Mahasystem
Chapter
4: Eternal Memories
“Ada noda kuning di sekitar lubang
kancing kemejamu”
“Ah sial. Padahal aku sudah berusaha menyembunyikannya
dengan dasi, tapi kau masih bisa melihatnya…”
“Aha. Rendang ya? Kau masih tidak
berubah… masih menyukai masakan Padang…”
“Kau hanya melihat noda ini saja tapi kau
sudah bisa menyimpulkan kalau ini adalah noda tumpahan rendang?”
“Hidungku… asal kamu tahu saja, hidungku
ini lebih tajam dibanding mataku”
“Rendang itu… istriku yang membuatnya…
dan dia memang berasal dari Padang”
“Senang sekali ya. Lihat ikatan sepatumu
itu… payah sekali… apa ayahku menyuruhmu datang kesini secara mendadak…?”
“Begitulah… pagi-pagi ayahmu sudah
menelponku dan menyuruhku untuk segera menjemputmu”
“Huft… begitu ya… ayahku itu pasti merepotkanmu
ya… kau bangun pagi setelah mengalami malam yang indah bersama istrimu, memakan
masakannya, menjanjikannya waktu untuk bersama berdua lalu secara tiba-tiba
ayahku menelpon, karena terburu-buru kau menumpahkan makananmu dan tanpa peduli
dengan itu kau bergegas pergi dengan penampilan seadanya…”
“Apa yang bisa kusembunyikan darimu Erik?
Kau itu… menakutkan sekali…”
“Atas nama ayahku aku meminta maaf… kalau
kau mau aku bisa membungkuskanmu satu paket kopi Toraja untuk istrimu… itu
bahan rempah terbaik untuk membuat steak…”
“Tidak usah repot-repot. Terima kasih.
Ngomong-ngomong soal kopi… mengapa kau memilih kopi… bukankah ayahmu sudah
memberikanmu segalanya? Mengapa tidak melanjutkan pekerjaan ayahmu dan bekerja
di direksi saja?”
“Aku memilih kopi karena… aroma kopi
membuatku sedikit lupa terhadap ingatan-ingatan yang tak ingin kuingat. Kau
tahu kan penciumanku ini cukup tajam… ditambah sindrom photographic memory yang
membuatku mampu mengingat segala sesuatu secara detail… dan didalam aroma,
entah itu parfum atau hanya aroma sabun… pada dasarnya semuanya menyimpan
ingatan tertentu di dalamnya…”
“Itu tidak menjelaskan mengapa kau
menolak bekerja di perusahaan… lihat dirimu. Wajahmu tampan, kaya raya dan
kerjamu hanya mengelola kedai kopi”
“Soal itu… aku tidak perlu menjelaskannya
bukan? Ini hanya persoalan selera saja… aku hanya tidak suka hidup bergantung
kepada kekayaan ayahku. Dan kupikir ayahku harus tahu bahwa aku bisa berjuang
sendiri. Setidaknya dia harus tahu bahwa bukan uang yang kubutuhkan darinya…”
“Begitukah…?”
“Ya”
Kenangan itu. Kenangan yang lama sekali.
Terpatri diantara rongga ingatanku yang kelu. Isinya hanya rasa sakit.
Kemampuanku untuk mengingat sesuatu secara cepat justru membekukanku dalam
ruang waktu. Seolah waktu terhenti. Dan aku kembali ke masaku yang dulu. Saat
aku masih duduk di bangku sekolah dasar…
“Ayah… apa hari ini ayah harus kerja
lagi?” itu aku, usianya sepuluh tahun. Bertanya pada ayahku.
“Tentu saja nak… ayah harus bekerja,
untuk membiayai sekolahmu, memberikan baju bagus untuk ibumu dan membuatnya
memasak masakan enak untukmu…”
“Tapi… tapi aku masih ingin main bersama
ayah…”
“Ayah mengerti perasaanmu, mugkin liburan
nanti kita bisa pergi ke Disneyland bersama adik dan juga kakakmu… bagaimana?
Hm?”
“Berapa gaji ayah?”
“Hm?”
“Sebenarnya berapa gaji ayah?”
“Gaji ayah… gaji ayah cukup besar… dan
bila kamu mengijinkan ayah pergi kerja dengan tenang, mungkin gaji ayah akan
baik-baik saja… akan ada games-games terbaru, rumah mewah baru dan motor mini
untukmu… bagaimana? Apa kamu menyukainya?”
“Apa segini cukup?”
“Apa?”
Kutunjukan sekumpulan uang kertas yang
diam-diam kusimpan dalam kotak mainanku. Jumlahnya sekitar satu juta lima ratus
ribu rupiah. Aku mengumpulkannya sedikit demi sedikit dari uang jajanku.
“Apa uangku ini cukup untuk menutupi gaji
ayah bulan ini?”
Ayahku terdiam. Lalu ia melihat jam.
Sekilas ia menunjukan wajah penuh kemarahan. Lalu ia menatapku dalam.
“Simpan uang itu nak. Pakailah untuk
membeli ice cream sebanyak yang kamu inginkan… sekarang ini ayah tidak punya
waktu…”
“Tapi…”
“Sudahlah Erik! Jangan ganggu ayahmu.
Bermainlah sana bersama kakakmu” seru ibuku yang tiba-tiba muncul. Ayahku
menatapnya dalam. Saat itu hubungan keduanya sedang tidak harmonis. Aku sering
mendengar pertengkaran mereka secara tidak sengaja, yang kutahu ibuku selalu
memaksa ayahku untuk mendapatkan penghasilan yang lebih banyak. Disisi lain aku
mengetahui sesuatu yang tidak diketahui oleh ayahku tentang ibuku. Tentang
perjumpaannya dengan lelaki lain disaat ayahku bekerja. Saat itu usiaku masih
10 tahun. Hidup dalam kekangan dan aturan. Mana aku tahu apa itu arti
perselingkuhan, meskipun aku ingin sekali mengadukan perbuatan ibuku pada ayah
namun aku tak tahu bagaimana cara mengungkapkan itu. Sebuah ingatan yang
tertanam. Masa lalu yang tertinggal namun tak bisa kulupakan. Sepupuku Bernard
hanya menghisap rokoknya dalam-dalam.
