Mahasystem
Chapter 2: The Top Loser
“Den
ada telpon...”
“Aku
tahu” ujarku seraya tetap mengayunkan pedang. “Men!” kuayunkan sebuah pedang
kayu. “Kote!” aku melangkah maju seraya mengayunkan pedang kayuku lagi, suara
berdecit keluar dari lantai kayu diantara jemari kakiku “Do!” teriakku seraya
mengarahkan pedang ke arah perut pembantuku. Pak Hardi namanya.
“De-een...”
lengan pak Hardi tampak bergetar karena takut. Aku tersenyum.
“Sambungkan
telponnya”
“Silahkan
den...” pak Hardi mengambil sebuah remote dan dari arah langit-langit muncul
sebuah layar LED ukuran 72 inch. Dari situ muncul wajah ayahku yang percayalah,
wajahnya benar-benar memenuhi layar itu. Membuatku merasa akan berbicara dengan
seorang raksasa.
“Alex!
Apa-apaan ini, kamu masih saja bermain dengan mainan itu? Cepat buang!” ayahku
menghardik.
“Aku
ini atlit kendo pah, lagian ini bukan mainan. Ini namanya boken, pedang kayu...
lain kali kalau papah ke Jepang belikan aku katana dong... ya ya ya?”
“Kamu
ini, kemarin papa sudah belikan kamu samurai kan?”
“NO.
No no no. Katana pah, bukan samurai. Ok? Samurai itu cuma predikat saja, katana
itu baru nama pedangnya. Lagipula yang papah bawa waktu itu cuma replika, papa
dapat darimana?”
“Dari
pandai besi di daerah Garut...”
“Oh
ok.”
“Sebenarnya
mereka ahli membuat perkakas”
“So?”
“You
know, seperti panci, wajan dan semacamnya...”
“Whatevah.....”
“Lagipula
kamu ini kenapa? Kenapa harus kendo? Banyak jenis seni beladiri yang lain yang
tidak bergantung pada alat. Kita punya pencak silat, sebagai aliran bela diri
asli milik bangsa. Kenapa harus kendo?” tanya ayahku. Aku terdiam.
“Papa
sendiri, kenapa harus kerja diluar negeri?” aku bertanya, ayahku terdiam
sejenak lalu menghela nafasnya.
“Papa
tau, papa mungkin jarang ada buat kamu tapi... papa benar-benar dibutuhkan
disini dan lebih penting dari itu, bagaimana keadaan kamu?”
“Aku
baik-baik aja pah. Pak Hardi mengurusku dengan baik” ujarku seraya menepuk bahu
pak Hardi. Pak Hardi langsung bertingkah gugup seraya tersenyum.
“Hardi...
saya benar-benar tidak tahu bagaimana lagi caranya untuk berterima kasih. Tapi
tolonglah... jaga anak saya ini baik-baik. Satu-satunya harta yang paling saya
jaga ini... saya tau dia agak berandalan dan sedikit manja tapi tolong...”
“Pah...”
“Apapun
itu, saya mohon lindungi anak saya ini seperti kamu melindungi diri kamu
sendiri...”
“Pah!”
“Saya
mengerti. Siap juragan!” seru pak Hardi.
“Cih.
Yang benar saja, pah, aku ini bukan anak kecil lagi, perlindungan apa? Aku ini
atlit kendo setara kyoshi dan belajar kenjutsu juga, jadi apa yang musti
ditakutkan?”
“Alex,
papa bersyukur kamu memilih untuk tinggal disini, di kediaman papa, ketimbang
memilih tinggal bersama ibumu yang miskin itu. Hah, perempuan itu... dia bahkan
seenaknya mengambil hak asuh adikmu, ah, tapi sudahlah... bagaimanapun papa
senang kamu bisa memilih dengan bijak.”
“Pah,
usiaku ini sudah 23 tahun, tentu aku tidak seperti Rossa yang memilih tinggal
bersama ibu. Aku ini laki-laki... dan aku butuh uang... butuh kekayaan papa,
kediaman papa ini? Aku menginginkannya juga. Jadi bagaimana jika mulai sekarang
rumah ini, berikut mobil-mobil itu, jadi milikku?”
“Ah,
tentu saja semua itu punya kamu sekarang, rumah itu, mobil-mobil itu. Semuanya”
“Semuanya?
Benarkah? Termasuk semua kepemilikan saham papa di perusahaan? Semua uang
tabungan, harta simpanan dan wanitanya juga?”
Ayahku
terdiam. Menarik bibirnya keatas seraya melotot ke arahku.
“Jujur
saja pah, papa menghubungiku bukan karena merindukanku bukan?” ujarku lagi.
Ayahku
pun menarik bahunya dan menyenderkannya di kursi.
“Setidaknya
yah, papa memang mengkhawatirkan kesehatanku... tapi yang paling papa
khawatirkan sebenarnya adalah cabang perusahaan papa disini. Lebih tepatnya
papa memanfaatkanku untuk menjaga tahta kepemimpinan papa di perusahaan, tak
ada lagi yang bisa papa percaya di negeri ini selain pak Hardi dan juga aku,
anakmu. So, jika aku menginginkan seluruh aset kekayaan papa di negeri ini,
bukankah itu hal yang wajar?”
“Aku
mengerti keinginanmu nak... tapi...”
“Atau
papa lebih memilih aku menjadi tunawisma yang penyakitan dan meninggalkan papa
tanpa keturunan, sehingga semua orang tau bahwa satu-satunya pewaris keluarga
Wong tengah ditelantarkan oleh orang tuanya... kupikir jika itu terjadi bahkan
wall street sendiri akan meledak... saham perusahaan papa akan anjlok karena
serangan opini dan para pesaing bisnis papa akan memanfaatkan ini melalui
pemberitaan media dan wajah papa akan muncul dalam cover majalah TIME...”
Ayahku
kemudian tertawa terbahak-bahak.
“Kau
tahu, aku bisa saja mengambil kembali adikmu, tidak semudah itu untuk
menjatuhkan ayahmu ini nak... tidak semudah itu”
“Tentu.
Namun dengan surat kuasa sementara yang telah papa berikan padaku untuk
memegang pimpinan perusahaan, papa pikir berapa banyak bawahan papa yang siap
mengkhianati papa dibawah kepemimpinanku? Jika aku menginginkannya aku akan
membiarkan perusahaan papa untuk go
public”
“Hahahaha.
Bagus. Sekarang papa benar-benar yakin kamu adalah anakku... kau... Alex... kamu
benar-benar anak papa, kamu sama cerdasnya denganku... hahaha” lalu ayahku
menghentikan tawanya seraya menatapku tajam “Dan kamu... sama busuknya seperti
ibumu...”
Tak
menunggu lama, aku melangkah cepat ke arah layar LED itu dan mengayunkan pedang
kayuku hingga patah. “Jangan... pernah... seenaknya... menghina ibuku!” aku
bergumam dan layar pun pecah berkeping-keping... suara ayahku tak lagi terdengar.
“Hardi...!”
seruku.
“Iya
den?”
“Segera
siapkan mobil... kita ke kampus sekarang...”
“Kampus
den? Tapi rapat di kantor hari ini...”
“Tidak,
aku benar-benar tidak tertarik dengan perusahaan konyol itu. Satu lagi... mulai
sekarang jangan panggil aku den... panggil aku bos...”
