Mahasystem
Chapter 9: In The Hunt
Siang
ini Raya baru pulang dari tempatnya mengajar anak-anak jalanan. Tak seperti
biasanya, kali ini tak ada lagi sepeda yang bisa ia kayuh. Sepedanya telah
rusak saat ia mengalami kecelakaan tempo hari. Maka ia hanya bisa mengandalkan
kakinya. Namun itu tidak membuatnya bersedih hati. Kini ia bisa lebih menikmati
apa yang dia lalui dengan berjalan kaki. Ia membantu seorang nenek menyeberang,
membantu mendorong mobil yang sedang mogok, lalu ia melihat seorang anak menangis
di tepi jalan dan sang anak menjelaskan bahwa mainannya masuk ke dalam celah
besi gorong-gorong. Tanpa ragu Raya pun memasuki gorong-gorong tersebut dan
membawakan mainan anak itu sehingga anak itu pun kembali ceria. Raya memang
sudah terbiasa melakukan hal-hal kecil semacam itu. Karena baginya melihat
kesulitan orang lain juga sama menyulitkannya jika ia diam begitu saja, bahkan
seekor kucing pun tidak luput dari perhatiannya. Ia telah menyisakan sepotong
ikan sisa bekal makannya tadi pagi untuk ia berikan pada kucing itu. Lalu
kemudian ia menaiki bus, tentu saja ia akan memberikan kursinya pada siapa saja
yang tidak mendapatkan tempat duduk. Namun ia tak pernah sadar bahwa dua pasang
mata tengah mengawasinya dari atap sebuah gedung menggunakan semacam teropong
binocular. Mereka terdiri dari seorang pria berperawakan tinggi besar dan
seorang gadis berambut merah... yang tak lain adalah John McKinley dan Mary
Milosevich.
“Hooo...
rupanya ia anak muda yang baik” ujar John.
“Apa
istimewanya seorang soulrunner yang baik jika dia begitu lemah?” jawab Mary.
“Menarik,
karena biasanya para soulrunner yang kukenal mengalami sedikit gangguan jiwa
atau goncangan secara mental yang membuat mereka tampak berbeda dan antisosial,
tapi look at him. Dia tampak begitu normal dan baik-baik saja...”
“Soulrunner
dengan gangguan secara psikologis? Apa kau membicarakan dirimu sendiri?”
“Shut
up Mary. Aku tidak memiliki isu kejiwaan sepertimu. Maksudku, bagaimana
denganmu? Apakah konflik di Ukraina bisa dengan mudah kau lupakan?”
“You
know me John. Kemampuanku adalah menyembuhkan... i can fix anything...”
“Nope.
Bahkan seorang dokter akan membutuhkan dokter yang lain jika dia terluka...”
“Lucu
sekali. Jadi apa artinya kita telah membohongi bocah itu?”
“Tentang
apa?”
“Tentang
Moses... dan semua yang dia ketahui tentangnya... apakah kita tidak akan
memberitahukan siapa yang sebenarnya dia kenal...?”
“Saat
ini yang terpenting adalah melindungi Raya dan merekrut semua soulrunner yang
tersisa, hanya itu satu-satunya cara agar Genesis bisa menjadi lebih kuat.
Dengan begitu kita bisa membebaskan Jimmy. Lagipula orang itu sudah berjanji
untuk selalu melindunginya...”
“Siapa?”
“Vaust
de Kruegger. Dia berkata bahwa mereka memiliki semacam ikatan. Oh ya apa Zhao
sudah memberitahumu soal siapa pengguna telepati di negeri ini?”
“Brain?
Tidak. Dia hanya berkata bahwa ada beberapa energi soulrunner yang ia rasakan
disini, namun mengenai apa saja kemampuan mereka, Brain tidak memberiku jawaban
pasti. Hey John. anak itu telah pergi naik bus, apa kita harus mengikutinya?”
“Merunduk!”
seru John dan segera Mary pun merunduk mengikutinya, mereka bersembunyi
diantara dinding pembatas dan kotak ventilasi di atap gedung tersebut.
“Apa?
Ada apa?” Mary bertanya.
“Arah
jam satu di atap gedung seberang gedung ini. Jumlah mereka sekitar 6 orang,
kemungkinan mereka adalah agen Noise... mereka pasti mengincar Raya dan di arah
jam 10 beberapa agen lainnya juga terlihat...”
“Good.
Mereka tepat berada dalam jarak jangkauku menembak... aku akan melumpuhkan
mereka dengan Dragunov, sebaiknya kau segera mengejar anak itu...” ujar Mary
seraya mempersiapkan sebuah sniper rifle
dan mulai membidik sasarannya. Namun saat Mary hendak menarik pelatuk
senapannya, John menarik lengannya dan memaksanya untuk tetap merunduk.
“Tidak...
tunggu dulu, masih belum saatnya...”
“Apa
maksudmu belum saatnya? Aku sudah membidik mereka! Mengapa kau kacaukan...”
“Ssst!!”
John menaruh telunjuk didepan bibirnya agar Mary terdiam. Dan segera dari arah
kanan dan kiri mereka berdua sekelompok orang berpakaian aneh tiba-tiba muncul,
ada yang tampak seperti ninja, berpakaian serba hitam dengan hiasan dua bulan
sabit emas di dada, ada yang menggunakan kain yang usang sebagai jubah dan ada
juga yang memakai bulu binatang, berhiaskan rantai atau tulang belulang sebagai
pakaian. Ada yang menggunakan topeng berwajah seram, ada pula diantara mereka
yang menggunakan topi caping di kepalanya. Mereka semua menutupi sebagian
wajahnya, dan membawa berbagai macam senjata tajam... berlari dan melompati
gedung demi gedung hanya dengan beberapa pijakan... Mary dan John hanya bisa
merunduk bersembunyi. Setelah pasukan berpakaian aneh itu melintas barulah
mereka kembali bangkit... tampak di seberang gedung tersebut kelompok itu
mengadakan semacam pertemuan dengan para agen. Mereka berjabat tangan dan
kelompok itu pun menerima sebuah tas koper. Tak lama mereka kembali berlari dan
melompati gedung-gedung dihadapannya.
“Mereka
itu...” Mary memandang heran.
“Yang
pasti mereka bukan atlit parkour. Dari ilmu ringan tubuh dan juga pakaiannya,
tidak salah lagi, mereka pastilah para assassin dari aliansi pembunuh... ini
gawat. Itu artinya, Zion tidak menginginkan kemampuan Raya, Zion menginginkan
kematiannya. Itu sebabnya mereka menyewa para pembunuh profesional dari aliansi
pembunuh... bocah itu... selama ini ia selalu lolos dari kematian, entah itu
terjangan longsor ataupun kecelakaan lalu lintas dan sekarang dia harus
menghadapi para assassin? Aku tidak tahu apa kemampuan anak itu, tapi tampaknya
kemampuannya cukup ditakuti Zion... ah, apa kekasihmu sudah memberi kabar?”
“Saat
ini Jet tengah berusaha membaur dan menyamar menjadi seorang penarik... euh apa
sebutannya? Semacam rikshaw di Cina hanya saja ada sepeda dibelakangnya...”
