Selasa, 10 November 2015

Mahasystem Chapter 4

Mahasystem
Chapter 4: Eternal Memories

“Ada noda kuning di sekitar lubang kancing kemejamu”
“Ah sial. Padahal aku sudah berusaha menyembunyikannya dengan dasi, tapi kau masih bisa melihatnya…”
“Aha. Rendang ya? Kau masih tidak berubah… masih menyukai masakan Padang…”
“Kau hanya melihat noda ini saja tapi kau sudah bisa menyimpulkan kalau ini adalah noda tumpahan rendang?”
“Hidungku… asal kamu tahu saja, hidungku ini lebih tajam dibanding mataku”
“Rendang itu… istriku yang membuatnya… dan dia memang berasal dari Padang”
“Senang sekali ya. Lihat ikatan sepatumu itu… payah sekali… apa ayahku menyuruhmu datang kesini secara mendadak…?”
“Begitulah… pagi-pagi ayahmu sudah menelponku dan menyuruhku untuk segera menjemputmu”
“Huft… begitu ya… ayahku itu pasti merepotkanmu ya… kau bangun pagi setelah mengalami malam yang indah bersama istrimu, memakan masakannya, menjanjikannya waktu untuk bersama berdua lalu secara tiba-tiba ayahku menelpon, karena terburu-buru kau menumpahkan makananmu dan tanpa peduli dengan itu kau bergegas pergi dengan penampilan seadanya…”
“Apa yang bisa kusembunyikan darimu Erik? Kau itu… menakutkan sekali…”
“Atas nama ayahku aku meminta maaf… kalau kau mau aku bisa membungkuskanmu satu paket kopi Toraja untuk istrimu… itu bahan rempah terbaik untuk membuat steak…”
“Tidak usah repot-repot. Terima kasih. Ngomong-ngomong soal kopi… mengapa kau memilih kopi… bukankah ayahmu sudah memberikanmu segalanya? Mengapa tidak melanjutkan pekerjaan ayahmu dan bekerja di direksi saja?”
“Aku memilih kopi karena… aroma kopi membuatku sedikit lupa terhadap ingatan-ingatan yang tak ingin kuingat. Kau tahu kan penciumanku ini cukup tajam… ditambah sindrom photographic memory yang membuatku mampu mengingat segala sesuatu secara detail… dan didalam aroma, entah itu parfum atau hanya aroma sabun… pada dasarnya semuanya menyimpan ingatan tertentu di dalamnya…”
“Itu tidak menjelaskan mengapa kau menolak bekerja di perusahaan… lihat dirimu. Wajahmu tampan, kaya raya dan kerjamu hanya mengelola kedai kopi”
“Soal itu… aku tidak perlu menjelaskannya bukan? Ini hanya persoalan selera saja… aku hanya tidak suka hidup bergantung kepada kekayaan ayahku. Dan kupikir ayahku harus tahu bahwa aku bisa berjuang sendiri. Setidaknya dia harus tahu bahwa bukan uang yang kubutuhkan darinya…”
“Begitukah…?”
“Ya”
Kenangan itu. Kenangan yang lama sekali. Terpatri diantara rongga ingatanku yang kelu. Isinya hanya rasa sakit. Kemampuanku untuk mengingat sesuatu secara cepat justru membekukanku dalam ruang waktu. Seolah waktu terhenti. Dan aku kembali ke masaku yang dulu. Saat aku masih duduk di bangku sekolah dasar…
“Ayah… apa hari ini ayah harus kerja lagi?” itu aku, usianya sepuluh tahun. Bertanya pada ayahku.
“Tentu saja nak… ayah harus bekerja, untuk membiayai sekolahmu, memberikan baju bagus untuk ibumu dan membuatnya memasak masakan enak untukmu…”
“Tapi… tapi aku masih ingin main bersama ayah…”
“Ayah mengerti perasaanmu, mugkin liburan nanti kita bisa pergi ke Disneyland bersama adik dan juga kakakmu… bagaimana? Hm?”
“Berapa gaji ayah?”
“Hm?”
“Sebenarnya berapa gaji ayah?”
“Gaji ayah… gaji ayah cukup besar… dan bila kamu mengijinkan ayah pergi kerja dengan tenang, mungkin gaji ayah akan baik-baik saja… akan ada games-games terbaru, rumah mewah baru dan motor mini untukmu… bagaimana? Apa kamu menyukainya?”
“Apa segini cukup?”
“Apa?”
Kutunjukan sekumpulan uang kertas yang diam-diam kusimpan dalam kotak mainanku. Jumlahnya sekitar satu juta lima ratus ribu rupiah. Aku mengumpulkannya sedikit demi sedikit dari uang jajanku.
“Apa uangku ini cukup untuk menutupi gaji ayah bulan ini?”
Ayahku terdiam. Lalu ia melihat jam. Sekilas ia menunjukan wajah penuh kemarahan. Lalu ia menatapku dalam.
“Simpan uang itu nak. Pakailah untuk membeli ice cream sebanyak yang kamu inginkan… sekarang ini ayah tidak punya waktu…”
“Tapi…”
“Sudahlah Erik! Jangan ganggu ayahmu. Bermainlah sana bersama kakakmu” seru ibuku yang tiba-tiba muncul. Ayahku menatapnya dalam. Saat itu hubungan keduanya sedang tidak harmonis. Aku sering mendengar pertengkaran mereka secara tidak sengaja, yang kutahu ibuku selalu memaksa ayahku untuk mendapatkan penghasilan yang lebih banyak. Disisi lain aku mengetahui sesuatu yang tidak diketahui oleh ayahku tentang ibuku. Tentang perjumpaannya dengan lelaki lain disaat ayahku bekerja. Saat itu usiaku masih 10 tahun. Hidup dalam kekangan dan aturan. Mana aku tahu apa itu arti perselingkuhan, meskipun aku ingin sekali mengadukan perbuatan ibuku pada ayah namun aku tak tahu bagaimana cara mengungkapkan itu. Sebuah ingatan yang tertanam. Masa lalu yang tertinggal namun tak bisa kulupakan. Sepupuku Bernard hanya menghisap rokoknya dalam-dalam.
“Kakakmu sekarang telah menjabat posisi penting, kau tahu itu?”
“Ya aku tahu.”