“Ba-Baik...
den... eh... bos...”
Namaku
Alex Rolland. Aku seorang pria keturunan Tionghoa. Meski begitu, tidak ada yang
melihatku atau menganggapku sebagai orang keturunan, itu karena... aku sudah
terlahir berbeda dengan manusia lainnya. Ayahku, Rolland Wong, merupakan salah
satu orang terkaya di negeri ini. Dan kau pasti bertanya mengapa namaku Alex
Rolland dan bukan Alex Wong, jawabannya sederhana saja, itu karena di negeri
ini nama belakang tidak begitu penting, aku sendiri tidak mengerti kenapa nama
Rolland menjadi nama belakangku, mungkin hanya sebagai tambahan saja atau apa
itu aku tidak tahu. Selain itu ayahku juga memiliki banyak istri dan wanita
simpanan, namun sayangnya tak ada satu pun diantara mereka yang bisa
memberikannya anak kecuali... ibuku. Ibuku sendiri merupakan wanita jawa
sederhana yang sejak awal tidak pernah tau bahwa laki-laki yang ia nikahi itu merupakan
konglomerat papan atas... selama ini ayahku menyembunyikan pekerjaan dan
statusnya yang membuat kami harus hidup prihatin bertahun-tahun menunggu kepulangannya
setiap hari. Namun semua rahasia itu terbongkar saat ayahku dengan gaya hidup
hedonisnya divonis dokter bahwa ia tidak akan bisa lagi mendapatkan keturunan.
Kupikir itu karma, karena telah menelantarkan aku dan adikku Rossa. Sadar bahwa
ia tak lagi memiliki penerus, tepat pada saat aku lulus dari sekolah menengah
atas, ayahku kembali. Ia kembali begitu saja setelah bertahun-tahun menghilang
dan berkata ingin membawaku pergi. Ayah dan ibuku mengalami pertengkaran hebat,
yang berakhir di pengadilan. Hingga akhirnya perebutan hak asuh anak pun
dimulai. Saat itu Rossa masih berusia 10 tahun, dan dibawah pengaruh ayahku
pengadilan memutuskan bahwa seluruh hak asuh anak jatuh kepada ayah. Rossa
tidak pernah mengenal ayah, ia masih dalam kandungan saat ayahku pergi.
Ditambah lagi ayah tidak pernah menginginkan Rossa, yang dia inginkan adalah
seorang penerus laki-laki yaitu aku. Sadar bahwa ini tidak adil untuk adik
maupun ibuku, aku menawarkan kesepakatan pada ayahku, bahwa ia harus mengubah
keputusan pengadilan dengan pengaruhnya lagi, membiarkan Rossa untuk hidup
dengan kasih sayang ibunya juga penghidupan yang layak yang tak pernah ia
berikan selama ini dan sebagai gantinya ia boleh membawaku. Aku. Seorang anak
yang sejak kecil hidup menderita dalam kemiskinan juga dikucilkan anak-anak
lainnya. Sejak kecil aku tidak memiliki teman, mereka selalu menganggapku...
berbeda. Dan dengan kesepakatan yang kubuat itu, kini aku bisa menduduki jok
empuk Royce seraya membaca surat kabar dan menikmati segelas coffeelatte. Tidak lupa
asistenku yang merangkap sebagai sopirku... Hardi.
“Berita
baik den... eh bos?” Hardi bertanya.
“Entahlah,
coba kulihat... hm... seorang pria yang dipastikan tewas karena mengalami
kecelakaan tabrak lari hidup kembali setelah... dicium seorang wanita cantik
misterius? Berita macam apa ini...? Mengapa hal seperti ini malah bisa
dijadikan headline sih? Haaah... ada-ada saja, tampaknya kualitas media cetak
akhir-akhir ini cukup mengkhawatirkan... lain kali kau pilih langganan yang
bagus...!”
“Ah...
ya... siap bos! Nanti saya ganti korannya!”
“Ya...
ya... besok-besok aku tidak mau membaca hal-hal seperti ini”
“Tapi
apa itu tidak aneh bos? Barangkali mobil yang dikendarai korban merupakan mobil
yang cukup canggih sehingga bisa menyelamatkan pengendaranya dari
kecelakaan...”
“Tidak,
tidak, disini dituliskan bahwa korban hanya bersepeda, sedangkan pelaku tabrak
larinya sendiri menggunakan mobil jenis Lamborghini Gallardo...”
“Lamborghini
Gallardo... mobil sport macam itu menabrak sebuah sepeda pastinya dengan
kecepatan tinggi kan bos?”
“Hah.
Tau apa kau tentang mobil? Lamborghini Gallardo... mobil norak macam itu tidak
akan sanggup menghadapi jalanan macet seperti ini... mesin yang cepat panas
jika dikemudikan dengan kecepatan rendah... merepotkan saja. Ayahku tidak
memiliki mobil semacam itu di garasinya kan?”
“Ada
bos!”
“Apa?”
“Iya
bos. Ada, Lamborghini juga, hanya saja tipe Murcielago-nya bos.”
“Murcielago?
Itu jauh lebih keren dari Gallardo kan?”
“Tentu
saja, baik secara performance maupun body kit-nya mobil juragan itu jauh lebih
bagus bos”
“Mobil
ayahku itu... adalah mobilku juga. Ingat itu. Ngomong-ngomong soal mobil, kau
ingat dengan dua perempuan yang menggembosi ban mobil kita kemarin?”
“Kupikir
mereka berdua cukup cantik bos, yah, yang tuna netra juga”
“Kau
ini. Hanya melihat segala sesuatu dari sisi luarnya saja... apa kau tidak
berpikir bahwa mereka adalah mata-mata perusahaan Fabian? Perbaiki perspektifmu
itu”
“Ah...
iya... maaf bos, tapi bos... ngomong-ngomong kenapa bos memilih berlangganan
koran ketimbang membacanya langsung di internet? Itu kan jauh lebih praktis dan
mudah bos?”
“Jaga
bicaramu itu, apa kau sedang mengolok-olokku hah?”
“Ah
tidak bos... sama sekali tidak bos... maaf”
“Mataku
ini... terasa sakit jika terkena cahaya berlebih, bahkan jika melihat layar
tablet terlalu lama akan membuat mataku perih, itulah kenapa tadi kuhancurkan
layar LED di rumah... yah tentu saja selain itu aku memang tidak suka pada pak
tua yang menjelek-jelekan ibuku tadi... tapi jika ditanya mengapa aku lebih
memilih membeli koran, itu karena dulu saat usiaku masih 8 tahun aku pernah
menjadi seorang loper koran... jadi ini semacam sentimentilku saja”
“Dengan
keadaan bos yang seperti itu... bos berjualan koran?”
“Ya,
meskipun aku sangat membenci matahari, pak tua busuk yang tak bertanggung jawab
itu membuatku harus menghadapi sinar matahari setiap harinya”
“Bos
sebenarnya...”
“Apa?”
“Maaf
bos tapi... ayah bos itu... dia sebenarnya orang baik... mungkin agak sulit untuk
bawahan rendah seperti saya menjelaskan tapi sebenarnya beliau tidak seperti
kelihatannya, beliau... selama ini... beliau...”
“Cukup!