“Disini
itu disebut becak. Aku tidak tahu kenapa kau bisa jatuh cinta pada orang itu
tapi itu cocok untuknya. Baiklah, saat ini Face juga telah bersiap di
posisinya... kalau begitu kau lumpuhkan semua agen Noise disekitar sini,
sementara aku akan menyusul Raya dan melindunginya. Kita kontak melalui radio.
Adios!” seru John dan segera ia melompat menjatuhkan diri dari atap gedung
tersebut. Codename di dahinya pun mulai muncul. Dan dengan tangannya ia membuat
sebuah lubang portal di udara dan kemudian ia terjun masuk kedalam lubang tersebut
dan lubang portal itu pun tertutup kembali sehingga membuat tubuhnya seolah
lenyap begitu saja. Sementara Mary mulai mempersiapkan senapan Dragunov
miliknya. Memasang peredam pada ujung laras, ia mulai membidik setiap agen.
Begitu satu peluru keluar dari laras, selongsong terlepas, maka satu agen
terjatuh. Dengan tenang Mary menarik nafas. Menahannya lalu barulah ia
menembak. Beberapa agen yang menyadari bahwa mereka diserang mulai panik namun
mereka tak tahu darimana tembakan itu berasal, mereka hanya bisa berlari
merunduk seraya berusaha melihat ke sekeliling, namun hal itu justru menjadikan
mereka sebagai sasaran empuk bagi Mary. Tak butuh waktu lama dan semua agen di
seberang atap gedung pun telah Mary lumpuhkan. Setelah melaksanakan tugasnya
Mary segera membereskan senapannya, membongkar setiap bagiannya dan
memasukannya kedalam peti kayu yang sudah ia siapkan. Lalu ia memasuki ruangan
akses kedalam gedung dan menuruni tangga.
Sementara
itu Raya telah sampai di rumahnya. Namun tak ada sambutan yang diterima dari
keluarganya. Ada sesuatu yang terjadi. Dan ibunya tengah menatapnya dengan
tajam.
“Raya.
Sekarang kamu harus jelasin ini sama ibu!” seru ibunya seraya menunjukan sebuah
amplop. Raya pun mengambil amplop itu, tampak ada cap dan juga logo universitas
tempat Raya belajar. Ia membukanya dan mendapati sebuah surat. Dan apa yang
Raya baca didalamnya membuatnya tercengang...
“Apa
ini... ini... ini tidak mungkin...”
“Tidak
mungkin apa? Berkali-kali ibu bilang... jangan terlalu sibuk dengan kegiatan
sosial kamu itu... bagaimana bisa kamu mengajari anak-anak jalanan itu
sementara kamu sendiri gagal menjalani pendidikan kamu! Kalau sudah begini ibu
bisa apa? Ibu sudah susah payah menyekolahkan kamu dan kamu seenaknya berbuat
sesukamu... ibu kecewa sama kamu Raya. Ibu capek.”
“Tapi
bu, ini aneh, Raya enggak mungkin drop-out. Ibu tahu sendiri, semenjak
kecelakaan kemarin, perusahaan Fabian sudah mengirim beasiswa pendidikan ke
kampus untuk biaya kuliahku... lagipula kuliahku baik-baik saja, tidak
terganggu sama sekali... yah mungkin Raya pernah enggak masuk 2 atau 3 hari...
tapi... seharusnya pihak kampus memberi surat peringatan terlebih dulu...”
“Oh
ya? Peringatan? Dengar, yang ibu tahu keputusan yang kamu buat dulu membuat
kamu hampir kehilangan nyawa... membuat ibu hampir kehilangan satu-satunya anak
ibu. Apa menurut kamu itu bukan peringatan? Apa kamu lupa siapa yang membuat
ketua kalian jasadnya tidak ditemukan hingga sekarang? Sementara wajah kamu
muncul di surat kabar karena selalu bangkit dari kematian. Lalu kecelakaan
itu... seandainya kamu benar-benar peduli... seharusnya kamu menerima uang
ganti rugi dari mereka karena setidaknya itu akan berguna saat kamu menganggur
seperti sekarang! Komunitas relawanmu itu sudah bubar. Jadi berhentilah menjadi
orang baik dan mulai pikirkan diri kamu sendiri.”
“Mirna!
Sudah cukup!” tiba-tiba sang nenek membentak. Ibu Raya lalu pergi menjauh.
Sedangkan Raya hanya terdiam merunduk. Tak tahu harus berkata apa. Neneknya
yang merasa iba, menghampirinya.
“Raya...
jangan sedih nak, tidak ada yang melarang kamu berbuat kebaikan. Hanya saja,
selama ini, semenjak ayah kamu tiada, ibumu sudah bekerja keras sebagai tulang
punggung keluarga kita... jadi, kamu tolong mengerti ya? Ibu kamu tidak
bermaksud seperti itu. Dia hanya emosi sesaat. Dia mengatakan itu karena dia
sayang kepada kamu”
“Tidak
nek. Ibu benar... Raya yang salah... tidak seharusnya Raya mengorbankan apa
yang kalian perjuangkan untuk keberhasilan Raya dan sekarang Raya malah
mengacaukan semuanya...”
“Raya...”
tiba-tiba kakeknya ikut menimpali. “Seorang laki-laki akan selalu senantiasa
berada diantara pilihan, dan pada setiap pilihannya mengandung resiko. Tapi
laki-laki sejati tidak akan menyesali pilihannya. Tidak pernah. Karena menyesal
tidak akan mengubah apapun. Jika itu bisa diperbaiki maka ia akan
memperbaikinya, namun jika tidak, maka dia akan menghadapi masalahnya secara
jantan... ayahmu tidak pernah mundur sedikitpun saat ia harus melakukan
pertunjukan meski tubuhnya sedang sakit. Ayahmu adalah lelaki sejati...”
“Raya
mengerti kek. Raya hanya... sedikit... tidak percaya dengan ini. Mungkin ibu
benar, Raya harus mencari pekerjaan sekarang...”
Ting
tong... bel berbunyi. Seseorang berada dibalik pintu. Nenek pun membuka pintu
itu. Tampaklah seorang pria, berusia sekitar 30 tahunan, mengenakan setelan
semi formal berwarna coklat tua. Tak ada dasi yang mengikat kemejanya, ia
tampak seperti orang kaukasian. Paras Eropa. Namun rambutnya sehitam bulu
gagak. Hidungnya begitu besar dengan bintik-bintik pori yang mengkilat.
Perutnya yang cukup gemuk membuat jasnya tampak terlalu sempit hingga tak bisa
dikancingkan. Dan ia tersenyum ramah...
“Ah...
hallooo... namaku Vaust, saya wartawan dari Sound Of America... apa benar ini
rumah tempat Raya Praditha tinggal?”
“Ya.
Ada keperluan apa dengan cucuku...?”
“Ah.
Nyonya, bisakah nyonya mengijinkan saya untuk masuk? Saya begitu antusias untuk
melihat seperti apa tempat Raya tinggal... dan jika nyonya mau berbaik hati, sebenarnya
saya sedikit haus... fiuw. Udara diluar sini panas sekali nyonya...”