“Semua orang yang memiliki hubungan darah dengan ayahmu memiliki posisi di perusahaan, bahkan aku sepupumu. Yah, biarpun jabatanku hanyalah staf rendahan, tapi ayahmu sudah cukup baik menyelamatkanku dari jerat kehidupan yang sulit sebagai pengangguran, berkat ayahmu aku bisa menikahi seorang wanita dari Padang yang pintar memasak… aku merasa sangat beruntung”
“Entahlah, Aku tidak tahu apakah itu bisa disebut sebagai kebaikan…”
“Apa? Tentu saja, ayahmu kan…”
“Ayahku melakukan nepotisme. Apa kau menyadarinya? Korupsi yang kalian lakukan… bisa kalian sembunyikan dengan mudah karena kalian adalah keluarga… perusahaan Fabian bahkan lolos dari pajak karena keluarga kita menguasai kantor perpajakan juga. Pembakaran hutan yang kalian lakukan untuk lahan perkebunan kelapa sawit… dan juga pertambangan yang kalian bangun di desa milik warga… hanya agar kalian bisa mengusir para warga disana kalian sampai tega merusak tanggul sebuah danau dan membuat desa itu terkena banjir… kalian tahu berapa nyawa yang telah melayang di tangan kalian? Kalian adalah penjahat terkeji yang pernah kukenal…”
“Hei… hei… tuduhanmu itu berlebihan sekali. Ayahmu benar. Kau berbeda jauh dengan kakakmu”
“Jangan samakan aku dengannya…”
Kakakku. Ryo namanya. Usianya hanya berbeda dua tahun denganku. Kak Ryo bukanlah seorang yang bisa kuajak bermain atau sekedar mengobrol. Di masa kami bersekolah dulu, kami selalu dituntut memiliki nilai sempurna di sekolah. Bagiku yang memiliki photographic memory itu adalah hal yang mudah. Aku cukup membuka lembaran kertas dalam buku dan dalam waktu beberapa menit seluruh isi buku pelajaran ada dalam otakku. Tapi kak Ryo, dia anak normal. Sedangkan ibu kami selalu membandingkan nilai kami berdua, dimana jika ada salah satu dari kami memiliki nilai buruk, maka ibu akan menghukumnya. Dan dalam hal ini, kakakkulah yang paling sering mendapat hukuman. Ia dikurung di kamar dan tidak mendapatkan makan siang. Ayah kami yang selalu sibuk bekerja tidak berpengaruh banyak. Sementara ibuku bersenang-senang bersama pemuda yang tampak jauh lebih muda darinya. Dan disisi lain, aku yang selalu mendapat nilai sempurna di sekolah kemudian diajukan ibuku untuk mengikuti program akselerasi di sekolah, yang membuatku bisa melompati tingkatan studi dimana aku yang masih kelas 1 smp saat itu bisa langsung mengikuti pelajaran di kelas 3. Itu artinya aku akan berada di tingkat yang sama dengan kakakku. Dan ini membuatnya semakin tertekan. Persaingan yang sama sekali tak kuinginkan itu pun mulai terlihat. Dan ibuku mulai memberi pukulan dan cambukan menggunakan sapu dan ikat pinggang sebagai hukuman. Aku yang hanya bisa melihat. Merasa sangat bersalah. Ditambah efek samping photographic memoryku yang membuatku dihantui oleh ingatan-ingatan itu setiap waktu. Sampai suatu ketika, aku sengaja membuat nilaiku buruk di sekolah, agar aku bisa ikut dihukum bersama kakak. Akhirnya kami mulai berbaikan dan bisa mengobrol dalam keadaan terkurung di kamarnya. Meski pintu terkunci, kami bisa bermain dengan mainan-mainan masa kecil kakakku yang tak pernah kumainkan. Saat itu aku bisa menikmatinya. Merasakan rasanya menjadi adik. Namun itu tidak lama. Masa ujian sekolah dimulai dan kakakku semakin tertutup. Mengurung diri dan menghabiskan waktunya untuk belajar. Kakakku yang selalu mengejar kesempurnaan dan aku yang tidak menginginkan kesempurnaan itu. Kita berdua memang sangatlah berbeda.
“Ayahmu ingin kau kembali ke perusahaan…”
“Aku menolak…”
“Ayolah. Apa kau ingin perusahaan Rolland yang mengambil semuanya? Perusahaan Tiongkok itu… mereka begitu bernafsu untuk mengakuisisi perusahaan migas dalam negeri. Bayangkan jika itu benar-benar terjadi… terlebih perusahaan Rolland memiliki saham perusahaan yang sama besarnya dengan perusahaan kita. Posisi perusahaan BUMN dan bahan bakar minyak dalam negeri berada diambang kritis, kau tahu itu? Jika perusahaan asing yang mendapatkannya, itu sama saja dengan membiarkan negeri ini terjajah lagi secara ekonomi!”
“Lalu mengapa bukan kakakku saja yang diutus menjadi wakil perusahaan?”
“Jauh sebelum ini aku juga sudah mengusulkan hal itu… tapi ayahmulah yang memberi keputusan. Dia bilang, dia membutuhkan pengamatan tajam milikmu dalam perebutan akuisisi ini. Dan lagi dia bilang kau tidak akan tega membiarkan nasib rakyat Indonesia di tengah mahalnya bahan bakar minyak, dengan menyerahkan begitu saja satu-satunya perusahaan migas dalam negeri kepada perusahaan asing…”
“Apa?”
“Itu benar… ayahmu benar-benar ingin menyerahkan segala sesuatu tentang rapat pemegang saham hari ini kepadamu. Bagi ayahmu kalah dalam perebutan kepemilikan perusahaan itu bukan hal yang penting… tapi dia tahu bahwa kau akan lebih mementingkan kepentingan rakyat ketimbang perusahaan… dia tidak memberimu banyak pilihan. Menjadi wakil perusahaan dan menyelamatkan perusahaan migas itu atau tidak pergi kesana dan membiarkan perusahaan asing mengambilnya, dan membuat harga bbm semakin melambung dan mencekik rakyat-rakyat kecil…”
Aku mengepalkan lenganku. Gigiku saling bergemeretak. Ayahku. Dia memanfaatkan empatiku agar aku kembali ke perusahaan.
“Beraninya dia memaksaku kembali dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat…”
“Sudahlah. Jangan berlebihan begitu. Ayo kita pergi kesana, kita jalani semuanya sebagai keluarga besar yang bahagia…”
“Keluarga bahagia kau bilang…? Coba katakan itu pada mayat adikku…”
“Hei hei jangan libatkan Rita disini… kukira kamu sudah melupakannya”
“Sayangnya bagi seseorang dengan photographic memory sepertiku melupakan bukanlah hal yang sederhana”
Itu benar. Adikku. Jarak usia kami 4 tahun. Rita namanya. Diantara aku dan kakakku, Rita adalah yang paling dimanjakan. Adik perempuanku. Di masa pendidikannya pun, Rita tidak terlalu banyak dituntut meraih nilai yang bagus. Ibuku bilang, anak perempuan tidak perlu menjadi pintar, yang dibutuhkan perempuan hanyalah menjadi cantik. Dan jika ia pintar, maka itu adalah haknya. Aku memang lebih mudah dekat dengan Rita ketimbang kakakku. Kami sering bermain bersama dan memiliki seekor anjing jenis Siberian Husky yang kuberi nama Barky. Diambil dari kata ‘bark’ yang artinya menggonggong. Sampai suatu hari… saat itu aku menginjak kelas 1 sma… aku baru pulang dari sekolah. Dan kudapati tingkah Rita tampak mencurigakan. Aku coba mencolek punggungnya. Dia tampak kaget dan menoleh…
“Pssst…!” Rita menyuruhku untuk diam.