Jangan teruskan. Aku muak mendengar cerita omong kosong tentangnya.”
“Ah
iya bos, maaf bos...”
“Berhenti
disini, kita sudah sampai”
Akhirnya.
Kampusku. Aku tidak pernah bermimpi untuk berkuliah, tadinya kupikir hanya
orang-orang kaya saja yang mau belajar disini, terlebih penampilan para
mahasiswa disini semuanya tampak seperti aktor dalam sinetron. Tapi sekarang
keadaanku berubah. Setidaknya aku puas melihat ekspresi anak-anak manja itu...
mereka melihat kedatanganku seperti melihat sosok raja. Apa mereka tidak pernah
melihat mobil mewah sebelumnya? Dasar norak.
“Bos... jangan lupa dengan kacamata dan payungnya”
seru pak Hardi mengingatkanku. Segera kugunakan kacamata hitamku dan
kukembangkan payungnya. Payung ini bermotif bunga sakura, warna merah muda dari
kelopaknya memang tidak cocok untukku, tapi kuharap ini cukup untuk
melindungiku dari sinar matahari sekaligus menarik perhatian para gadis.
“Jadi
itu orangnya?” terdengar suara seorang mahasiswi berbisik.
“Iya,
namanya Alex Rolland... dia mahasiswa terkaya disini, hampir setiap hari ia
berganti mobil mewah...” sahut mahasiswi yang lain... aku hanya terkekeh dalam hati.
“Wah
kalau dianterin pake mobil-mobil keren itu sih aku juga mau”
“Ya
kan? Aku juga mau kalo diajak ngerasain duduk di mobil-mobil itu...”
Aku
tersenyum, setibanya di lorong kampus, kututup kain payungku dan mengikatnya
kembali.
“Tapi
sayang sekali yaa...”
Bisikan-bisikan
para mahasiswi itu masih saja terdengar, menghentikan langkahku sejenak.
“Iya...
sayang sekali. Andai saja dia... tidak...”
“Albino...”
“Dia
mungkin bisa terlihat lebih tampan...”
Cukup.
Menyebalkan. Kutarik kembali senyum itu. Kupercepat gerak langkahku. Itu memang
benar, aku albino. Kulit dan mataku tidak memiliki warna. Lantas apa? Itu hanya
istilah saja bahwa tubuhku tidak memiliki warna, bukankah kulit putih pucatku
ini selayaknya juga berwarna putih? Rambutku yang tampak pirang bukankah itu
adalah warna? Pupil mataku yang berwarna merah muda, bukankah ini juga warna?
Ini hanyalah kelainan pigmen... ini adalah bukti bahwa aku spesial, tapi
mengapa kalian melihatku seperti ini? Aku sendiri bisa menerima perbedaanku
dengan yang lainnya, lantas mengapa orang lain tidak bisa menerima perbedaanku?
Aku... selama hidupku harus menerima tekanan, dianggap berbeda, bagi mereka itu
hanya umpatan kecil. Ejekan yang tidak berarti, Bagiku, untuk merasakan bahwa
aku tidak sama dengan yang lainnya adalah menyebalkan... tak ada satupun
manusia di bumi yang mengerti... bahkan orang kulit hitam yang didiskriminasi
masih bisa memiliki teman... lantas mengapa kalian harus menjauhiku? Perasaan
ini... mengapa Tuhan dengan begitu tega menciptakanku berbeda dengan yang
lainnya?
Oculocutaneous
albinism, begitulah para dokter menyebutnya. Suatu penyakit yang membuat
tubuhku tak mampu membuat pigmen melanin atau dengan kata lain membuatku
kehilangan warna pigmen pada rambut, kulit dan mataku. Meskipun ini tidak
menular secara langsung, penyakit ini pun belum ada obatnya... ini adalah
kelainan pada genetika, seperti sebuah identitas... atau sebuah kutukan. Karena
penyakit ini aku tidak begitu nyaman dengan cahaya terang, atau sinar
matahari... hanya dengan menyinari kulitku di siang hari itu sudah cukup untuk
membuat kulitku terbakar. Sewaktu kecil aku selalu diasingkan oleh teman-teman
sebayaku. Hanya Rossa yang melihatku sebagai seorang kakak yang keren ketika
aku menyelamatkannya dari gangguan anak-anak nakal... saat itu Rossa
memanggilku dengan sebutan pangeran vampir... ya, pangeran vampir adalah
panggilan yang keren, sampai akhirnya suatu ketika anak-anak nakal itu kembali
seraya membawa cermin dan dengan cermin itu mereka semua mengarahkan sinar
matahari langsung padaku. Saat itulah aku lari... meninggalkan Rossa menangis
sendirian diganggu dan dilempari bola-bola tanah. Rossa pulang seraya menangis,
sedang aku hanya mengurung diri dalam kamar. Aku merasa sangat bersalah. Lalu
semua itu terjadi, sore itu hujan turun. Aku yang merasa gagal untuk melindungi
adikku segera keluar dari kamar, Kuambil sebatang kayu yang terbuat dari gagang
sapu. Sebuah pembalasan dendam yang membuat anak-anak nakal itu mengingatku
dengan sebutan “Vampir Berpedang...” sebutan lain yang akhirnya membawaku ke
jalan pedang... kenjutsu. Aku mempelajari semua itu sewaktu remaja hingga
akhirnya aku menjadi atlet di cabang olahraga pedang yang lain... kendo. Kini
aku percaya bahwa dengan pedang dan keadaanku yang seperti ini pun, aku bisa
melindungi siapapun. Tapi tidak. Bukan orang ini...
“Lu
berani macem-macem ma gue hah?” ujar seorang pria bertubuh besar. Yang kutahu
namanya Jefri, mahasiswa semester 8 jurusan teknik sipil, sudah 5 tahun lebih
dia berkuliah disini.
“Ampun
Jef... gua minta maaf... gua ga akan ulangi lagi...” yang meminta ampunan ini
namanya Sigit. Dia sekelas denganku, jurusan ekonomi manajemen semester 4.
Seorang pembuat onar.
“Kita
buka aja semua bajunya terus kita ikat dia, kita gantung dia di pohon deket
kantin, biar kita balas dia dengan bikin dia malu...” ide itu terlontar dari
salah seorang kawan dari Jefri, jumlah mereka semua sekitar 8 orang.
“Tapi
sebelum itu kita hajar dulu sampai puas...” ujar Jefri lagi.
“Ayolah
bro, kawan-kawan... maafin gue... gue udah menyesal, please lepasin gue
sekarang...” Sigit terus memohon. Tak ada yang mempedulikan, orang yang tak
sengaja melihat pun membiarkan ini seolah tak terjadi apa-apa. Ini seperti
adegan bullying pada film-film remaja
Amerika, dan sayangnya di Indonesia jika itu bukan didalam kegiatan ospek
kampus, hal seperti itu jarang terjadi. Dan jika itu terjadi satu-satunya
alasannya pastilah bahwa orang yang menjadi korban adalah orang yang
benar-benar pantas dihajar... mengetahui itu aku segera menjauh...
“Ah...
siapapun... lepasin gue... Alex... lu Alex kan? Tolongin gue...Alex!! Woi!”
sialnya Sigit memanggil namaku. “Alex!! Lu denger gue ga sih... tolongin
gue...!!” aku mempercepat langkahku lagi seraya tetap tak peduli. Aku tidak
ingin terlibat masalah disini. Terlebih jika itu bukan masalahku.