“Jika
ini tentang kejadian kecelakaan yang hampir merenggut nyawa cucuku itu, maka
lupakan saja, cucuku sedang sibuk. Lain kali saja...” dan kemudian nenek
mencoba menutup pintu agar wartawan itu pergi, namun wartawan tersebut malah
menahan pintu itu dengan sepatunya sehingga nenek tak bisa menutupnya.
“Ah
tolong nyonya... sebentar saja, atau paling tidak berikanlah saya segelas air
nyonya, saya datang dari negeri yang jauh, tolonglah... kisah tentang cucu
nyonya cukup populer bagi kalangan remaja di negeriku, setidaknya ada kabar
yang harus kubawa pulang...” kemudian karena semua itu menimbulkan kegaduhan,
Raya dan kakek pun ikut menghampiri.
“Ada
apa nek...?” Kakek bertanya.
“Wartawan.
Dari Amerika katanya. Nenek pikir Raya sedang tidak ingin diganggu hari ini
jadi...”
“Tidak
apa-apa, biar Raya bicara sebentar padanya...” jawab Raya.
“Ah!
Mr. Raya! You look great! Waw, bisa bertemu langsung denganmu merupakan
keberuntungan... euh maksudku kehormatan... ah, bisakah kau luangkan waktumu
untuk sedikit wawancara?” ujar sang wartawan itu lagi. Raya terdiam sejenak,
kemudian ia menjawab.
“Aku
mengerti, hanya saja bagian dalam rumah ini masih terlihat berantakan,
bagaimana jika kita bicara di tempat lain saja?”
“Ah.
Baiklah... hm, sebenarnya aku sedikit haus jadi bagaimana jika aku mentraktirmu
segelas kopi? Dari yang kudengar The House Of Coffee Bian adalah tempat minum
kopi terbaik di kota ini, kalau begitu bagaimana jika kita pergi kesana?”
“Coffee
Bian?”
“Ya.
Ah, maafkan aku, aku tidak bermaksud mengungkit masalahmu dengan keluarga
Fabian, maksudku yah, kebetulan saja aku ingin pergi kesana, ke tempat yang
dikelola oleh orang yang juga menabrakmu waktu itu... Erik Fabian, euh itu
hanya kebetulan...”
“Sejujurnya
aku tidak bermasalah dengan itu... kalau begitu, mari kita kesana” jawab Raya.
Dan mereka berdua pun segera bergegas melangkah pergi meninggalkan tempat itu.
Dan seperti biasa, John mengawasi Raya dari ketinggian, sementara Mary baru
muncul di belakangnya.
“Kau
terlambat...” ujar John.
“Yah,
maafkan aku soal itu. Maafkan karena aku bukan seseorang yang bisa membuka
portal dimensi dimana saja dan bisa muncul dimana saja meninggalkan seorang
perempuan untuk pergi berjalan sendirian.”
“Fokuslah.
Kau lihat? Orang bersetelan lengkap yang berada di dalam mobil itu? Tidak salah
lagi mereka pastilah agen Noise...”
“Dan
menurutku mereka terlalu mencolok. Maksudku turis macam apa yang mau mengenakan
setelan lengkap seperti itu di siang hari yang panas di negeri ini? Dan dari
apa yang kulihat, hey, bukankah bocah yang berjalan menuju mereka adalah Raya?
Dan siapa pria gemuk buruk rupa yang sedang berjalan bersamanya itu?”
“Kau
tidak mengenalinya?”
“Jangan
bilang kalau dia adalah... oh, astaga.”
Sementara
Mary dan John mengawasinya, Raya dan sang wartawan terus berjalan menapaki
trotoar. “Kupikir kita bisa naik taksi dari sini...” ujar Raya. “Ah maafkan aku
karena tidak membawa kendaraan, kami adalah wartawan dari surat kabar kecil dan
mereka tidak memberikan akomodasi bagiku untuk...” belum selesai sang wartawan
bicara, sebuah pintu mobil di dekat mereka tiba-tiba terbuka, pria-pria
berparas Eropa dengan setelan lengkap keluar dari dalam mobil itu.
“Jika
kau mau ikut kami, kami akan dengan senang hati memberikan tumpangan...” ujar
salah satu dari mereka seraya tersenyum. “Ah Raya, tampaknya kita beruntung,
ada orang-orang baik hati yang menawarkan tumpangan...” jawab wartawan itu.
Namun mendengar itu pria bersetelan itu menatap tajam. “Hanya orang bernama
Raya yang boleh ikut, kau tidak termasuk...” jawabnya.
“Hey,
tapi aku wartawan yang lebih dulu menemuinya, aku tidak peduli kalian adalah
wartawan New York Times atau CNN, tapi aku lebih dulu berada disini dan...”
“Dor!”
suara letusan muncul dari dalam mobil. Sang wartawan terkapar dengan bersimbah
darah di sekujur tubuhnya. Orang-orang di sekitarnya yang melihat itu menjadi
panik dan berlari meninggalkan tempat itu, mata Raya terbelalak, tidak percaya
dengan apa yang terjadi. Para pria bersetelan keluar dari dalam mobil seraya
menodongkan pistol.
“Maafkan
aku, tapi kau pun tak lama lagi akan bernasib sama dengan pria itu...” ujar
pria bersetelan. Raya tidak tahu harus menjawab apa. Dia terkejut dengan apa
yang terjadi. Para agen melangkah maju.
“Sudah
dimulai...” ujar John.
“Apa
kita harus turun kesana...?” tanya Mary.
“Tidak,
kita tunggu dulu. Sampai sekarang aku masih belum melihat pergerakan assassin
di sekitar sini, keberadaan mereka jauh lebih berbahaya dibandingkan sekelompok
agen...” jawab John, sementara dibawah sana para agen tengah menodongkan
pistolnya ke arah Raya. Kesal melihat Raya yang terdiam tanpa bicara, para agen
itu pun hanya tersenyum.
“Tampaknya
ini percuma saja. Bagaimanapun kami tidak berniat untuk membawamu tapi untuk
membunuhmu. Kami telah menyewa para pembunuh profesional karena khawatir
Genesis akan melindungimu, tapi tampaknya kami bisa melakukan ini seorang diri”
ujar sang agen.
“A-apa
maksud kalian? Seingatku, aku tidak memiliki dendam dengan siapapun... mengapa
kalian ingin membunuhku? Jika ini hanya tentang diriku, mengapa kalian juga
harus membunuh orang ini? Wartawan ini tidak ada hubungannya denganku, mengapa kalian
harus membunuhnya?”
“Well,
Mr. Raya... bukankah seharusnya kau lebih mencemaskan tentang dirimu sendiri
saat ini. Teman-teman!” sang agen berseru. Dan para pria bersetelan itu menahan
tubuh Raya dan menyeretnya masuk ke dalam sebuah gang yang gelap. Para agen
memegangi tubuh Raya sehingga tak bisa berkutik dan seorang agen lainnya
mengacungkan pistol ke arahnya.