“Ada apa?”
“Diamlah…” Rita memberikan isyarat ke arah jendela. Tampaknya dia sedang mengintip.
Aku menoleh ke jendela. Kolam renang… di halaman tengah. Aku melihat ibuku tengah menangis  dan pemuda yang biasa mengunjunginya tengah berada di kolam tanpa busana. Satu hal yang membuatku panik adalah ayahku juga ada disana. Ia merogoh saku dalam jasnya. Ia keluarkan sesuatu dari situ. Sebuah pistol. Satu suara letusan dan pemuda itu roboh. Darahnya mewarnai kolam. Rita yang terkejut tampak hendak menjerit namun segera kuhentikan dengan menyumpal mulutnya dengan telapak tanganku. Ayahku menoleh dan aku segera menarik Rita untuk bersembunyi. Namun tak lama ayahku menarik lengan ibuku dan membawanya ke dalam rumah. Disitulah ayahku menyiksa ibuku, menamparnya dan menghantamkan kepalanya ke tembok. Kami berdua hanya mengintip dari balik sofa.
“Keluar dari persembunyian kalian… Erik! Rita…!” seru ayahku, tampaknya ia sudah menyadari kehadiran kami. Perlahan aku dan Rita pun mulai menunjukan diri.
“Anak-anak! Lihat apa yang ayah kalian lakukan pada ibu kalian ini…!” teriak ibuku.
“Dasar jalang! Anak-anak, lihatlah apa yang dilakukan ibu kalian sehingga memaksaku berbuat ini!”
Sekali lagi ayah menampar ibuku. Rita menutup wajahnya seraya terus menangis. Aku hanya bisa memeluknya. Dan dari balik kamar… kak Ryo muncul seraya melompat. Ditangannya ia menggenggam sebuah asbak. Ia hantamkan asbak itu ke kepala ayahku. Lalu ayahku menghempaskan kakakku itu hingga tubuhnya menghantam lemari. Kepala ayahku berlumuran darah… ia acungkan pistolnya ke arah kakakku Ryo, Ryo yang panik hanya menangis… tubuhnya menggigil ketakutan. Hingga tanpa kusadari Rita telah terlepas dari dekapanku dan mulai mendekati ayahku.
“Apa ayah… mau menembak kakak juga?” Rita mulai bergumam namun itu tidak menghentikan air matanya. Kakakku Ryo tampak sangat syok. Matanya terbelalak melihat pistol yang diacungkan ayahku.
“Aku… aku hanya tidak ingin ayah membuat adikku menangis… aku… minta maaf ayah…” Ryo pun ikut menimpali.
Ayahku terdiam. Aku juga terdiam. Hanya ibuku yang masih terus menangis. Lalu ayahku menatap adikku tajam.
“Rita… jika ada satu kejanggalan dalam hidup ayah maka itu pastilah kamu. Sudah kuduga… sejak awal, kamu bukanlah anak kandung ayah…”
Sontak ucapan ayahku itu membuat semuanya terkejut. Aku pun ikut terhenyak mendengarnya.
“Tidak… Rizal… Rita itu anakmu… apa kamu tidak ingat… dulu… dulu kamulah yang memberinya nama… kamu… kamu tidak bisa katakan itu…” ujar Ibuku.
“Katakan apa? Bahwa golongan darahnya yang tidak cocok itu hanya sebuah kelainan? Apa aku harus percaya kepada kata-katamu lagi…?”
Itu adalah hari yang kelam. Anak buah ayahku kemudian mengurus mayat pemuda di kolam. Entah hendak diapakan atau dikemanakan. Beberapa hari setelahnya sidang perceraian pun dimulai, dan hak asuh anak jatuh pada ayahku. Ibuku, aku tidak tahu lagi nasibnya. Dan sejak saat itu ayahku pun mulai berubah. Tak ada lagi ayah yang hangat seperti biasanya. Kakakku juga begitu. Meski tak ada lagi hukuman dan kata-kata kasar dari ibuku, kakakku tumbuh menjadi sosok yang tertutup. Rita pun ikut berubah, senyumannya berubah menjadi sinis. Seolah keceriaan itu telah ditarik dari hidupnya. Ia selalu berkata bahwa ia hanya hidup menumpang. Masa pendidikannya menjadi kacau dan pergaulannya menjadi tak terarah. Puncaknya adalah saat aku dan kakakku mulai bekerja di perusahaan ayahku. Pt. Fabian Jaya. Sedang adikku Rita memutuskan untuk berkuliah. Suatu hari aku melihat pintu kamarnya terbuka, entah karena penasaran atau memang firasatku, aku memutuskan untuk masuk. Kulihat keadaan kamar itu. Kamar yang dulu menjadi tempatku dan Rita bermain. Meski begitu dulupun aku tidak betah berada disini lama-lama. Alasannya karena Rita selalu memaksaku untuk bermain boneka. Permainan perempuan. Dulu tempat ini berwarna lembut. Dengan cat biru langit dan pernak-pernik khas anak perempuan. Namun sekarang semua itu berubah, cat itu sudah memudar. Wallpaper bergambar itu pun telah terkelupas, menyisakan bekas robekan disana-sini. Pakaian kotor yang tergeletak begitu saja di lantai. Menghadirkan suatu aroma yang asing untuk sebuah kamar milik perempuan. Lalu aku melihat boneka kelinci kesayangan Rita. Kapuk putih mulai keluar dari lehernya yang hampir terputus. Padahal setahuku, itu adalah boneka favoritnya. Tunggu. Sekarang aku sadar bahwa wallpaper itu baru saja diganti. Itu artinya, semua bekas robekan ini… bukan tidak sengaja robek, melainkan Rita sendiri yang merusaknya. Tidak salah lagi. Aku melihat bekas-bekas depresi di ruangan ini. Photographic memoryku pun mulai bekerja dan melihat semua urutan kejadian. Tampaknya Rita juga sempat membenturkan kepalanya sendiri ke dinding. Aku melihat bekas yang sesuai dengan tinggi dan ukuran kepalanya. Lalu merusak pintu lemari… lalu menumpahkan keranjang cucian… keranjang itu bahkan masih tergeletak begitu saja. Ia mengambil sesuatu dari meja riasnya, lalu… lalu apa… kucoba untuk terus menelusuri sampai…