Jefri
tersenyum terkekeh... “Alex hah? Bahkan temen bermuka pucat lu itu ga mau
nolongin lu... mau apa lu sekarang?” ujar Jefri. “Lagipula apa yang bisa lu
harapkan dari si albino bermuka pucat itu? Dia bahkan gak akan berani
menghadapi matahari...” Tapi Sigit malah tersenyum dan menunjuk ke arah
belakang Jefri... “Guys... kayanya kalian yang bakalan butuh pertolongan
sekarang” ujar Sigit. Ya. Sejak tadi aku tengah berdiri di belakang mereka.
Jefri dan kawan-kawan yang terkejut langsung berteriak panik...
“Muka
pucat! Mau apa lu sekarang?!”
“Apa
katamu barusan...?”
“Lu
mau apa?!”
“Tidak...
bukan yang itu... kalimat sebelumnya...”
“Dasar
lu muka pu...!!!”
Belum
selesai Jefri berbicara, aku sudah menusukan payungku ke lubang mulutnya.
Seketika Jefri ingin tersedak dan kutarik kembali payungku dan mengayunkan
payung itu ke arah lehernya. Kawan-kawannya yang tidak ingin tinggal diam ikut
menyerangku. Aku mundur sejenak, menginjakan kakiku pada tembok dan mendorong
tubuhku untuk melesat seraya mengayunkan payungku ke kepala empat diantara
mereka. Payung ini... payung ini kugunakan sebagai pedang. Empat orang sisanya
menyerangku dan kembali kutunjukan keahlianku berpedang dengan payungku,
kuincar titik-titik terlemah dari tubuh mereka agar mereka berhenti. Sayang ini
hanyalah payung. Mereka kembali bangkit dan mengejarku hingga ke lapangan
voli... cahaya matahari membuat konsentrasiku terpecah, beruntung aku masih
bisa melihat dengan kacamata hitam yang kukenakan. Delapan orang. Mengepungku.
Delapan orang melawanku sendirian... apa itu adil? Dengan payung ditanganku
saat ini, ya, itu adil. Mereka pun menyerangku bersamaan... sebelah lenganku
berpegangan pada tiang yang biasa digunakan untuk memasang net dan sebelahnya
lagi memegang payung. Satu buah lompatan dan kujadikan tubuh mereka sebagai
pijakan untukku berputar. Kuayunkan payungku di setiap putaran ke kepala mereka
dan mereka langsung tumbang... bermaksud menghindari cahaya matahari aku
menghempaskan tubuhku ke tembok lorong, Jefri yang tidak mau menyerah berusaha
menyerangku kembali dengan meluncurkan pukulannya, aku berguling ke samping
untuk mengelak, Jefri tetap tidak berhenti, kali ini sebuah tendangan ia
lancarkan ke arahku. Aku hanya perlu sedikit menggeser tubuhku seraya menarik
sebelah kakinya yang ia pakai untuk menendang dan disaat bersamaan kugunakan
pegangan payungku untuk menghantam wajahnya. Jefri yang kesakitan hanya
menutupi wajahnya menahan sakit, ku arahkan ujung tajam payungku kepada Jefri.
“Apa
kita sudah selesai disini?” ujarku.
“Sudah...
sudah cukup... pergilah... dasar sial...!!” jawab Jefri
“Aku
belum mendengar kata maaf...”
“Gua
minta maaf, ok?! Apa lu puas sekarang...?” jawab Jefri lagi.
“Baiklah.
Anggap ini tak pernah terjadi... lain kali bersikaplah sedikit lebih sopan...”
Setelah
semua itu aku kembali berjalan hendak memasuki kelas, namun di lorong Sigit
mengejar seraya merangkul bahuku.
“Yo
big bro!! Thank you so much!! Mulai saat ini Alex adalah big bro...!!”
“Jangan
salah paham, aku hanya menyelamatkan harga diriku. Bukan menolongmu...” ujarku.
“Apapun
itu. Alex sudah menolongku, jadi Alex akan menjadi big bro dan aku adalah
little bro...!! Sigit dan Alex... mulai saat ini kita adalah teman dan orang-orang
akan mengenal kita sebagai sig-X!! Itu adalah singkatan nama kita by the way...
tapi jika big bro punya saran nama yang lebih keren akan kupertimbangkan... apa
mungkin serigala-X? Atau its X?”
“Haah...
apa-apaan kau ini, seenaknya menyingkat namaku dengan hanya menggunakan satu
huruf X saja...”
“Wooo...
X adalah huruf yang keren... begini saja, bagaimana kalau samurai x? Atau
xxx...?? xxx... fufufufufu”
“Kau
bercanda. Itu seperti judul anime era 90an. Lupakan soal julukan ini... jadi
kenapa tadi kau sampai berurusan dengan Jefri?” tanyaku.
“Hohoho...
sebenarnya aku tidak melakukan kejahatan... aku hanya mengambil sedikit bagian
foto mereka, itu saja...”
“Apa
hanya itu?”
“Maksudku,
aku memperindahnya... dengan kata lain... mengeditnya, sehingga mereka tampak
berhubungan xxx... jika kau mengerti maksudku... dengan babi, kuda dan hewan
kaki empat lainnya...”
Orang
ini. Orang ini memang pantas dicincang... pikirku. Aku telah menyelamatkan
orang yang salah...
“Setelah
itu... setelah itu... aku menyebarkan foto-foto itu di sosial media melalui
akun milik mereka yang telah aku retas sebelumnya... ohohohoho” Sigit tertawa
antusias. Kuhentikan tawa itu dengan mengayunkan payungku ke lehernya.
“Dengar,
sejujurnya jika aku tahu mereka memperlakukanmu seperti itu karena ini, aku
akan membiarkanmu disiksa disana dan dipermalukan di depan umum... kau tahu,
tindakanmu itu keterlaluan! Dan jika kau berani melakukan hal yang sama padaku,
aku tidak segan-segan membawa katana pemberian ayahku dan kuhunuskan langsung
padamu...” ujarku mengancam.
“Ahahaha
big bro... big bro tidak perlu cemas. Aku tidak akan melakukan itu pada big
bro... kita sudah menjadi teman, ingat?”
“Satu
hal lagi, katana-ku itu buatan garut, replika dari katana aslinya. Hanya
digunakan sebagai pajangan dinding... dan meski pun itu tidak terlalu tajam...
kau harus tahu sesuatu...”
“Euh...
apa?”
“Pedang
yang tidak terlalu tajam jauh lebih menyakitkan...” ujarku. Aku mengatakan itu
seraya mengeluarkan mimik wajah menyeramkan. Sigit terdiam. Entah karena ia
menjadi takut padaku atau apa, yang jelas ia berhenti mengoceh. Kemudian ia
berhenti berjalan... membuatku menoleh.
“Ibuku...”
ujarnya.
“Eh?”
“Mereka
mengatakan bahwa aku anak seorang pelacur...”
Saat
itulah giliranku yang terdiam.
“Aku
tahu mereka mengatakan itu dalam keadaan bercanda... tapi bagi yatim piatu
sepertiku, itu terdengar menyakitkan. Semua orang di lingkunganku, di panti
asuhan, tahu bahwa aku adalah bayi yang dibuang, pada awalnya aku tidak
peduli... sampai akhirnya Jefri dan kawanannya terus mengejekku dengan omong
kosong itu...”