“Say
goodbye to the world, Mr. Raya...” agen itu pun menarik pelatuk di ujung kokang
dengan ibu jarinya, sementara Raya yang perasaannya masih terguncang hanya bisa
menahan nafas.
“John!
Bocah itu bisa terbunuh!” seru Mary.
“Tunggu
dulu!” jawab John.
“John!!”
“Kita
harus percaya padanya!!!”
Dan
sesaat saat agen itu menaruh telunjuknya pada pelatuk di bagian bawah kokang,
tiba-tiba agen itu terjatuh tak sadarkan diri. Raya dan juga para agen yang
kaget segera berusaha melihat apa yang sebenarnya terjadi. Dan dihadapan mereka
berdiri sesosok pria. Yaitu sang wartawan.
“Tidak
mungkin! Bukankah kau tadi sudah...” ujar seorang agen seraya menodongkan
pistolnya. Terkejut dengan kemunculan pria tersebut para agen pun mengalihkan
perhatiannya dan mulai menembak, melepaskan pegangan mereka pada tubuh Raya.
Tetapi tembakan-tembakan itu tak ada yang menemui sasarannya, sang wartawan
tiba-tiba menghilang dari pandangan.
“Dimana
dia?” seru para agen tersebut. Mereka panik dan melihat ke sekeliling,
menodongkan pistolnya ke segala arah. “Disini!” tiba-tiba sang wartawan berteriak
dan muncul dari atas mereka, di tangannya, ia menggenggam jarum-jarum perak
kemudian menancapkannya pada leher para agen dan seketika itu juga, para agen
tersungkur tak sadarkan diri.
“Kau...
bukankah tadi... kau... bagaimana bisa?” Raya bertanya heran.
“Kevlar
dan bantalan tinta merah, ini membuatmu tampak seperti benar-benar mati saat
ditembak” ujar orang itu seraya mengeluarkan bantalan besar dari tubuhnya yang
mengeluarkan cairan berwarna darah, dari sini Raya sadar bahwa pria yang
mengaku wartawan tadi tidak benar-benar gemuk.
“Jadi
siapa kau sebenarnya? Dan mengapa mereka ingin membunuhku?”
“Ah,
ya. Aku ingat bahwa aku hanya mengenalkan namaku pada nenekmu sehingga kau
tidak mengetahuinya, ah. Perkenalkan, namaku Vaust. Vaust De Kruegger. Dan aku
bukan seorang wartawan... aku seorang... make-up artist, mungkin kau ingat
bahwa temanku pernah menemuimu sebelumnya, John, Mary dan Jet... apa kau
mengenalnya?”
“Jadi
kau adalah... salah satu dari mereka? Para soulrunner, jadi itu benar-benar
terjadi?”
“Begitulah,
saat ini musuh kami juga sedang memburumu. Mereka adalah para pemburu soulrunner,
beberapa ada yang mereka rekrut dan sisanya mereka singkirkan. Meski kemampuan
soulrunnermu belum aktif tapi mereka akan mencegahmu mendapatkan kemampuan itu,
so, kami disini berusaha untuk melindungimu. Aku sendiri dikenal sebagai Master
Of Disguise dan kemampuanku adalah...” sebelum menyelesaikan kalimatnya Vaust
mencabuti jarum-jarum yang tertanam di bagian belakang lehernya, bawah telinga
dan juga wajahnya. Dan begitu jarum-jarum itu dicabut, wajah itu pun berubah,
hidung besar dengan pori mengkilat itu kemudian mengempis berubah menjadi
hidung yang mancung, wajahnya yang bulat berubah menjadi tirus, tak lama
kemudian penampilannya berubah menjadi sesosok pria yang tampan. “Aku mampu
melakukan transformasi tubuh dan wajah, aku ahli dalam bidang penyamaran dan
codename-ku adalah... Face...” ujar Vaust tampak bangga, sementara Raya tak
bisa berkomentar lagi dengan apa yang dia lihat.
“Kau
tahu John? Aku benci saat Vaust melakukan itu...” ujar Mary dari ketinggian.
“Yah,
meskipun wajahnya mirip George Clooney, aku sudah menduga bahwa dia akan
kesulitan mendapatkan pacar...” jawab John. Di bawah, Raya memperhatikan mayat
para agen.
“Jadi
apa yang harus kita lakukan sekarang? Tubuh-tubuh ini...” ujar Raya.
“Ah,
mereka adalah agen Noise, kita tidak punya banyak waktu untuk membereskannya,
kita harus pergi dari sini. Waktu kita tidak banyak.”
“Noise?
Apa maksudmu? Apa masih ada orang-orang seperti mereka yang akan berusaha
membunuhku?”
“Ah,
sejujurnya bukan kemunculan mereka yang aku khawatirkan”
“Lalu
siapa?”
Sesaat
setelah Raya menanyakan hal itu sebuah benda tiba-tiba berputar meluncur cepat
ke arah mereka, benda itu berbentuk bulat pipih, terbentuk dari anyaman bambu,
dengan sesuatu seperti mangkuk yang tertelungkup di bagian tengahnya. Dan di
pinggiran pipih dari benda tersebut terdapat pisau yang melingkarinya, pisau
yang sangat tajam. Melihat itu Vaust segera mendorong tubuh Raya untuk
menghindar, sayangnya lengannya tergores benda tersebut dan membuatnya terluka.
“Apa
itu?” Raya bertanya. Sementara Vaust memegangi lengannya yang berdarah. Dan
seperti boomerang, benda berputar itu kembali menuju pelemparnya. Seseorang
berpakaian serba hitam berdiri di ketinggian. Sebagian wajahnya tertutup kain
hitam seperti cadar. Lalu ia menangkap benda berputar tadi dan menaruhnya
diatas kepalanya layaknya sebuah topi caping. Tak lama sekumpulan orang
berpakaian serupa muncul dibelakangnya.
“Assassin...”
Vaust bergumam.
“Kau
mengenal mereka?” ujar Raya.
“Mereka
adalah para pembunuh bayaran. Dari topi caping yang mereka kenakan, kemungkinan
mereka berasal dari Asia. Daratan Indocina. Mungkin dari Vietnam, aku tidak
yakin. Tapi kita harus berhati-hati dengan topi yang mereka kenakan, itu
senjata andalan mereka... akh!”
“Apa
kau tidak apa-apa?”
“Raya,
menyingkirlah. Jauhi lokasi pertarungan ini... sekarang!!” Vaust kemudian
mengambil beberapa buah jarum perak dari saku pakaiannya. Sementara para
assassin itu mengangkat topi mereka dan kemudian melemparkannya bersamaan...
topi anyaman itu pun meluncur ke arah Vaust dan Raya, sementara Vaust melompat,
tubuhnya bermanuver di udara, menghindari topi-topi tersebut Vaust pun
melemparkan jarum peraknya... para assassin pun tidak diam, mereka menghindari
serangan Vaust dan melompat menerjang ke arahnya, namun tiba-tiba John muncul dan
melakukan pukulan uppercut di udara, menghempaskan tubuh salah satu assassin ke
tanah. Sementara, Mary mulai menembakkan peluru dari senapan Dragunov
miliknya... dua assassin lainnya ia lumpuhkan hanya dengan satu tembakan.