“Aw” seruku setelah aku merasa telah menginjak sesuatu. Kuambil benda itu. Bentuknya kecil. Warnanya biru transparan, berbahan plastik, aromanya… seperti… alkohol… sial. Ini adalah tutup jarum suntik. Tiba-tiba anjing kami Barky muncul dan menggonggong, ia menghampiriku, lalu berlari ke arah balkon. Aku segera berlari menuju balkon di luar kamar itu… aku melihat Rita. Terduduk di bangku. Tubuhku langsung terasa lemas. Begitu lemah. Aku mendekatinya dengan perlahan. Mulutnya terlihat mengeluarkan busa. Jarum suntik masih menancap di pergelangan tangannya. Kutekan beberapa titik nadinya. Tubuhnya tidak kaku, namun sudah dingin. Kubuka kelopak matanya, membaca pupilnya dan memeriksa mulutnya. Tampaknya waktu kematiannya kurang lebih sekitar setengah jam yang lalu. Setelah pihak medis memeriksanya, adikku Rita, dipastikan tewas karena overdosis zat psikotropika. Ia meninggal ditengah kekayaan keluargaku yang tidak bisa memberikannya kebahagiaan. Aku mungkin bukanlah sosok yang bisa menangis atau menunjukan emosiku tapi… bukan berarti aku tidak tersiksa. Efek samping dari photographic memory adalah apa yang kulihat dan apa yang paling kuingat, semua itu akan terus menghantuiku… dalam tidurku, dalam lamunanku, dalam setiap sudut ruang yang kulihat, aku merasakan pemicu ingatanku. Beberapa bulan sejak saat itu aku memutuskan keluar dari perusahaan. Menjauh dari keluargaku.
“Hey bisakah kau suruh anjingmu itu untuk diam? Dia menyalak terus dari tadi…” ujar Bernard seraya mencicipi kopi yang disajikan pelayan.
“Hahaha… Barky. Dia anjing yang baik… dia juga pintar”
“Siberian husky hah? Wajahnya tampak menyeramkan, seperti serigala saja. Memangnya apa tidak apa-apa membawa anjing ke kedai kopimu ini?”
“Haaah… ini kan lantai tiga. Tak akan ada pengunjung yang mengeluh lagipula Barky seperti yang kubilang tadi, dia adalah anjing yang pintar… dia sudah tahu dimana dia harus buang air kecil atau buang air besar sendiri… jadi tak ada yang perlu dikhawatirkan”
“Benarkah itu…? Hoo. Kalau begitu tidak masalah…”
“Itu benar, kotoran Barky terkumpul di suatu tempat dan pegawai kami akan mengeringkannya sebelum mengolahnya menjadi kopi seperti yang kau minum itu…”
“WPGHJPPH…!!! Apa!? Memangnya kau pikir anjingmu itu luwak apa?”
“Hahaha… aku bercanda. Hey, noda di kemejamu bertambah lagi tuh…”
“Ah… sial… apa kau punya pakaian ganti? Aku tidak mungkin menghadiri rapat dengan kemeja seperti ini… haaah. Tapi lihatlah ini… coba kau baca majalah ini” Bernard lalu menyerahkan sebuah majalah kepadaku. Pada cover majalah itu terpampang wajah ayahku dan wajah seseorang lainnya yang tak kukenal. “Orang yang menjadi cover bersama ayahmu itu namanya Rolland Wong, CEO dan founder dari Rolland corporation, Haah… majalah Exo-Ex ini. Majalah yang seolah identik dengan bisnis namun nyatanya hanya membicarakan gosip. Coba kau lihat isinya… kau bahkan ada di dalamnya…”
“Benarkah? Coba kulihat…”
Kucoba membuka isi lembaran majalah itu. Itu memang benar, ada fotoku dan segala macam informasi tentangku disana. Lalu kulihat ada sosok lain yang mengisi halaman di majalah itu.
“Hey, Bernard siapa pria berambut pirang ini?”
“Mana? Ah itu bukan pirang… itu albino… apa photographic memory-mu tidak bisa membedakan mana orang yang albino dan berambut pirang? Ah. Kau ini…”
“Justru karena aku memiliki photographic memory, makanya aku merasa pernah melihatnya…”
“Itu hanya perasaanmu saja, semua orang albino kan rata-rata wajahnya hampir sama. Ehem, sekedar informasi saja dia bernama Alex Rolland. Anak kandung dari Rolland Wong yang baru ditemukan… sekaligus wakil dari Rolland Corporation Indonesia. Kalau kau merasa pernah melihatnya, ya mungkin kamu pernah melihatnya dalam tayangan media-media. Dia adalah calon lawan terkuatmu pada saat rapat pemegang saham nanti…”
“Kau bilang orang ini anak Rolland Wong yang baru ditemukan?”
“Setidaknya itulah yang dikatakan media. Sebelumnya Alex Rolland hanya pria biasa yang hidup sederhana bersama ibu dan adiknya. Lalu ia ditemukan oleh ayahnya, lalu orang tuanya bercerai dan ia kemudian memilih hidup bergelimang harta bersama ayahnya. Satu lagi, Alex juga diketahui merupakan seorang atlet dari cabang beladiri kendo…”
Kalau begitu tidak salah lagi. Dia pasti Alex Rolland yang dulu kukenal. Setidaknya aku ingat bahwa kita pernah bersekolah di sekolah menengah atas yang sama. Saat itu aku masih sering mengalami tindakan ‘bullying’ oleh sesama murid disana.
“Hei kamu… namamu Erik fabian kan?” seorang siswa laki-laki tiba-tiba menghadangku saat itu. Tidak, bukan seorang. Tapi tujuh. Tujuh orang. Menghadangku di lorong belakang sekolah.
“Ada apa?”
“Dengar-dengar ayahmu itu orang kaya ya? Kamu pasti punya beberapa hal yang bisa kamu bagi kepada kami didalam dompetmu itu. Kamu mengerti kan? Anggap saja ini sebagai pajak untuk keamananmu disini… hehehe”
“Tidak. Kamu salah. Aku tidak punya apapun yang bisa diberikan pada kalian.” Aku langsung menghindari mereka dengan terus melangkah menjauh.
“Begitu ya? Kalau begitu biar kami coba untuk memastikannya sendiri…”
Lalu salah seorang dari mereka menarik kerah bajuku dan mulai menggeledah pakaianku.