“Itu
tidak benar...” ujarku.
“Apa?”
“Ibumu
tidak seperti itu...”
“Bagaimana
kau bisa tahu?”
“Seorang
ibu pasti akan melindungi anaknya, jika ia harus meninggalkanmu di panti
asuhan, maka semua itu ia lakukan karena ia ingin kau tetap hidup...”
“...
Ah aku...”
“Entahlah,
tapi aku lega karena telah memukuli orang yang tepat. Ejekan semacam itu tidak
hanya terasa kejam bagi seorang yatim piatu, namun bagiku juga...”
“Empati...”
“Eh?”
“Artinya
big bro masih memiliki empati... baiklah big bro, tampaknya kita memang harus
berteman...” jawab Sigit seraya tersenyum.
“Hm...
teman ya? Entahlah, akan kupikirkan, kau mengatakan itu seperti seorang gay...”
ujarku
“Yang
benar saja! aku masih normal! Apa big bro ingin akunnya diretas juga?”
“Coba
saja kalau kau berani, hm jadi kau seorang peretas? Hacker eh?”
“Salah
satu dari mereka yang disebut anonymous... sayangnya gara-gara insiden kemarin,
aku yang terbakar emosi malah membocorkan identitasku pada Jefri dan
kawan-kawannya... aku dan mulut besarku ini memang payah...”
“Seorang
yatim piatu yang berkuliah di jurusan manajemen dan juga seorang hacker... itu
kombinasi identitas yang aneh... siapa yang akan percaya? Lagipula tindakanmu
juga tak bisa sepenuhnya kubenarkan...” ujarku lagi.
“Yah
tapi itulah kenyataannya, oh ya, berbicara soal peretasan, kau tahu,
akhir-akhir ini aku banyak menerima informasi rahasia...”
“Informasi
rahasia?”
“Rahasia...
sangat rahasia. Masih ingat dengan kejadian bencana longsor yang menimpa para
relawan penyelamat korban banjir?”
“Hm...
aku tidak begitu ingat, memangnya apa yang spesial dari kejadian itu...?”
“Dari
semua korban longsor, semuanya berhasil diselamatkan dan dievakuasi, kecuali
satu orang...”
“Seandainya
aku jawab aku tidak tertarik dengan arah pembicaraanmu, apa kau akan berhenti
mengoceh?”
“Namanya
David Moses. Mungkin disini tak ada yang peduli dengan nama itu, namun dari
kabar yang kuterima dari website WikiLeaks, David Moses sebenarnya adalah seorang
mantan agen NSA, sekaligus mantan anggota CIA... David Moses. Dia adalah
buronan Amerika yang sudah lama menghilang, meski begitu Amerika sendiri entah
untuk alasan apa sama sekali tidak mengupayakan pencarian dirinya pada saat
bencana longsor itu terjadi, tubuh David Moses tidak pernah ditemukan, dan ada
kabar bahwa tubuh itu sebenarnya telah dievakuasi oleh pemerintah tanpa ada
yang tahu akan dikirim kemana, karena menurut desas-desus yang kudengar David
Moses adalah seorang pengkhianat yang diburu oleh negerinya sendiri karena
telah membocorkan rahasia negara...”
“Mungkin
itu hanyalah hoax, sudahlah, ada sejuta orang dengan nama David, bagaimana
Amerika bisa tahu bahwa itu adalah sosok David yang mereka incar?”
“Tidak,
jika WikiLeaks yang mengatakan itu, maka hal itu bisa jadi benar”
“Entahlah,
aku tidak peduli dengan kabar-kabar seperti itu, terakhir aku membaca headline
pada sebuah surat kabar tadi pagi isinya hanyalah dongeng tentang seorang
pemuda yang hidup kembali setelah dicium wanita cantik, bukankah itu terdengar
lebih konyol?”
“Apa
mungkin semua itu hanya pengalihan isu? Bahwa sebenarnya ada rahasia yang lebih
besar yang sedang ditutupi oleh pemerintah kita? Aaah. Aku jadi pusing”
“Kau
itu berlebihan. Sudahlah lupakan semua khayalan konspirasimu itu. Kita ada
kelas”
Waktu
terus berjalan. Selama mata kuliah berlangsung, aku terus berpikir... apa yang
sedang kulakukan disini? Belajar? Untuk apa? Aku sudah kaya raya sekarang. Apa
yang sebenarnya kuinginkan... aku tak tahu... bahkan kekayaanku ini tak mampu
membeli kasih sayang dan perhatian orang-orang. Aku masih saja dianggap
berbeda. Aku sudah lama tak bertemu dengan Rossa dan ibuku sejak aku pergi
bersama ayah. Satu-satunya orang yang menganggapku temannya disini hanya orang
ini... Sigit. Entah apakah itu akan menjadi pertemanan yang abadi atau tidak...
“Eh...
apa big bro barusan bicara sesuatu?” tiba-tiba Sigit menoleh ke arahku.
“Ti-tidak.
Kita sedang belajar. Fokuslah!” jawabku.
Dasar.
Orang itu, instingnya tajam sekali. Haaah... menyebalkan, jika sifat sombongku
ini hanyalah pencitraan, mengapa aku tidak langsung membuka diri saja pada
semua orang? Apa? Itu dia! Sejauh ini aku memang tidak memiliki banyak teman karena
aku menutup diriku sendiri pada pergaulan. Aku... entah terlalu minder atau
apa, aku hanya lebih suka menjadi sosok yang dingin dan keren. Membuatku tampak
seperti seorang arogan yang sangat memilih pergaulan. Seolah semua orang berada
jauh di bawah levelku. Padahal sebelum ini, aku pun paham betul bagaimana
rasanya hidup susah. Aku hanya... ingin menjadi sama. Baiklah. Kali ini aku
akan mengatakannya... tentang perasaanku... aku akan mengatakan itu padanya!!!
Kelas
mata kuliah pertama akhirnya usai. Aku segera bergegas keluar melintasi
berbagai lorong, gedung dan segala macam jurusan hingga akhirnya aku berhenti.
Disini. Jurusan seni rupa. Aku sendiri tengah bersembunyi diantara semak-semak
mencoba memperhatikan. Fiuh... aku harus mengatakannya... hari ini... tapi
dimana orang itu? Seporsi keindahan yang telah mencuri hati? Ah. Itu dia!
Gadis
itu tengah berkumpul bersama teman-temannya, dengan senyum yang cemerlang dan
wajah putih mempesona seperti itu... tapi siapa namanya... sial... aku bahkan
tak tahu siapa namanya... aku hanya bisa merunduk diantara semak-semak...
“Namanya
Karina. Biasa dipanggil Karin, yah kalo big bro naksir aku bisa sadap
handphonenya”
“Sigit!
Kamu... kamu... ngapain disini?” ujarku terkejut melihat Sigit yang tiba-tiba
berada di sampingku.
“Dari
tadi aku ngikutin big bro... eh taunya big bro malah diem-diem ngintipin cewek
pake ngomong sendirian lagi...”
“Ngomong
sendiri? Maksudmu dari tadi kamu bisa mendengar apa yang kupikirkan begitu?”