Sementara sisa dari para assassin itu menangkap kembali topi mereka, mereka
menjauh, mendarat pelan dan mulai berhati-hati.
“Soulrunner
dari genesis, rupanya Noise tidak berbohong tentang kehebatan kalian...” ujar
salah satu assassin.
“Well,
kami tidak akan meninggalkan kawan kami sendirian, namun jika hanya untuk
menghadapi kalian maka tiga orang dari kami saja sudah cukup” jawab John.
“Paman
John!” seru Raya.
“Raya,
kau baik-baik saja?” jawab John seraya tersenyum.
“Kau
tepat waktu John...” ujar Vaust.
“Tentu.
Dan kau sangat payah...” jawab John.
“Ah.
Aku harus bagaimana? Aku tidak menggunakan plasma suit seperti kalian...”
“Well
itu terdengar cukup kasar...” tiba-tiba suara itu muncul. Sosok baru tiba-tiba
hadir diantara mereka. Seseorang berparas cantik dengan rambut panjang berwarna
hitam yang lurus dan indah, ia mengenakan kacamata berwarna biru kristal dan
itu tidak mengurangi kecantikannya. Ia bertubuh tinggi dan jenjang, mengenakan
pakaian berwarna merah terang dengan kerah chiang-i bermotif burung phoenix.
Dan dia adalah... seorang laki-laki.
“Kau
jahat karena tidak mau mengenakan pakaian rancanganku...” ujar laki-laki itu.
“Ah.
Edward, maafkan aku. Pertama, aku tidak bisa melakukan penyamaran dengan
menggunakan pakaian plasma ciptaanmu, kedua. Aku tidak suka pakaian
rancanganmu. Ayolah, lihat dirimu sendiri. Bagaimana mungkin seorang pria
Inggris sepertimu harus berpenampilan cantik dengan menggunakan gaun perempuan
seperti orang Cina saat merayakan imlek?” ujar Vaust.
“Apa
kau baru saja menyebutku cantik?” gumam pria yang disapa Edward dengan wajah
tersipu. “Ah sial, aku salah bicara!” jawab Vaust. Sementara John mengeluarkan
senjata baton besi jenis tonfa dari balik jaketnya. “Kawan-kawan! Fokuslah pada
musuh di hadapan kita!” seru John. Ia kemudian menghubungi Mary dari radio di
telinganya. “Mary, apakah kau bisa melihat sasaranmu?” “Negative. I cant see
any clear target. Tempat mereka berdiri terhalang oleh gedung-gedung. Pergilah
ke celah dimana aku bisa melihat mereka dengan jelas...” jawab Mary. “Sial!”
Para
assassin pun mulai bertindak, mereka memakai kembali topi caping mereka dan
mengeluarkan dua bilah golok dari pakaiannya. Mereka menerjang para soulrunner.
Raya melangkah mundur dan mencari tempat berlindung, John menggunakan baton
tonfa besinya untuk bertarung, baton besi ini adalah pentungan dengan pegangan
yang biasa digunakan polisi, namun saat itu berada di tangan John, itu bisa
menjadi senjata yang mematikan. Vaust melompat ke arah musuhnya. Kedua pahanya
mengapit kepala musuh lalu ia menancapkan jarum ke beberapa titik di kepala
musuhnya, dan seketika assassin yang terkena jarumnya pun mengerang kesakitan,
wajahnya mengalami pembengkakan lalu seluruh tubuhnya ikut membengkak dan
mengejang kemudian benjolan bengkak itu meledak dan mewarnai tembok dengan
darah...
“Kau
benar-benar tidak tahu cara menggunakan jarum...” gumam Edward.
“Lihat
siapa yang bicara...” jawab Vaust.
Edward
tampaknya tidak berbohong mengenai itu. Karena dari tangannya tiba-tiba muncul
sebuah jarum. Hanya saja ukurannya berbeda. Itu seperti jarum raksasa. Bagian
lubang dari jarum tersebut menjadi pegangannya. Dan dengan jarum raksasa itu ia
menangkis setiap golok yang berusaha menebasnya, lalu dengan ujung tajam jarum
itu ia menusukan senjatanya ke arah musuh... dan dari dahi Edward muncul sebuah
tulisan yang terbaca... skin.
“Kau
menggunakan jarum sebagai pedang, sekarang siapa yang tidak tahu cara
menggunakan jarum?” seru Vaust lagi seraya tidak berhenti bertarung.
“Sebenarnya
ini semacam lance, sejenis pedang tombak yang biasa digunakan para ksatria
Inggris saat duel antar ksatria berkuda. Aku menyebutnya needle lance. Lagipula
kau tidak seharusnya berdebat denganku, aku orang Inggris dan aku adalah
seorang desainer... aku tahu bagaimana menggunakan benda ini...” jawab Edward
seraya menikam salah seorang assassin.
“Edward
awas!!” seru John secara tiba-tiba. Edward menoleh ke atas dan ia berhasil
menghindari sebuah serangan. Kali ini serangan berasal dari kelompok yang lain.
Sebuah telapak lengan dengan cakar berukuran raksasa dan terbuat dari rangka
besi tertancap di tanah. Jika Edward tidak menghindar saat itu, maka tubuhnya
pastilah akan terkena hantaman cakar besi raksasa tadi. Cakar itu terhubung
dengan rantai yang menjulur dari lengan seseorang bertubuh besar, mengenakan
pakaian dari segala macam kulit binatang dan bersamanya kawanan orang
sepertinya membawa senjata yang lebih beragam, mulai dari kapak, palu, hingga
gada berduri. Jika dibandingkan dengan kawanan assassin bertopi caping,
penampilan mereka terlihat jauh lebih buas...
“John...
mereka...” Edward bergumam.
“Itu
benar, aliansi pembunuh tidak hanya mengirimkan satu kelompok saja. Aku dan
Mary melihat sendiri jumlah mereka. Dan yang satu ini adalah yang tersisa dari
suku barbar... mereka yang bersembunyi dari peradaban dan memilih tinggal di
pedalaman bukit di gurun pasir Guanmon Cheng di Xin Jian, Cina. Sebagai
informasi tambahan, mereka adalah kanibal.”
“Kanibal?
Selera makan yang buruk. Apakah mereka juga mengirimkan ninja?”
“Tidak,
aku tidak melihat shinobi sebagai salah satu dari mereka, tapi serikat dagang
Eung Bak dari Korea dan juga Hassass, yang dipimpin oleh Mehmet dari Turki
bukanlah sesuatu yang bisa kita remehkan...”
“Sial...”
“Hahahaha...
karena kau mengetahui siapa kami, maka kau akan mendapatkan kehormatan untuk
kami makan terlebih dahulu...!!” seru seorang assassin seraya menerjang John
dari atas dan menghujamkan kapak, beruntung John yang gesit mampu menghindar.
Namun para assassin bertopi caping yang tersisa pun tidak tinggal diam, mereka
membuang golok mereka dan mengeluarkan dua potongan bambu kecil dari ikat
pinggang mereka. Semacam tabung. Ada potongan kayu yang menutup lubang bambu
tersebut. Lalu mereka membuka tutupnya dan melemparkan isi dari bambu tersebut
ke arah John dan kawan-kawan. Serbuk berwarna putih menghalangi pandangan.