“Hey… hey… kamu bilang kamu tidak punya apa-apa… lalu apa ini? Uang ini sudah lebih dari cukup untuk dirimu sendiri… seharusnya kamu senang ada kami disini yang bisa membantumu menjadi orang baik dengan beramal…” dan mereka pun mengambilnya. Uang di saku bajuku.
“Kubilang aku tidak punya hal yang ingin kuberikan pada kalian…”
“Jadi kamu tidak ikhlas ya? Baiklah…” orang itu pun memberikan isyarat pada teman-temannya. “Hajar” ujarnya seraya tersenyum. Beberapa dari mereka pun maju dan melancarkan pukulan. Aku mengelak dan menyerang balik. Salah satu dari mereka memberikan tendangan, aku pun bisa menghalaunya. Lalu sebuah pukulan menghantam perutku dengan keras. Rasanya menyesakkan. Lalu pukulan lain muncul, aku pun tersungkur. Kemudian tendangan, injakan, semua mereka lancarkan ke tubuhku. Lalu siswa laki-laki itu pun menatapku seraya berjongkok, kemudian ia meludah. “Hey. Erik… kamu itu jangan sok jago disini… seharusnya kamu bisa menghormati kami… kamu bahkan tidak setangguh kakakmu, kamu tahu itu…? Jadi lupakan soal perlawanan yang tidak bergunamu ini dan mulailah bekerjasama… ok?” ujar siswa itu seraya menepuk-nepuk pipiku. Aku… aku merasa sangat payah. Aku hanya bisa menyembunyikan wajahku dengan lenganku dan tertahan di tanah. Kakakku. Orang-orang ini bahkan melakukan pemerasan semacam ini pada kakakku. Aku… aku hanya bisa terdiam seperti ini. Darah mulai keluar dari hidungku, lalu apa ini? Apa aku menangis? Yang benar saja, aku ini bukan anak kecil lagi… mengapa aku menangis? Sial. Sial. Sial. Hingga akhirnya kucoba untuk membuka mataku dan mencoba melihat seraya masih tetap berbaring di tanah. Aku melihat langit biru yang indah. Yah, kuharap indahnya hari ini bisa menghiburku. Awan putih yang menggembung, burung gereja yang bertengger di kabel listrik, dan sebuah payung… payung yang meneduhkan. Eh… payung? Payung siapa?
“Sampai kapan kamu mau tiduran begitu…” seorang siswa lain tiba-tiba muncul membawa sebuah payung. Aku mencoba untuk bangkit, hingga akhirnya aku terkejut saat melihat ke sekitarku. Ketujuh orang yang tadi memukuliku tampak tersungkur tak sadarkan diri.
“Aku sudah membereskan mereka… jangan khawatir…” ujarnya. Penampilan siswa berpayung ini sedikit aneh, wajahnya sangat pucat… putih pucat. Warna rambutnya pun tidak lazim. Seperti kuning pucat dan tatapannya yang sayu itu terlihat sangat kosong…
“Apa? Aku ini bukan hantu. Dasar bodoh.”
“Se… sejak kapan…?” ujarku.
“Apa? Orang-orang ini? Mereka hanya pecundang… aku bisa membereskannya dalam hitungan detik…” aku pun menatap orang itu cukup lama. Bagiku melawan ketujuh orang ini dengan berkelahi bukanlah pilihan… tapi… tapi bagaimana anak ini bisa melawan mereka sendirian? Lalu aku melihat salah seorang siswa yang tadi memukulku itu bangkit dan mencoba bergumam.
“A… Alex… kamu itu… kurang… aj…”
Bletak! Anak berwajah pucat itu bahkan tidak menunggu kata-kata lawannya itu selesai, ia sudah terlebih dulu memukul kepalanya dengan payung yang bahkan photographic memoryku tidak tahu kapan ia mulai menutupnya dan menjadikannya senjata.
“Ini uangmu. Aku menemukannya… kuambil sepuluh ribu, aku sedikit merasa haus…” ujarnya.
“Ah… i… iyah. Terima kasih…”
“Jangan berterima kasih, aku juga meminta uang sepuluh ribumu ini sebagai bayaran… ingat?” ujar anak itu seraya mencoba berlalu.
“Ah. Tapi aku tidak keberatan… tadi orang itu memanggilmu Alex… jadi namamu Alex yah… ah, namaku Erik… salam kenal…” jawabku seraya mencoba untuk mengejarnya.
“Jangan berlebihan. Aku sudah membereskan orang-orang itu untukmu, jadi sebaiknya jangan berharap lebih dengan menganggap bahwa kita bisa berteman…” ujar Alex lagi.
“Ah. Tapi mengapa… kupikir tidak ada salahnya juga kita berteman kan?” aku masih berusaha membujuknya. Bagiku memiliki teman yang bisa berkelahi seperti dia adalah keuntungan tersendiri.
“Kubilang jangan berlebihan!” Tiba-tiba Alex tampak marah dan membentakku. Ia arahkan ujung payungnya kepadaku. Aku langsung melangkah mundur.
“Aku tidak menyukaimu. Kau dengar?” ujarnya. “Aku tidak menyukai anak-anak manja seperti kalian… kalian yang hanya mendapatkan segalanya dari orang tua kalian tidak akan pernah mengerti apa itu perjuangan… kau bahkan menangis saat mereka mengalahkanmu dan mengambil uangmu. Apa aku benar? Jadi jangan coba-coba untuk mendekat. Bagiku, kau sama seperti pecundang-pecundang itu. Jika kau sampai mencoba untuk menyapaku, mendekatiku atau bahkan melambaikan tanganmu saja maka aku pastikan kau akan menyesal…”
Aku terdiam. Tampaknya Alex bukanlah orang yang menyenangkan, pikirku. Dia mungkin benar… tadi aku memang tampak payah. Tapi seharusnya dia tidak mengucapkan itu. Mengadiliku seperti itu. Kaya, miskin, mengapa itu dipermasalahkan. Aku juga sama. Aku memiliki beban dan masalahku sendiri. Dan sejak saat itu aku mulai menghindarinya di sekolah. Jika ia berada di suatu tempat, maka aku akan menjauhi tempat itu. Jika ia yang duluan muncul, maka akulah yang akan pergi. Merepotkan saja. Tapi seiring berjalannya waktu, aku malah lebih sering melihatnya. Berkelahi melawan anak-anak nakal. Entah karena ingin disebut pahlawan atau apa, bagiku dia hanya menghabiskan waktu saja. Meskipun terkenal diantara siswa lainnya, entah mengapa dia menolak untuk berteman dengan siapapun. Aku selalu melihatnya sendirian. Berjalan sendirian. Berkelahi pun sendirian. Terakhir aku melihatnya di jalan. Tengah berjualan koran.