“Pikiran
apa? Jelas-jelas big bro bicara sendiri kok”
“Hah.
Sudahlah, kau lihat? Gadis itu, gadis yang namanya Karin itu... apa yang kau
tahu tentang dia? Apa dia sudah punya pacar...?”
“Eh?
Jadi big bro benar-benar naksir ya? Entahlah, sejauh ini yang aku tahu dia
primadonanya jurusan seni rupa...”
“Kalau
hanya itu sih aku juga tahu. Dulu, asal tahu saja, gadis itu pernah menolongku
dengan memayungiku saat aku kepanasan... sejak saat itulah aku berharap aku
bisa memayunginya di kala hujan... gara-gara itu aku selalu membawa payung bergambar bunga sakura agar menarik hatinya...”
“Apa
cuma karena itu, big bro menyukainya?”
“Tentu
saja! Gadis baik harus dijadikan pacar! Gejolak masa muda ini... gejolak masa
muda di musim pancaroba... prinsip dan kode etik seorang samurai... adalah
mengejar cintanya dengan bersungguh-sungguh!!”
“Wah
big bro bersemangat sekali... baiklah malam ini akan kusadap nomor
handphonenya!”
“Hey...
hey... apa ini? Seorang albino dan peretas amatir tengah berduaan eh?”
Tiba-tiba
sebuah suara muncul mengejutkanku dan Sigit. Tentu saja, siapa lagi kalau
bukan...
“Jefri!
Urusan kita sudah selesai, apa lagi yang kamu mau sekarang?” ujarku.
“Hey,
hey, hey, lihat pasangan gay ini, mereka serasi sekali... kawan-kawan! Lucuti
pakaian mereka berdua! Kita ikat mereka dan kita sebar foto mereka dalam
keadaan semenjijikan mungkin, gua pengen mereka berdua tampak mesra di kamera...”
seru Jefri pada kawanannya. Kini jumlah mereka bukan lagi 8 orang... entah
berapa, yang pasti jauh lebih banyak... mungkin 3 kali lebih banyak...
“Jefri...
kau! Jika kalian berani melangkah lebih jauh lagi, aku tidak segan-segan
membunuh kalian disini satu-persatu!” ujarku lagi. Sebagian dari mereka yang
sudah merasakan pukulan payungku akhirnya tampak mundur dan berhati-hati.
“Hey,
hey, apa yang kalian takutkan, lihat... tidak ada payung atau senjata apapun
disini, kita juga menang secara jumlah, jadi apa lagi yang kalian takutkan?
Hajar mereka berdua!” seru Jefri lagi. Sial, aku harus memikirkan sebuah cara,
tanpa payung atau pedang aku tak bisa melakukan apa-apa. Bodohnya, mengapa
harus kutinggalkan barang-barangku di kelas tadi sih? Melihat keadaan itu Sigit
tiba-tiba berdiri maju.
“Jadi
kamu cemburu pada kami ya Jef?” Sigit tiba-tiba mengoceh lagi. Apa yang bocah
ini pikirkan sebenarnya? Tampaknya kata-kata itu menyulut emosi Jefri. “Apa
babi dan anjing itu tidak cukup memuaskanmu?” ujar Sigit lagi. Wajah Jefri
merah padam.
“Dasar
brengsek. Kawan-kawan!! Pegangi dia lebih dulu... akan kuhajar bocah haram ini
dengan tanganku sendiri!” dan begitulah, teman-teman Jefri menahan tubuh Sigit
dan Jefri dengan leluasa memukulinya.
“Ahk!”
sebercak darah keluar dari mulut Sigit. Aku mencoba untuk bangkit, dan
teman-teman Jefri menahan tubuhku juga. Salah seorang dari mereka memukuli
perutku. Sakit. Sakit sekali, lalu seorang yang lainnya memukul wajahku dan
membuat kacamata hitamku terjatuh hingga akhirnya salah satu dari mereka
mengeluarkan senjata tajam dari sakunya...
“Sekarang
selesai sudah...”
“Hei
kalian yang disana...!!”
Tiba-tiba
sebuah suara muncul dari arah yang lain... suara yang tak kukenal.
“Permainan
apa yang sedang kalian mainkan?”
Sesosok
pria dengan rambut hitam berkilau, bertubuh besar dan bermata sipit dengan
jaket kulit khas pengendara motor, tengah menghisap rokok tiba-tiba muncul dan
mendekati kami.
“Anggap
lu ga liat apa-apa Rick! Urus urusanmu sendiri!” seru Jefri.
“Yeah,
bagaimanapun ini kampus dan ini bukan teritori anak jurusan teknik sipil... apa
yang kalian lakukan disini cukup memalukan. Lepasin mereka berdua!” ujarnya
lagi.
Tanpa
menunggu instruksi, 5 orang dari kelompok Jefri langsung menjegal pria
tersebut, pria itu langsung melempar rokoknya ke angkasa, melompat, lalu
menendang, menjadikan bahu dari penyerangnya sebagai pijakan lalu mendaratkan
lutut kakinya tepat ke arah wajah salah satu dari mereka. Dengan cepat ia
mengelak dari setiap pukulan dan secepat itu pula ia memberikan balasan. 5
orang itu hanya tersungkur kesakitan. Rokoknya yang masih terbakar di udara
mendarat jatuh dan ia tangkap kembali dengan mulutnya.
“Waaa
panaaas!!” rupanya rokok itu mendarat terbalik.
“Jadi
lu mau nantangin gue juga?” ujar Jefri.
“Terserah,
bukan aku yang mulai...” jawab pria itu dengan santai.
“Baiklah.”
Akhirnya kelompok Jefri melepaskanku dan Sigit, mengalihkan perhatiannya pada
pria itu. Sekitar 20 orang berdiri di belakang Jefri. “Kawan-kawan, kita lawan
dia beramai-ramai”
“Whats
the problem, eh chief?” tiba-tiba dari arah samping kiri pria tadi muncul
sekelompok pemuda yang lain, jumlahnya sekitar 40 orang mengenakan jaket kulit
dengan logo-logo yang serupa. Begitu pula dari arah kanannya, sekelompok pemuda
berjaket kulit yang lain muncul, “Apa ada yang bisa saya banting?” ujar salah
satu dari mereka. Di jaketnya menancap sebuah badge logo bergambar serigala, bertuliskan
“Night Rider Squad” sadar dirinya kalah jumlah, Jefri mulai menciut. Ia
melangkah mundur, tampak segan untuk menghadapi pria itu secara langsung.
“Brengsek,
kita selesaikan ini nanti... kita pergi kawan-kawan...” seru Jefri. Dalam
hatiku aku berpikir, bahwa Jefri hanyalah seorang pengecut, yang hanya berani
bertarung secara keroyokan, seandainya dia berani menantangku duel satu lawan
satu aku pasti akan meladeninya.
“Apa
lu bilang?” Jefri tiba-tiba menatapku. Aku tak mengerti maksudnya. Aku tak mengatakan
apa-apa. Lalu Jefri memberi tanda agar kawan-kawannya tidak jadi pergi. Ia
menatap pria berjaket kulit tadi kemudian menatapku tajam...
“Ricky,
gue mau mengajukan sebuah kesepakatan” ujarnya lagi.
“Kesepakatan?
Kesepakatan apa?” jawab pria itu.