“Sial!!
Ini candu! Kawan-kawan berhati-hatilah! Tutup hidung dan mulut kalian! Lindungi
Raya!!!” seru John. Raya yang masih syok dan tidak tahu harus berbuat apa,
hanya bersembunyi dibalik gerobak sampah besi. Tak ada yang bisa ia lakukan.
Lalu tiba-tiba Vaust melompat dan dari ketinggian, ia menyiapkan jarum-jarum
peraknya... “Aku tidak takut dengan heroin...” dan begitu ia hendak melemparkan
jarumnya, kegelapan membayangi dirinya. Dari atas, seorang assassin bertubuh
besar mengayunkan martil besinya, mengenai punggung kiri Vaust, tubuh Vaust
terpental ke tembok sebelum akhirnya terhempas dan terguling beberapa kali di
tanah.
“Vaust!!”
seru John. Lalu ia menekan kembali radio di telinganya “Zhao! Zhao! Apa kau
mendengarku? Vaust telah dilumpuhkan, berapa lama lagi bantuan akan datang?”
ujar John. Lalu seseorang dari radio itu pun menjawab “Sergei dan Tori sedang
menuju kesana! Bertahanlah...” John kemudian menengok ke arah Raya “Raya!
Lari!!! Pergi dari sini!!! Now!!!” seru John. Sayang, Raya tidak terbiasa
dengan keadaan seperti ini. Cipratan darah dimana-mana. Mayat berjatuhan,
orang-orang ingin membunuhnya. Sebagian melindunginya, namun untuk
melindunginya orang-orang itu harus membunuh. Raya ingat bahwa tawaran John
untuk bergabung bersamanya adalah untuk perdamaian dunia. Jelas, pemandangan
semacam ini bukanlah sesuatu yang ia inginkan. “Raya!!!” John berteriak. Raya
tidak bergeming. Matanya terbelalak, mulutnya menganga begitu saja. Lalu sebuah
cakar besi ditarik kembali dari tanah... “Aku tidak akan membiarkanmu lari
begitu saja...” Cakar besi itu pun kembali terayun, kali ini Raya yang menjadi
target dan jleb! Cakar besi itu pun menusuk bahu, pinggang dan paha kiri John
yang segera muncul untuk melindunginya. “Raya... lari...” ujar John pelan
menahan rasa sakit. “Paman John...” tubuh Raya semakin kaku, kedua kakinya
bergetar ketakutan. Lalu John memegangi rantai yang terhubung dengan cakar besi
tersebut. Ia menariknya dengan seluruh tenaga. Assassin yang bersenjatakan
cakar besi itu pun tidak mau terjatuh dan bertahan diatas seraya ikut menarik
rantai tersebut. Dan memanfaatkan rantai itu, John menggunakannya sebagai alat
untuk mendaki tembok dimana assassin itu berdiri. Dan begitu John sampai di
puncaknya, ia memukul wajah assassin itu sekuat tenaga. Lalu assassin itu
menggigit lengan John dan mengoyak sebagian kulit lengannya. John tak kuasa
menahan sakit dan kemarahannya, hingga akhirnya ia mencabut cakar besi yang
menancap di sebagian tubuhnya, dan menghantamkannya ke tubuh assassin itu. John
menghela nafas... menatap tubuh assassin yang sudah tak bernyawa. “Tidak
bisakah kau sedikit manusiawi dihadapan anggota baru kita?” tiba-tiba sebuah
suara muncul menyapa mereka. Suara wanita. “Hai. Aku tak tahu kalau kau seimut
ini ” ujar wanita itu pada Raya. Raya mungkin memiliki jiwa sosial tinggi,
namun wanita cantik berambut hitam, bertubuh tinggi mengenakan gaun tanpa
lengan dan punggung terbuka dengan belahan paha yang tinggi ditambah dua buah
dada yang besar. Wanita cantik dan seksi. Adalah kelemahan Raya. Dengan cepat
Raya berubah menjadi salah tingkah. Tubuhnya yang kaku perlahan segar kembali.
Disamping wanita itu berdiri seorang pria, mengenakan sunglasses coklat, kurus,
memiliki kumis dan jenggot yang dipenuhi uban. Uban itu juga terlihat di bagian
kiri dan kanan rambutnya. Ia Mengenakan kemeja berwana merah tua dan setelan
jas serba putih tanpa dasi. Elegan.
“What
took you so long?” ujar John.
“Maafkan
aku. Vaust menyarankan kami berdua untuk menunggu di sebuah kedai kopi,
seharusnya aku sadar bahwa dia tidak akan sampai disana. Lalu Brain menghubungi
kami dan menyuruhku kesini...” ujar pria itu.
“Kawan-kawan...
apa kalian sedang sibuk?” tiba-tiba Edward yang selama ini sedang repot melawan
dua kelompok assassin sendirian, memanggil mereka. Kembali sadar dengan kondisi
yang genting, John memberikan intruksi pada kedua kawannya yang baru datang.
“Tori,
kau disini membantuku dan juga Edward melawan mereka... Sergei, kau bawa Raya
ke tempat yang aman...” seru John. “Kau yakin? Bagaimana dengan lukamu?” jawab
pria yang disapa Sergei. “Jangan khawatirkan aku. Cepatlah...” jawab John.
“Baiklah... hei kau yang bernama Raya ikut aku!” Sergei dan Raya pun segera
bergegas dari tempat itu namun seolah tak yakin dengan keputusannya, Raya
menoleh ke belakang...
“Jangan
khawatir. John adalah pria yang tangguh... dia pasti bisa melawan mereka
semua...” ujar Sergei.
“Tidak...
aku tidak mengkhawatirkannya...”
“Lalu
apa?”
“Sebenarnya
aku berharap wanita cantik itu yang membawaku pergi...”
“Dasar
bocah mesum! Jadi kau tidak suka jika aku yang menjagamu?”
“Tidak.
Bukan begitu, niat kakek sudah baik untuk menjagaku, aku tidak keberatan...”
“Kakek?
Kau panggil aku kakek?! Keterlaluan! Biar kuperlihatkan padamu apa yang kakek
ini bisa lakukan!”
Tiba-tiba
dari tubuh Sergei muncul aura berwarna keunguan dan dengan aura itu dia
mengacungkan lengannya, dan lengan itu menghisap segala jenis partikel debu,
bahkan bebatuan kecil. Dan semua itu berputar seperti topan, saling menempel,
bersatu, hingga membentuk sesuatu. Dan... “Zap!” sebuah tangga dinding
berukuran setinggi dua meter muncul dalam genggamannya... Raya tercengang
melihat kejadian itu. Bukan hanya karena Sergei mampu memunculkan benda itu
namun juga karena detail dari tangga yang ia ciptakan sangat rapi, warna yang
mengkilat, tekstur dan presisi yang tepat, bahkan bautnya pun terlihat nyata.
Itu menyerupai tangga besi yang sudah disiapkan dan bisa dibeli di toko.
