan urusanmu. Mereka mengganggu adikku lebih dulu, lagipula jumlah mereka lebih banyak, sedang aku sendirian, dimana letak salahnya?”
“Kamu ini... masih bocah tapi lihat gaya bicaramu itu... sungguh tidak sopan! Dimana ayahmu?”
“Aku tidak punya ayah”
“Huh, jadi begitu, itu karena kamu tidak punya tempat mengadu jadi kamu melakukan ini ya? Baiklah... hey! Kalian bocah-bocah yang disana!” ujar pria tadi pada anak-anak itu. “Kuperingatkan... jangan ganggu adiknya lagi, jika aku tidak berhasil menghentikan bocah ini kalian pasti sudah mati dari tadi...”
“Ampun om... ampun bang... jangan pukuli lagi bang... kita kapok kok om!”
“Hah... kalian juga sama saja, aku ini masih 27 tahun! Masa kalian panggil aku om! Sudah pulang sana!” ujar orang itu lagi. aku hanya terdiam, tak lama orang itu memperkenalkan namanya padaku. Dia bernama... Jo. Tak lama paman Jo yang berusia 13 tahun lebih tua dariku membawaku ke sebuah tempat dimana disana terdapat banyak sekali rumah kayu jenis panggung dengan dinding yang terbuat dari bilik kayu, tanahnya berwarna cokelat tua yang sedikit basah dan ditumbuhi dengan banyak sekali pohon bambu.
“Mulai sekarang datanglah kemari setiap hari... mungkin rumah ini sedikit berantakan, tapi berhubung rumah ini tak ada isinya sama sekali, kupikir tempat ini cocok buatmu... lagipula ini indoor, kau akan merasa nyaman tanpa khawatir sengatan matahari, dan suasana yang tenang serta angin sepoi-sepoi disini cukup menyenangkan...”
“Aku... mau apa aku kesini setiap hari?” ujarku.
“Berlatih pedang...”
“Apa?”
“Begini-begini dulu aku ini adalah seorang ahli pedang, sudah 10 tahun aku belajar tentang ilmu pedang, masa mudaku, kisah cinta remajaku, kupertaruhkan demi mempelajari kenjutsu dan kendo di Jepang. Tapi seperti yang kau lihat, aku hanya bisa membuka warung klontong dan keahlianku menjadi tak berguna sepulangnya dari sana. Sekilas melihat pertarunganmu saja aku bisa tahu bahwa kau berbakat dalam mengayunkan pedang”
“Omong kosong” jawabku.
“Kau tahu, ada 3 tingkatan tertinggi dalam ilmu pedang. Tingkat pertama yaitu pedang di tangan, ketika pedang ada dalam genggaman, kau bisa melindungi apa yang ingin kau lindungi. Kedua tidak ada pedang di tangan, pedang ada dalam jiwa dan kau mengasahnya dalam diri dan tetap berdiri melawan musuhmu dengan tekad pedang dalam hati. Terakhir, tingkat tertinggi dari ilmu pedang... tanpa pedang di tangan maupun di hati, tak ada lagi dendam, yang ada hanya... kedamaian...”
“Hero. Tahun 2002, film arahan Zhang Yi Mou dibintangi Jet Li, Tony Lung, Zhang Zi Yi  dan Donnie Yen. Aku suka film itu. Tapi aku tidak suka paman mengutip kata-katanya”
“Rupanya kau bocah yang cukup sulit ya? Hahahaha... ya sudah ambil ini...”
“Ini... apa ini? Mainan?”
“Itu shinai... pedang bambu. Berlatihlah menggunakan benda itu. Jika kau bisa lulus dari sini aku akan memberikanmu pedang boken milikku. Meskipun ini terbuat dari kayu, tapi ini cukup untuk melindungimu nanti”
“Untuk apa? Paman memberikanku ini hanya agar aku mau belajar kepada paman dan dengan begitu paman bisa memungut bayaran dari ibuku bukan? Tidak, terima kasih”
“Apa kau memang selalu berpikir senegatif itu pada semua orang atau hanya padaku saja? Hei bocah, ketahuilah, dengan keadaanmu yang seperti sekarang kau rawan mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari anak-anak sebayamu. Aku hanya menawarkan wawasanku yang tak tersalurkan dan jika kau merasa tidak enak, kau cukup membawakanku masakan ibumu. Tapi aku tidak memaksa. Dan mulai saat ini jangan panggil pemuda ganteng ini sebagai pamanmu. Panggil aku sensei Jo. Sensei artinya guru, dan kini kamu resmi kuangkat sebagai murid...”