“Si
albino ini nantangin gue duel satu lawan satu, dan gue bakal terima itu. So,
apapun hasil dari duel itu, lu engga boleh ikut campur, sebagai gantinya... gue
enggak bakal macem-macem lagi di wilayah lu!” seru Jefri.
“Duel?
Eh... itu beneran? Aku enggak liat ada orang yang ngomongin duel...” ujar pria
tadi seraya menatapku. Aku juga heran, ini aneh... mengapa dengan mudah
pikiranku bisa dibaca orang? Aku sama sekali tidak merasa kelepasan berbicara,
tapi sudahlah, jika itu memang harus, aku akan menghadapinya dengan sekuat
tenaga.
“Jadi
gimana? Apa lu setuju? Gue mau lu jadi saksi dari perkelahian gue sama si
albino busuk ini...” ujar Jefri. Pria yang diketahui bernama Ricky itu pun
menginstruksikan kelompoknya untuk mengelilingi kami. Membentuk sebuah lingkaran
dan menghalangi pandangan
orang-orang.
“Ok,
terdengar cukup fair. Kita kelompok
Night Rider Squad, bakal menjadi wasit sekaligus ring buat pertarungan kalian,
jadi tidak ada yang boleh kabur dari lingkaran manusia ini. Kalian berkelahilah
sampai ada salah satu dari kalian yang mengaku kalah...” jawab Ricky.
Mataku
masih bengkak. Sisa dipukuli tadi. Perutku juga masih mual, sial, sekarang aku
benar-benar harus bertarung. Tanpa pedang... hanya tangan kosong. Meski begitu
pedang sudah ada dalam jiwaku. Ketajaman pedang, hanya bisa diukur dari apa
yang harus dilindunginya. Dan apa yang akan menjadi lawannya. Jika itu hanya
untuk membela diriku dan melawan Jefri, tangan kosong ini sudah cukup. Kami
berjalan memutari lingkaran saling menatap tajam. Mengukur kekuatan
masing-masing...
“Gua
bakal habisi lo disini...!” ujar Jefri mencoba mengancam. Aku terdiam. Sigit
yang tidak ikut-ikutan, mencoba menyemangatiku seraya berdesakan diantara
kerumunan orang-orang... Lalu aku juga melihat orang itu diantara kerumunan,
dia... Karina? Sedang apa dia disini? Fokusku langsung terpecah, melihat
kesempatan ini Jefri tiba-tiba menyerangku dengan cepat. Ia berhasil menghantam
wajahku dengan kepalan tinjunya. Rupanya pukulan ini bukan omong kosong,
pukulan ini sangat kuat. Begitu kuat hingga membuat tubuhku ikut terjatuh. Aku
mencoba bangkit dan aku melihat Karina melihatku dengan tatapan mengasihani...
Jefri melompat. Menghimpit tubuhku dengan kedua pahanya. Aku hanya terbaring di
tanah, menerima berbagai pukulan di wajah. Kesakitan ini semakin lama semakin
terasa monoton. Aku hanya bisa melihat warna terang, gelap, terang, kemudian
gelap lagi, terang lagi, kira-kira itu yang kurasakan selama pukulan-pukulan
itu mendarat di wajahku. Sial, mengapa aku begitu lemah? Apa hanya begini?
Dimana letak harga diriku sebagai atlet kendo kalau begini? Terlebih lagi,
bagaimana aku bisa menyatakan perasaanku pada Karin jika ia melihatku seperti
ini... rasanya lebih mudah untuk menerima pukulan-pukulan ini dan menyerah
begitu saja... aku... aku ingin mengaku kalah... tapi pukulan itu terus
mendarat di wajahku. Tak terhenti, hey, ayolah apa tidak ada yang mau
menghentikan kejadian ini...? Aku tak bisa melihat apa-apa lagi sekarang... lalu
seketika itu juga wajah pelatih kendo-ku muncul dalam ingatan... maafkan aku
sensei... mungkin aku memanglah seorang pecundang...
Saat
itu usiaku baru 12 tahun, hujan rintik-rintik turun di sore hari. Aku mengambil
sebatang kayu yang terbuat dari gagang sapu. Aku berencana untuk membalas
anak-anak nakal yang mengganggu adikku, Rossa. Aku berlari keluar rumah menuju
lapangan tempat dimana anak-anak nakal itu sering berkumpul. Rupanya mereka
sudah tak ada disana. Aku terus berlari dan mencari... hingga akhirnya aku
menemukan mereka tengah berteduh di dekat sebuah warung klontong di ujung gang.
Aku langsung berlari ke arah mereka, mereka yang melihatku langsung berteriak
panik...
“Hey...
hey... itu... itu si vampir dateng...!!”
“Senjata
gaib... mana senjata gaib kita??”
“Cermin
enggak akan mempan di waktu hujan... kita butuh cahaya matahari...!!”
“Kalau
begitu kita harus bikin formasi... ayo ayo... buat formasi yin dan yang...!!!”
Bocah-bocah
itu pun menghadangku bersamaan. Mereka menaruh kedua telapak lengannya di dahi
mereka... lalu saat jarakku semakin dekat, mereka membuka telapak tangan itu
seraya berteriak...
“JU...
RUS... MA... TAHARI...!!!!”
“Jurus
matahari pala lu peyang!!”
Aku
tidak pernah mengerti imajinasi anak-anak ini... jadi langsung kupukuli saja
mereka dengan batang kayu. Beberapa diantara mereka ada yang berhasil mengelak,
aku yang tengah terbakar emosi terus mengayunkan batang kayu itu, hingga
akhirnya aku merasa batang kayuku tertahan... aku menoleh ke belakang, rupanya
benar saja, ada seseorang yang memegangi batang kayuku.
“Sudah
hentikan. Kalian ini sedang apa? Dan kamu... kenapa berkelahi menggunakan
senjata? Tidak jantan sama sekali tau!” ujarnya.
“Bukan
urusanmu. Mereka mengganggu adikku lebih dulu, lagipula jumlah mereka lebih
banyak, sedang aku sendirian, dimana letak salahnya?”
“Kamu
ini... masih bocah tapi lihat gaya bicaramu itu... sungguh tidak sopan! Dimana
ayahmu?”
“Aku
tidak punya ayah”
“Huh,
jadi begitu, itu karena kamu tidak punya tempat mengadu jadi kamu melakukan ini
ya? Baiklah... hey! Kalian bocah-bocah yang disana!” ujar pria tadi pada
anak-anak itu. “Kuperingatkan... jangan ganggu adiknya lagi, jika aku tidak
berhasil menghentikan bocah ini kalian pasti sudah mati dari tadi...”
“Ampun
om... ampun bang... jangan pukuli lagi bang... kita kapok kok om!”
“Hah...
kalian juga sama saja, aku ini masih 27 tahun! Masa kalian panggil aku om!
Sudah pulang sana!” ujar orang itu lagi. aku hanya terdiam, tak lama orang itu
memperkenalkan namanya padaku. Dia bernama... Jo. Tak lama paman Jo yang
berusia 13 tahun lebih tua dariku membawaku ke sebuah tempat dimana disana
terdapat banyak sekali rumah kayu jenis panggung dengan dinding yang terbuat
dari bilik kayu, tanahnya berwarna cokelat tua yang sedikit basah dan ditumbuhi
dengan banyak sekali pohon bambu.