Kemampuan ini lebih menyerupai... pengendalian mimpi yang biasa dilakukan Raya.
Hanya saja ini terjadi di dunia nyata. Lalu Sergei menaruh tangga tersebut pada
tembok gedung apartemen.
“Not
bad, huh?” ujar Sergei tersenyum. Di dahinya tertera sebuah tulisan yang
terbaca... ambition...
“Ba-bagaimana
kau bisa melakukannya? Dan untuk apa sebenarnya kau mengeluarkan tangga itu?”
ujar Raya. “Naiklah dan berpegangan yang kuat...” jawab Sergei.
Sergei
dan Raya lalu mendaki tangga yang hanya setinggi dua meter tersebut “Sebenarnya
untuk apa kita menaiki tangga ini?” ujar Raya “Pegangan yang kuat!” lalu secara
tiba-tiba tangga tersebut memanjang dengan sendirinya, tingginya yang semula
hanya dua meter saja, kini bisa mencapai puncak gedung apartemen. Raya hanya
bisa membuka mulutnya tak bersuara. Dan begitu sampai di puncak, Sergei dan
Raya pun melompat dan berlari hingga ke ujung tepian gedung tersebut.
“Kenapa
kita harus pergi ke atas sini kakek, eh maksudku paman... Sergei?”
“Itu
karena dari atas sini kita bisa melihat semuanya... assassin memiliki kebiasaan
untuk bergerak diantara atap-atap gedung” Sergei lalu mengaktifkan radio di
telinganya... “Jet, kau mendengarku? Dimana posisimu? Becak? Baiklah aku
melihatnya...”
“Hei,
Raya, kau tahu benda apa lagi yang bisa kuciptakan dengan tanganku ini?” Raya
tidak menjawab, menunggu apa yang ingin ditunjukan Sergei. Lalu Sergei
merentangkan lengannya ke arah kanan dan kirinya, dan dari lengan itu
berterbangan uang kertas yang berhamburan tertiup angin.
“Waw.
Aku kagum pada kemampuanmu paman, maksudku menciptakan tangga adalah hal yang
aneh, tapi menciptakan uang kertas begitu saja... itu keren...”
“Jika
kau melihat codename yang tertera di dahiku kau pasti menyadarinya...”
“Apa?”
Raya lalu memperhatikan tulisan pada dahi Sergei... tulisan itu terbaca...
ambition... sekilas tidak ada yang aneh, namun akhirnya Raya menyadari sesuatu.
“Codename
milikmu... berbeda...”
“Itu
benar, tidak seperti John, dengan codename Hand, atau Vaust dengan codename
Face... codename-ku tidak berkaitan dengan organ tubuh atau fisik. Ambition
adalah kata sifat... karena itu codename dibagi menjadi dua kategori, codename
fisik dan codename psikis, orang-orang dengan codename fisik memiliki kelebihan
dalam menguasai kekuatan tubuh mereka dan orang-orang dengan codename psikis
sepertiku ahli dalam kekuatan psikis, kekuatanku adalah mewujudkan keinginanku
menjadi kenyataan... dengan menggabungkan imajinasi dan kemampuan menyatukan
partikel dan atom hingga menjadi wujud utuh yang sempurna dan autentik lebih
hebat lagi karena semua uang yang tadi kukeluarkan akan menjadi uang asli...
dan kau lihat dibawah sana orang-orang berhamburan memperebutkan uang itu...”
“Untuk
apa kau melakukan itu?”
“Itu
jalur pelarianmu. Dengan berkumpulnya orang-orang dibawah, para assassin akan
kerepotan untuk mengejarmu sementara aku akan menghadapi mereka disini...”
“Dibawah?
Maksudmu aku harus melompat ke bawah begitu?” baru saja Raya menyelesaikan
kalimatnya, tiba-tiba sekelompok orang berpakaian serba hitam, menutupi
wajahnya dengan topeng berwajah tersenyum yang menyeramkan muncul di antara
mereka...
“Assassin
lagi...?” ujar Raya.
“Akhirnya
mereka datang juga... hahaha... topeng itu... topeng byeolsin hahoe... tidak
salah lagi mereka adalah assassin dari Korea, serikat dagang Eung Bak. Pada
awalnya organisasi ini muncul dari kalangan kasim istana, yang secara diam-diam
membelot dan memonopoli harga pasar untuk menimbulkan pemberontakan diantara
masyarakat. Namun dalam perkembangannya, mereka berubah menjadi pembunuh demi
kepentingan politik...”
Mendengar
itu, para assassin tidak mengucapkan sepatah kata apapun, mereka menjawab
pernyataan Sergei dengan pedang... mereka menerjang dan fwooosh!!! Secara
tiba-tiba tubuh para assassin terbakar saat hendak mendekati Sergei, tubuh itu
terbakar begitu cepat hingga menjadi abu. Menyisakan aroma daging panggang.
Sergei tersenyum seraya menunjukan benda kecil berbentuk bulat tipis di
tangannya.
“Ini
adalah... phosporous chip... mudah terbakar... sedikit mengandung sulfur.
Dengan ini, kau tidak perlu khawatir bagaimana membereskan mayatnya...” ujar
sergei. Kemudian... Duuaakk!! Raya memukul wajah Sergei sekuatnya hingga
kacamata sunglassnya terlempar.
“Kenapa
kau melakukan itu! Kenapa kau harus membunuh mereka! Sudah cukup!” seru Raya.
Sergei mengambil kembali sunglass cokelatnya dan menyapukan sedikit darah dari
bibirnya.
“Bocah
tengik, jika aku tidak membunuh mereka maka mereka akan membunuhmu! Jika kau
tidak suka dengan caraku, baiklah...” Sergei lalu memegang dan mengangkat tubuh
Raya ke atas...
“Hei...
turunkan aku... apa yang ingin kau lakukan! Hei!”
“Tangkap
bocah ini... Jet!”
“Apa...
wha... waaa....” Raya yang panik karena tubuhnya diangkat, semakin putus asa
saat tubuhnya dilemparkan begitu saja dari atas gedung apartemen. Di bawah,
seorang penarik becak berambut perak, mengenakan kaos tanpa lengan segera
mengayuh becaknya. Dia tidak lain adalah... Jet.
“Dasar
orang tua gila....” gumam Jet. Tubuh Raya terjun bebas dari ketinggian dan
disaat yang sama para assassin kembali bermunculan dari berbagai arah. Jet
mengayuh becaknya dengan kecepatan tinggi, lalu mengangkat bagian depan becak
sehingga ia hanya bertumpu pada satu roda saja, sekilas tampak seperti
melakukan atraksi wheelie.
Akurasi
Jet tepat. Raya terjatuh tepat di tempat penumpang becak, dan karena becak itu
berputar, itu mengurangi dampak guncangan sehingga Raya tidak mengalami luka
serius... orang-orang yang menyaksikan itu segera mengambil ponsel mereka
berusaha mengabadikan kejadian tersebut. Jet kemudian menekan radio di
telinganya.
“Brain,
i need privacy here...” seru Jet, dan orang dari radio itu pun menjawab.