Aku menatap orang itu cukup lama. Aku berpikir tentang kerugianku jika aku menurut dan setelah beberapa pertimbangan aku pun setuju. Begitulah, meskipun sensei Jo tampak seperti seorang pembual, namun pada akhirnya aku memutuskan belajar dari orang ini mengenai ilmu pedang hingga bertahun-bertahun setelah itu, ayahku muncul dan mengabulkan permintaanku untuk membantu sensei Jo membuka sebuah dojo kendo. Kini ia memiliki banyak murid, dan berkat pelatihannya aku berhasil menjadi seorang atlet kendo setara kyoshi.
Setiap hari aku berlatih kendo… dan seringkali sensei Jo menyuruhku melepas pakaian pelindungku kemudian menghajarku tanpa ampun.
“Kau tahu Alex? Jika kau merasakan sakit hanya karena ini, percayalah bahwa jiwamu utuh dan baik-baik saja… jadi jangan mencoba mengeluh kesakitan di hadapanku…!” seru sensei seraya menghunuskan pedang kayu miliknya. “Tapi ini beneran sakit sensei! Yang benar saja! Kenapa kau harus memukuliku seperti ini? Apa kau ingin membuatku masokis atau apa?!” ujarku. “Sudah kubilang sakitmu itu hanya perasaan fisikmu saja! Cobalah melatih kekuatan jiwamu! Jauh diluar rasa sakit itu jiwamu baik-baik saja! Tenanglah dan terima ayunan pedangku ini…!” jawab sensei lagi. Kali ini ia melompat, hendak mengayunkan pedang kayu itu dengan kedua tangannya, aku? Aku bahkan tidak memakai pelindungku sekarang… terlebih lagi, kali ini aku sama sekali tidak menggenggam pedang. Maka kupipihkan kedua telapak lenganku dan begitu pedang itu hendak menyentuh kepalaku, segera saja kuhimpit pedang kayu itu dengan kedua telapak lenganku tadi. Pedang itupun terhenti. Sensei Jo pun tersenyum. “Betul begitu. Akhirnya kau bisa juga bertahan tanpa pedang dan baju pelindungmu!”
Jefri menghentikan pukulannya. Ia bangkit dan meninggalkanku terjerembab di tanah. Rasa sakit di wajahku kini telah berubah menjadi mati rasa. Hanya ada dingin dan ngilu di berbagai titik. Dengan angkuh Jefri mendongakan kepala menatap semua orang yang mengelilinginya. “So… tampaknya teman albino kita ini sudah tidak sanggup untuk berkata menyerah… jadi bagaimana kalau kita anggap semua ini selesai? Ha? Bagaimana? Tidak ada komentar? Kalau begitu terima kasih atas perhatian kalian… hahahaha ayo kita pergi anak-anak!” seru Jefri kepada kawan-kawannya, namun Ricky segera mencegahnya. “Hey… hey… tunggu dulu” ujar Ricky seraya mengangkat dagunya. ”Tampaknya… pertarunganmu belum selesai…” sambung Ricky lagi. Sigit pun tersenyum, begitu juga dengan Karina… seluruh anggota Night Rider Squad mengacungkan kepalan tangannya seraya menyerukan sebuah nama… “Alex…! Alex…! Alex…! Alex…!” saat itulah mata Jefri terbelalak seolah tak percaya, ia menoleh ke belakang dan mendapatiku berdiri dengan senyuman sinis.
“Ini bahkan tidak sakit sama sekali… dan setahuku aku belum mengaku kalah…!” jawabku.
Mata Jefri masih terbelalak. Mulutnya seolah ingin berkata sesuatu, namun tampaknya kata itu tertahan di ujung lidahnya. Segera kupipihkan lenganku lagi. Kubentuk telapak tanganku layaknya para karateka yang hendak membelah tumpukan batu bata. Ya. Kupipihkan telapak lenganku layaknya sebuah pedang…

Mahasystem Chapter Two
“The Top Loser”
End.