“Kupikir Alex bukanlah sosok yang berbahaya...” ujarku.
“Kau pikir begitu? Yah, dia memang masih baru dalam dunia bisnis... namanya mencuat begitu saja ketika dia menerima surat kuasa dari ayahnya yang membuatnya duduk di kursi pimpinan perusahaan Rolland” Bernard ikut menambahkan.
“Aku membacanya di majalah ini... tampaknya dia sama sekali tak tertarik dengan perusahaan yang diwariskan ayahnya... disini tertulis bahwa dia terkesan bermain-main dengan bisnisnya, bahkan ada isu bahwa dia akan membawa saham Rolland untuk go public...”
“Go public? Perusahaan sebesar itu? Hahaha... itu artinya dia akan menjual bebas saham perusahaannya bukan? Itu adalah info yang menarik. Siapa tahu saja ayahmu berminat membelinya...”
“Yah, kemungkinan baiknya dia tidak akan hadir pada rapat pemegang saham hari ini”
“Tampaknya dia sadar dengan posisinya dan sentimen masyarakat pada perusahaannya yang berasal bukan dari dalam negeri”
“Yah, semoga saja itu benar. Dengan begitu tak ada alasan lain bagiku untuk tidak datang... meski demikian aku akan tetap menagih janji ayahku, dimana jika perusahaan migas itu sudah diakuisisi oleh keluarga Fabian, maka dia harus membuat kebijakan agar harga bahan bakar minyak bisa berada dibawah harga sekarang”
“Tapi itu janji yang sulit... bagaimanapun, harga BBM bukan berada di tangan perusahaan, bukankah harga minyak diatur oleh persediaan minyak dunia? Jika kau ingin menguasai harga pasar BBM seharusnya yang kau akuisisi itu OPEC... merekalah yang mengatur harga minyak di dunia”
“Bernard... jika kau berpikir seperti itu maka kau itu naif sekali. Tidak tahukah bahwa perusahaan migas berisikan mafia-mafia? Indonesia adalah negeri yang kaya... kita memiliki bahan bakar minyak mentah sendiri, lantas mengapa kita harus membeli masakan orang lain yang sumbernya berasal dari kita sendiri? Man. Negeri ini hanya terlalu malas untuk membangun dirinya. Setidaknya jika perusahaan ingin untung, kita bisa menjual sesuatu dari energi alternatif yang lain... LNG. Indonesia kaya akan sumber LNG... terlebih belum ada yang mencoba untuk menggali potensinya... jika itu terwujud, tidak akan ada lagi orang yang kesulitan mencari tabung gas 12 kg...”
“Waw. Coba ayahmu yang mendengarkanmu. Dia pasti akan menggunakan itu sebagai kampanyenya...”
“Kampanye?”
“Ups. Maafkan aku, anggap kau tidak pernah mendengarnya...”
“Bernard! Jangan menutupi apa yang terlanjur kudengar! Katakan, apa maksudmu dengan kampanye?” Aku langsung menarik kerah baju Bernard. Bernard hanya mengalihkan pandangannya.
“Maksudku... ah, yah, kau tahu kan... ayahmu itu ketua partai politik... rencananya dalam pemilu 3 tahun lagi, ayahmu akan ikut menyertakan dirinya sebagai calon presiden... ah, tolong lepaskan tanganmu”
“Apa?” tubuhku melunglai. Kulepaskan lenganku dari kerahnya.
“Itu yang aku dengar...”
“Jadi begitu. Ayahku tampaknya ingin menjadikan perusahaan migas sebagai senjata... jika dia berhasil mengakuisisi dan menurunkan harga BBM, maka itu akan menjadi alat kampanyenya, sebaliknya, jika dia kalah dalam pemilu maka dia bisa menekan pemerintahan dengan mengendalikan harga minyak di pasaran...”
“Setidaknya ambil sisi positifnya, jika kamu bisa memenangkan perusahaan migas itu dalam rapat hari ini, kemungkinan janji ayahmu itu akan terlaksana... bukankah itu bagus, selanjutnya kita berdoa saja agar kampanyenya sukses, rakyat senang, ayahmu senang, aku senang, kita semua menang”
“Maka itu tidak akan menjadi kemenanganku...”
“Hey, hey... jangan begitu. Dia itu ayahmu. Bukan musuhmu. Satu hal lagi, kau salah dalam satu hal... ayahmu... memang benar dia memiliki perkebunan kelapa sawit dan ayahku juga paman-paman kita ikut mengelolanya, tapi perusahaan Fabian bukanlah dalang dibalik pembakaran hutan tempo hari...”
“Apa maksudmu?”
“Perusahaan dari Malaysia yang melakukannya. Ayolah, apa kau tidak percaya? Bukan hanya kami yang menginginkan tanah itu... perusahaan dari Malaysia, Tiongkok dan juga Singapura berbondong-bondong ingin menggarapnya...”
“Bagiku kalian sama saja. Perusahaan perusak lingkungan. Kalian yang gemar merusak lingkungan sama seperti musuh bagi bumi...”
“Kalian... kalian... kau itu seenaknya saja ya kalau sudah menuduh orang... hah... sudahlah ikut aku”
“Apa? Kemana?”
Bernard kemudian menuruni anak tangga, mengajakku keluar meninggalkan kedai kopiku. Namun sesampainya diluar aku benar-benar dibuat terkejut...
“Hey... dimana mobilku...? Tadi... jelas-jelas aku menaruhnya disini... bagaimana mungkin bisa hilang... ah... sial!!” ujarku ketika melihat mobil kesayanganku raib entah kemana.
“Jangan terkejut begitu... aku sudah menyuruh tukang derek untuk memindahkannya ke rumahmu... jangan khawatir, mulai hari ini kau akan menerima mobil baru... lagipula SUV milikmu itu sudah ketinggalan jaman...”
“Dasar kau ini! Apa kau tidak tahu bagaimana perjuanganku untuk membelinya! Seenaknya saja memindahkannya begitu saja, jika lecet sedikit saja maka aku akan...!”
“Wo wo wo... man. Calm down... lihat mobil macam apa yang kubawakan untuk menggantikannya...”
Lalu Bernard menunjukan padaku sebuah mobil lain yang masih tertutup cover dan dengan penuh keyakinan Bernard pun menarik cover mobil itu... sebuah mobil sport yang cukup mewah...
“Ini... ini... bagaimana mungkin kau...”