“Roger
that. Aku akan mengaktifkan jamming device yang kutanam di becakmu, semua
kamera, CCTV, ponsel, gadget apapun tidak akan berfungsi dalam radius 700 meter
dari tempat becak itu berada...”
Dan
segera saja setelah pembicaraan itu diakhiri, orang-orang yang berusaha merekam
kejadian terkena sengatan listrik dari ponsel mereka. Kemudian Jet kembali
mengayuh becaknya. Diatas mereka para assassin tengah melompat seraya terus
mengikuti.
“Jet...
hah... aku senang bisa melihatmu...” ujar Raya seraya berpegangan erat pada
setiap pinggiran becak.
“Pegangan...!”
seru Jet. Becak itu kemudian memasuki gang kecil dan menuruni tangga batu yang
membuat Raya merasa mual karena terguncang. Dari gang tersebut becak itu
memasuki sebuah jalan besar. Di tempat itulah para assassin berbagai macam
bentuk dan senjata turun dan mengepung mereka. Jet mengambil dua pucuk pistol
Beretta yang dia selipkan didalam celananya. Lalu dalam kecepatan tinggi itu
Jet menginjak rem becaknya...
“Here
we go...”
Dan
layaknya adegan pada film action, becak itu melakukan drift putaran 360 derajat
sebanyak empat putaran, dan seraya berputar, Jet membidik para assassin dan
mengacungkan pistolnya...
Dor!
Dor! Dor!
Dan
tidak ada satupun tembakan Jet yang mengenai sasaran. “Sial!” seru Jet seraya
mengayuh kembali becaknya. Orang-orang berlarian panik. Lalu seseorang di
radionya menghubunginya... “Honey, tembakanmu meleset...” ujar seorang
perempuan dari radionya yang tidak lain adalah Mary. “Aku tahu itu... aku lebih
suka menggunakan tinju daripada peluru, tapi si gendut John memberiku benda
ini” jawab Jet. “Hei, aku dengar itu!” tiba-tiba suara John ikut menimpali.
“Hey John, apa yang kau lakukan disana? Aku melihat para assassin yang
seharusnya kau hadapi juga mengejarku dan bocah ini!” seru Jet lagi. “Jumlah
mereka terlalu banyak! Sekarang mereka semua mengejar Raya, kami disini juga
berusaha mengejarnya...” Jet menghela nafasnya. Salah satu assassin melompat
berusaha menebas kepala Jet dengan golok... lalu tiba-tiba assassin itu
terjatuh. Mary menembaknya lebih dulu. Dari kejauhan, Mary mengarahkan
bidikannya pada semua assassin yang mengejar Jet dan Raya. Lalu tiba-tiba
kelompok assassin berpakaian kulit binatang, bertubuh besar dengan senjata
tajam berukuran raksasa muncul dihadapan Jet dan Raya.
“Cukup
sudah...” ujar Jet. Jet turun dari becaknya. Lengan kirinya memegang erat
kepalan lengan kanannya. “Raya... larilah. Jangan khawatir, tidak akan ada yang
bisa lolos dari tinjuku...”
“A-apa?
Lari? Apa kau yakin...? ah, baiklah...” Raya lalu turun dari becaknya. Ia
berlari menuju gang di seberang jalan... lalu seorang assassin berusaha
mengejarnya. Tapi Jet lebih dulu melompat, assassin itu terjerembab ke tanah
terkena pukulan Jet. Raya terus berlari, sejenak ia menoleh ke belakang. Tampak
tubuh para assassin terlempar kesana kemari oleh serangan Jet. Tanpa ragu lagi
Raya kembali berlari, menyusuri gang sempit yang becek, menabrak orang-orang...
Raya tidak peduli. Baru kali ini dalam hidupnya ia merasakan takut. Ia berlari
sejauh mungkin hingga akhirnya ia berhenti pada ujung jalan yang ia telusuri.
Sebuah lapangan... tempat anak-anak biasa bermain bola. Kali ini lapangan itu
tampak kosong dan sepi. Raya berusaha mengatur nafasnya yang
tersengal-sengal... ia bersandar pada sebuah tiang listrik.
“Apa
itu melelahkan?”
“Ya,
benar-benar melelahkan... eeeehhh??” Raya terkejut pada suara yang tiba-tiba
menyapanya. Ia menengok ke atas. Dan di ujung paling atas tiang listrik itu
berdiri seorang pria berpakaian hitam. Mengenakan cadar, memakai semacam tudung
hitam di kepalanya, pada tubuhnya terdapat hiasan berbentuk dua bulan sabit
emas...
Sekumpulan
orang berpakaian serupa juga muncul secara tiba-tiba di hadapan Raya, salah
satu diantara mereka yang tampak sebagai pemimpin turun dari tiang listrik dan
melangkah mendekati Raya. Ia menunjukan semacam gulungan kertas.
“Ah.
Raya Praditha Kusuma... saat ini kau berada dalam kontrak kami. Menyerahlah dan
kami akan berusaha agar ini tidak terasa sakit...”
Pasrah
dengan apa yang terjadi, Raya menelan ludahnya. “Baiklah... jika membunuhku
akan mengakhiri pembunuhan yang lain... aku... ah, berjanjilah utuk mengakhiri
semua ini setelah kalian mengambil nyawaku!”
“Hoo...
aku tidak menyangka akan jadi semudah ini, terima kasih untuk kerjasamanya...
sekarang kami akan...”
Para
assassin segera menghunuskan pedangnya. Ada yang berbeda dengan pedang mereka,
pedang assassin kali ini berbentuk sedikit melengkung seperti pedang damaskus.
Dan dengan pedang itu mereka menyerang. Salah satu diantara mereka mengayunkan
pedangnya ke arah leher Raya. Raya hanya menutup mata, namun belum sempat
pedang itu menyentuhnya, assassin itu sudah terpental lebih dulu. Raya membuka
mata. Seseorang, seorang wanita bersenjatakan sebuah payung hitam muncul
menyelamatkannya. Tatapan wanita itu tampak tidak asing. Ia mengenakan topi dan
mengikat rambutnya. Ia mengenakan kaos yang cukup ketat dan celana jeans.
Sekilas ia tampak tomboy.
“Laki-laki
ini adalah laki-laki milikku! Siapapun yang berani menyentuhnya, akan aku
bunuh!”
“Eh?!”
Raya terkejut dengan apa yang dikatakan wanita itu. Lalu wanita itu menoleh
pada Raya.
“Kisamaa...
bakayaro...” ujar wanita itu pelan. Para assassin kembali menyerang wanita
tersebut namun wanita itu begitu ahli menggunakan payungnya sebagai senjata.
“Wanita
penyihir! Akan kubunuh kau karena menghalangi kami!” ujar salah satu assassin.
“Urusai!!
Temeeee...!!!” wanita itu kembali menghajar para assassin, topinya terlepas
karena tertiup angin dan ikatan rambutnya pun ia lepaskan, dan saat rambut
panjang itu tersibak, barulah Raya sadar bahwa ia merasa pernah melihat wanita
ini sebelumnya...
“Kuntilanak
Jepang... ngapain kamu disini?”
Mahasystem
Chapter Nine
“In The Hunt”
End