“Mulai
sekarang datanglah kemari setiap hari... mungkin rumah ini sedikit berantakan,
tapi berhubung rumah ini tak ada isinya sama sekali, kupikir tempat ini cocok
buatmu... lagipula ini indoor, kau akan merasa nyaman tanpa khawatir sengatan
matahari, dan suasana yang tenang serta angin sepoi-sepoi disini cukup
menyenangkan...”
“Aku...
mau apa aku kesini setiap hari?” ujarku.
“Berlatih
pedang...”
“Apa?”
“Begini-begini
dulu aku ini adalah seorang ahli pedang, sudah 10 tahun aku belajar tentang
ilmu pedang, masa mudaku, kisah cinta remajaku, kupertaruhkan demi mempelajari
kenjutsu dan kendo di Jepang. Tapi seperti yang kau lihat, aku hanya bisa
membuka warung klontong dan keahlianku menjadi tak berguna sepulangnya dari
sana. Sekilas melihat pertarunganmu saja aku bisa tahu bahwa kau berbakat dalam
mengayunkan pedang”
“Omong
kosong” jawabku.
“Kau
tahu, ada 3 tingkatan tertinggi dalam ilmu pedang. Tingkat pertama yaitu pedang
di tangan, ketika pedang ada dalam genggaman, kau bisa melindungi apa yang
ingin kau lindungi. Kedua tidak ada pedang di tangan, pedang ada dalam jiwa dan
kau mengasahnya dalam diri dan tetap berdiri melawan musuhmu dengan tekad
pedang dalam hati. Terakhir, tingkat tertinggi dari ilmu pedang... tanpa pedang
di tangan maupun di hati, tak ada lagi dendam, yang ada hanya... kedamaian...”
“Hero.
Tahun 2002, film arahan Zhang Yi Mou dibintangi Jet Li,
Tony Lung, Zhang Zi Yi dan Donnie Yen.
Aku suka film itu. Tapi aku tidak suka paman mengutip kata-katanya”
“Rupanya
kau bocah yang cukup sulit ya? Hahahaha... ya sudah ambil ini...”
“Ini...
apa ini? Mainan?”
“Itu
shinai... pedang bambu. Berlatihlah menggunakan benda itu. Jika kau bisa lulus
dari sini aku akan memberikanmu pedang boken milikku. Meskipun ini terbuat dari
kayu, tapi ini cukup untuk melindungimu nanti”
“Untuk
apa? Paman memberikanku ini hanya agar aku mau belajar kepada paman dan dengan
begitu paman bisa memungut bayaran dari ibuku bukan? Tidak, terima kasih”
“Apa
kau memang selalu berpikir senegatif itu pada semua orang atau hanya padaku
saja? Hei bocah, ketahuilah, dengan keadaanmu yang seperti sekarang kau rawan
mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari anak-anak sebayamu. Aku hanya
menawarkan wawasanku yang tak tersalurkan dan jika kau merasa tidak enak, kau
cukup membawakanku masakan ibumu. Tapi aku tidak memaksa. Dan mulai saat ini
jangan panggil pemuda ganteng ini sebagai pamanmu. Panggil aku sensei Jo.
Sensei artinya guru, dan kini kamu resmi kuangkat sebagai murid...”
Aku
menatap orang itu cukup lama. Aku berpikir tentang kerugianku jika aku menurut
dan setelah beberapa pertimbangan aku pun setuju. Begitulah, meskipun sensei Jo
tampak seperti seorang pembual, namun pada akhirnya aku memutuskan belajar dari
orang ini mengenai ilmu pedang hingga bertahun-bertahun setelah itu, ayahku
muncul dan mengabulkan permintaanku untuk membantu sensei Jo membuka sebuah
dojo kendo. Kini ia memiliki banyak murid, dan berkat pelatihannya aku berhasil menjadi seorang atlet kendo setara
kyoshi.
Setiap hari aku berlatih kendo… dan seringkali sensei
Jo menyuruhku melepas pakaian pelindungku kemudian menghajarku tanpa ampun.
“Kau tahu Alex? Jika kau merasakan sakit hanya karena
ini, percayalah bahwa jiwamu utuh dan baik-baik saja… jadi jangan mencoba
mengeluh kesakitan di hadapanku…!” seru sensei seraya menghunuskan pedang kayu
miliknya. “Tapi ini beneran sakit sensei! Yang benar saja! Kenapa kau harus
memukuliku seperti ini? Apa kau ingin membuatku masokis atau apa?!” ujarku.
“Sudah kubilang sakitmu itu hanya perasaan fisikmu saja! Cobalah melatih
kekuatan jiwamu! Jauh diluar rasa sakit itu jiwamu baik-baik saja! Tenanglah
dan terima ayunan pedangku ini…!” jawab sensei lagi. Kali ini ia melompat,
hendak mengayunkan pedang kayu itu dengan kedua tangannya, aku? Aku bahkan
tidak memakai pelindungku sekarang… terlebih lagi, kali ini aku sama sekali
tidak menggenggam pedang. Maka kupipihkan kedua telapak lenganku dan begitu
pedang itu hendak menyentuh kepalaku, segera saja kuhimpit pedang kayu itu
dengan kedua telapak lenganku tadi. Pedang itupun terhenti. Sensei Jo pun
tersenyum. “Betul begitu. Akhirnya kau bisa juga bertahan tanpa pedang dan baju
pelindungmu!”
Jefri menghentikan pukulannya. Ia bangkit dan
meninggalkanku terjerembab di tanah. Rasa sakit di wajahku kini telah berubah
menjadi mati rasa. Hanya ada dingin dan ngilu di berbagai titik. Dengan angkuh
Jefri mendongakan kepala menatap semua orang yang mengelilinginya. “So…
tampaknya teman albino kita ini sudah tidak sanggup untuk berkata menyerah…
jadi bagaimana kalau kita anggap semua ini selesai? Ha? Bagaimana? Tidak ada
komentar? Kalau begitu terima kasih atas perhatian kalian… hahahaha ayo kita
pergi anak-anak!” seru Jefri kepada kawan-kawannya, namun Ricky segera
mencegahnya. “Hey… hey… tunggu dulu” ujar Ricky seraya mengangkat dagunya. ”Tampaknya…
pertarunganmu belum selesai…” sambung Ricky lagi. Sigit pun tersenyum, begitu
juga dengan Karina… seluruh anggota Night Rider Squad mengacungkan kepalan
tangannya seraya menyerukan sebuah nama… “Alex…! Alex…! Alex…! Alex…!” saat
itulah mata Jefri terbelalak seolah tak percaya, ia menoleh ke belakang dan
mendapatiku berdiri dengan senyuman sinis.
“Ini bahkan tidak sakit sama sekali… dan setahuku aku
belum mengaku kalah…!” jawabku.
Mata Jefri masih terbelalak. Mulutnya seolah ingin
berkata sesuatu, namun tampaknya kata itu tertahan di ujung lidahnya. Segera
kupipihkan lenganku lagi. Kubentuk telapak tanganku layaknya para karateka yang
hendak membelah tumpukan batu bata. Ya. Kupipihkan telapak lenganku layaknya
sebuah pedang…
Mahasystem Chapter Two
“The Top Loser”
End.