“Yap! Lamborghini Gallardo. Bukan Diablo atau Aventador tapi Gallardo. Aku sendiri yang memilihnya, menggunakan uang ayahmu tentunya... kau harus tahu bahwa sainganmu Alex juga memiliki mobil mewah seperti ini, dari data yang kutemukan Alex memiliki Lamborghini Murcielago di garasinya, so seandainya publik mulai menyoroti gaya kalian... kupikir Gallardo adalah yang terbaik untukmu...”
“Hey hey selama ini aku nyaman dengan mobilku, lagipula jika memang harus Lamborghini bukankah Veneno Roadster jauh lebih bagus, kau tahu kan warna basic dari Gallardo adalah...”
“Warna kuning. Warna favorit ayahmu... sudahlah ayo cepat naik... biar aku yang mengemudi...”
“Yang benar saja, apa aku harus mengendarai mobil berwarna kuning ini bersamamu?” sesaat aku terdiam saat menyelesaikan kalimatku. Warna kuning? Betul juga kalau tidak salah...

“Warna kuning. Warna kematian… cobalah untuk tidak menggunakannya hari ini. Karena itu berbahaya untukmu. Begitulah, kami kemari hanya untuk mengingatkanmu…”

Tiba-tiba aku ingat pada kata-kata dua gadis yang datang ke kedaiku tadi jauh sebelum Bernard datang. Mereka memberikanku sebuah ramalan... atau peringatan, apa mungkin ini ada hubungannya?

“2 jam dari sekarang kau akan terlibat sebuah kecelakaan hebat yang akan merenggut nyawamu”

“Hey... kenapa kau malah diam saja! Ayo cepat naik! Apa kau masih terkesima dengan mobil ini? Yah aku tahu. Aku juga awalnya begitu tapi bisakah kita pikirkan pekerjaan?” Bernard mulai memanggilku.
“Tidak. Tentu saja. Hanya saja sebelum kau datang tadi ada dua gadis yang datang kemari dan...”
“Dua orang gadis? Oh ayolah. Apa lagi? Kita bisa bersenang-senang dengan mereka setelah rapat kita nanti dengan mobil ini... istriku tidak akan tahu kalau kau mau tutup mulut...” jawab Bernard.
Aku hanya tersenyum. Kematian... seberapa buruk hal itu bisa terjadi? Di tengah kebusukan sifat manusia disekitarku bukankah jauh dalam ruang hatiku terkadang aku menginginkannya? Entahlah... seandainya kata-kata kedua gadis bernama Mia dan Maya itu benar, mungkin mewujudkan ramalan itu bukan hal yang buruk.
“Hey, Bernard, bukankah kamu bilang kamu tidak bisa ikut rapat dengan kemeja seperti itu?”
“Oh iya, kamu benar juga. Aku lupa... apakah kamu menyimpan baju ganti disini?”
“Ada diatas. Kamu bisa mengambilnya... euh bisa kuminta kunci mobilnya?”
“Ini. Tapi jangan pergi dulu ya. Tunggu aku ganti baju...”
Aku tak menggubris kata-kata Bernard. Segera kumasuki mobil itu dan kunyalakan. Bayang-bayang masa lalu kembali mengusik. Ingatan tentang kematian Rita... peristiwa pembunuhan yang dilakukan ayahku, dan masih banyak lagi. Muncul seperti kilatan cahaya. Aroma darah disekitarku. Aku mengingatnya. Ayahku berkata bahwa larutan kopi bisa menyingkirkan bau darah itu. Dan sekarang kenangan-kenangan menyakitkan itu memaksaku untuk menancap gas. Uwoooo... inikah kecepatan Lamborghini?
“Selamat siang. Bisa tolong katakan tujuan anda sekarang?”
Wow. Mobil ini bisa bicara? Aku baru sadar kalau ada sebuah layar kecil di sebelah kiriku. Disana tertera sebuah tampilan peta elektronik. Gps yang bisa berbicara? Aku tidak menemukan ini di mobilku yang dulu. Ini... keren sekali.
“Baiklah. Let me see... kantor pusat perusahaan migas negeri Jalan Diponegoro...”
“Dari sini ke arah kanan 300 meter...”
“Baiklah”
“Mohon kurangi kecepatan... ada objek terdeteksi di depan”
“Ah hanya macet biasa... tak perlu dikhawatirkan... hm, dengan adanya peringatan semacam ini rasanya aku merasa lebih aman sekarang... persetan dengan ramalan gadis itu. Aku pasti akan baik-baik saja”
“Mohon kurangi kecepatan... ada objek terdeteksi di depan”
“See? Aku bisa menghindari ini...” ujarku penuh percaya diri, dengan lincah kulewati serangkaian mobil yang melaju di depanku. Mungkin aku terlihat sedikit gila karena mencoba berbicara pada gps mobilku sendiri. Tapi aku tidak merasa benar-benar gila sampai akhirnya aku melihat Rita tengah melayang di depan mobilku. Halusinasi? Entahlah. Kunaikan gigi mobil sampai ke tingkat percepatan 4. Kuinjak pedal gas. Tapi mobilku tidak bergeming. Kuinjak sekali lagi. Mobilku masih saja terdiam. Begitu juga dengan mobil lainnya. Aku berusaha untuk melihat sekitar... tapi jalanan seolah membeku. Tak ada gerakan apapun. Burung merpati yang tengah terbang pun terhenti di udara. Seolah medan gaya telah mati. Aku melirik alat gps tadi. Tidak berfungsi. Kulirik jam tanganku... bahkan jarum detiknya tidak berputar sama sekali. Apa ini? Apakah waktu benar-benar telah berhenti? Kulihat Rita melayang dan berputar-putar di udara. Ia menatapku sayu. Lalu ia terbang menukik ke arah mobilku. Menembus kaca depan tanpa memecahkannya... ia hanya menembusnya begitu saja. Aku tak tahu harus berkata apa. Selama ini aku tidak pernah percaya pada keberadaan arwah penasaran, hantu dan sejenisnya... tapi yang kulihat ini... apa?
“Ri... Rita... ka... kamu...”
“Kakak...”
“Rita kesepian kak...” ujar rita yang dengan ringan mendarat di kursi sampingku
“Kamu... bagaimana kamu...”
Lalu tiba-tiba Rita menunjukan ekspresi ketakutan. Ia melihat ke arah kaca depan. Matanya terbelalak. Lalu dengan cepat ia pergi menembus atap mobil. Lalu kusadari ada sesuatu yang muncul dari kejauhan. Semakin cepat ia mendekat, semakin jelas wujudnya. Sesosok pria. Dan dia terbang... sangat cepat ke arah mobilku. Aku semakin merasa bingung. Sampai akhirnya ia mendaratkan kakinya di kap depan mobilku. Seorang pria berpenampilan aneh. Rambutnya diikat di bagian atas. Seperti dalam serial kungfu dan sejenisnya. Ia berjanggut, sangat panjang. Mencapai dadanya yang tidak tertutup oleh jaketnya yang juga panjang. Jaket yang tampak terbuat dari kulit ular yang panjangnya menyentuh lutut kakinya. Ia mengenakan celana jins usang yang tampak robek disana sini. Sepatunya berbahan kulit berwarna cokelat dengan ukuran kurang lebih 43. Tatapannya begitu tajam. Matanya... matanya berwarna kuning? Si... siapa orang ini? Apa dia adalah hantu... atau apa?
“Hm... jadi ini yang disebut Lamborghini Gallardo?”
“Eeh??” aku terkejut seraya mengatakan eh. Maksudku... hantu macam apa yang tertarik pada merk sebuah mobil?
“Ah. Namamu Erik ya? Aku meminta maaf karena menginjak kap mobilmu. Tapi... aku punya sedikit urusan dengan mobil ini. Katakan saja, aku harus menggunakanmu untuk mencabut nyawa seseorang... dengan mobil ini tentunya. Hm... sebenarnya ini menyalahi wewenangku... tapi bagaimana ya...”
“A-apa?”
Dan dengan santai pria itu hanya berjalan mondar-mandir di kap mobilku dan sesekali melompat-lompat seraya berbicara sendiri.
“Haduh. Bagaimana ya... tapi aku telah memilih bocah itu untuk koma waktu itu... masa iya hari ini dia harus mati karena kecelakaan... tidak lucu sama sekali. Tapi mau bagaimana lagi, dia adalah yang terpilih dan aku hanya melaksanakan tugas... apa aku harus disalahkan karena itu? Lagipula... bocah itu sendiri yang bilang jika kendaraan yang paling ia sukai adalah Lamborghini Gallardo... jadi ya... inilah... kuberikan dia Lamborghini... haduh mengapa aku merasa bersalah ya...?”
Apa? Apa yang orang ini bicarakan? Aku tidak mengerti maksudnya... lalu ia berjongkok di hadapanku dan ia menunjukan jam tangannya. Ia tampak seperti mengatur putaran jarum jam tangannya. Entah apa maksudnya, ia kemudian melayang di hadapanku dan...
“Baiklah Erik. Maaf mengganggu waktumu... ini hanya ilusi. Kau boleh melupakannya. Nasehatku adalah... cobalah tarik nafasmu dulu...”
Kutarik nafasku. Mengikuti instruksinya.
“Sekarang hembuskan...”
“Fuuuh....” kuhembuskan nafasku. Dan bersamaan dengan itu mobilku melaju dengan kencang...
“Berbahaya. Kecepatan tidak aman untuk kepadatan jalan ini” gps-ku tiba-tiba kembali berfungsi dan memberikan peringatannya.
“Mohon kurangi kecepatan... ada objek terdeteksi di depan”
“Aku sedang berusaha!!”
Kuturunkan kecepatanku. Dan syukurlah aku berhasil menguasai laju kendaraan ini dengan baik. Meski begitu, fokusku masih terpecah karena halusinasi tadi.
“Di depan melewati jalan Soekarno-Hatta belok kanan 400 meter”
“Baiklah. Fiuh... apakah aku akan benar-benar akan mati sekarang? Yang benar saja...”
Aku kembali memutar kemudiku. Memasuki jalan yang disebutkan oleh gps. Namun mataku mulai teralih karena disana aku melihat dua sosok perempuan yang kukenal... tengah berjalan di trotoar. Nama mereka adalah Maya dan Mia... mereka berdualah yang mengingatkanku tentang kecelakaan yang akan kualami. Aku hanya bisa memperhatikan mereka seraya terus berlalu, dalam kecepatan seperti ini, aku kesulitan untuk mencoba fokus. Bagaimanapun yang kukendarai ini adalah Lamborghini dan sulit untuk mengemudikannya dengan kecepatan pelan. Photographic memoryku mencoba untuk menyimpan apa yang telah kulihat. Tapi sedang apa mereka disini? Kulihat Maya tampak memapah Mia, seolah membantunya untuk berjalan, entah apa yang terjadi tapi Mia tampak menutupi matanya. Ia tampak sangat kesakitan. Aku mengingat semua gambaran itu sampai... hey, sedang apa pengendara sepeda itu di depanku? Sial, harus kurem................
            CKIITTTTT... BRAAAKKKKK!!!
Kepalaku terhempas oleh kantung udara. Aku sendiri mulai panik dan merobek kantung udara pada kemudiku. Aku... telah menabrak seseorang? Pengendara sepeda itu... tampaknya aku menabraknya. Benarkah...? Aku tidak berani melihat... terlebih lagi aspal tampak dialiri darah... apakah orang itu mati? Apa? Bukankah yang harusnya mengalami kecelakaan adalah aku? Tapi mengapa sekarang aku justru menjadi penyebab kecelakaan itu? Kulihat sepedanya terpental cukup jauh... tapi gps... kenapa gps-ku tidak memberikan peringatan apa-apa? Aku mencoba untuk memastikannya dan keluar dari mobilku... orang itu... mengalami pendarahan hebat... kulihat hidung, mulut dan telinganya mengeluarkan darah... matanya pun terbelalak kaku... tidak salah lagi... orang ini... telah tewas... kulihat semua orang disekitarku mulai memperhatikanku. Semua orang mulai keluar dari kendaraan mereka... bunyi klakson disana-sini... apa yang harus kulakukan... aku juga melihat Maya menatapku tajam... pastinya ia akan menjadi saksi atas kecelakaan ini... dan dia tahu identitasku dengan baik... sial. Aroma darah segar ini... ukh. Aku tidak sanggup mencium aroma ini. Kumasuki kembali mobilku dan menancap gas... beberapa orang melempariku dengan batu dan mengeluarkan makian. Aku benar-benar panik. Apa ini? Apa yang kulakukan ini? Mengapa aku melakukan itu? Ayahku pasti akan membunuhku jika dia tahu apa yang kulakukan... bagaimanapun ini akan mencoreng namanya dan menjegal usahanya untuk berkampanye... apa yang harus kulakukan? Aku hanya bisa kabur dari masalah ini... sejauh mungkin... tapi kemana? Persetan dengan rapat... persetan dengan ayahku... persetan dengan harga BBM... atau perusahaan Tiongkok... persetan dengan ramalan gadis itu... juga halusinasiku... persetan semuanya...

Mahasystem Chapter Four
“Eternal Memories”
End.