“Kakakmu sekarang telah menjabat posisi
penting, kau tahu itu?”
“Ya aku tahu.”
“Semua orang yang memiliki hubungan darah
dengan ayahmu memiliki posisi di perusahaan, bahkan aku sepupumu. Yah, biarpun
jabatanku hanyalah staf rendahan, tapi ayahmu sudah cukup baik menyelamatkanku
dari jerat kehidupan yang sulit sebagai pengangguran, berkat ayahmu aku bisa
menikahi seorang wanita dari Padang yang pintar memasak… aku merasa sangat
beruntung”
“Entahlah, Aku tidak tahu apakah itu bisa
disebut sebagai kebaikan…”
“Apa? Tentu saja, ayahmu kan…”
“Ayahku melakukan nepotisme. Apa kau
menyadarinya? Korupsi yang kalian lakukan… bisa kalian sembunyikan dengan mudah
karena kalian adalah keluarga… perusahaan Fabian bahkan lolos dari pajak karena
keluarga kita menguasai kantor perpajakan juga. Pembakaran hutan yang kalian
lakukan untuk lahan perkebunan kelapa sawit… dan juga pertambangan yang kalian
bangun di desa milik warga… hanya agar kalian bisa mengusir para warga disana
kalian sampai tega merusak tanggul sebuah danau dan membuat desa itu terkena
banjir… kalian tahu berapa nyawa yang telah melayang di tangan kalian? Kalian
adalah penjahat terkeji yang pernah kukenal…”
“Hei… hei… tuduhanmu itu berlebihan
sekali. Ayahmu benar. Kau berbeda jauh dengan kakakmu”
“Jangan samakan aku dengannya…”
Kakakku. Ryo namanya. Usianya hanya
berbeda dua tahun denganku. Kak Ryo bukanlah seorang yang bisa kuajak bermain
atau sekedar mengobrol. Di masa kami bersekolah dulu, kami selalu dituntut
memiliki nilai sempurna di sekolah. Bagiku yang memiliki photographic memory
itu adalah hal yang mudah. Aku cukup membuka lembaran kertas dalam buku dan
dalam waktu beberapa menit seluruh isi buku pelajaran ada dalam otakku. Tapi
kak Ryo, dia anak normal. Sedangkan ibu kami selalu membandingkan nilai kami
berdua, dimana jika ada salah satu dari kami memiliki nilai buruk, maka ibu
akan menghukumnya. Dan dalam hal ini, kakakkulah yang paling sering mendapat
hukuman. Ia dikurung di kamar dan tidak mendapatkan makan siang. Ayah kami yang
selalu sibuk bekerja tidak berpengaruh banyak. Sementara ibuku bersenang-senang
bersama pemuda yang tampak jauh lebih muda darinya. Dan disisi lain, aku yang
selalu mendapat nilai sempurna di sekolah kemudian diajukan ibuku untuk
mengikuti program akselerasi di sekolah, yang membuatku bisa melompati
tingkatan studi dimana aku yang masih kelas 1 smp saat itu bisa langsung
mengikuti pelajaran di kelas 3. Itu artinya aku akan berada di tingkat yang
sama dengan kakakku. Dan ini membuatnya semakin tertekan. Persaingan yang sama
sekali tak kuinginkan itu pun mulai terlihat. Dan ibuku mulai memberi pukulan
dan cambukan menggunakan sapu dan ikat pinggang sebagai hukuman. Aku yang hanya
bisa melihat. Merasa sangat bersalah. Ditambah efek samping photographic
memoryku yang membuatku dihantui oleh ingatan-ingatan itu setiap waktu. Sampai
suatu ketika, aku sengaja membuat nilaiku buruk di sekolah, agar aku bisa ikut
dihukum bersama kakak. Akhirnya kami mulai berbaikan dan bisa mengobrol dalam
keadaan terkurung di kamarnya. Meski pintu terkunci, kami bisa bermain dengan
mainan-mainan masa kecil kakakku yang tak pernah kumainkan. Saat itu aku bisa
menikmatinya. Merasakan rasanya menjadi adik. Namun itu tidak lama. Masa ujian
sekolah dimulai dan kakakku semakin tertutup. Mengurung diri dan menghabiskan
waktunya untuk belajar. Kakakku yang selalu mengejar kesempurnaan dan aku yang
tidak menginginkan kesempurnaan itu. Kita berdua memang sangatlah berbeda.
“Ayahmu ingin kau kembali ke perusahaan…”
“Aku menolak…”
“Ayolah. Apa kau ingin perusahaan Rolland
yang mengambil semuanya? Perusahaan Tiongkok itu… mereka begitu bernafsu untuk
mengakuisisi perusahaan migas dalam negeri. Bayangkan jika itu benar-benar
terjadi… terlebih perusahaan Rolland memiliki saham perusahaan yang sama
besarnya dengan perusahaan kita. Posisi perusahaan BUMN dan bahan bakar minyak
dalam negeri berada diambang kritis, kau tahu itu? Jika perusahaan asing yang
mendapatkannya, itu sama saja dengan membiarkan negeri ini terjajah lagi secara
ekonomi!”
“Lalu mengapa bukan kakakku saja yang
diutus menjadi wakil perusahaan?”
“Jauh sebelum ini aku juga sudah
mengusulkan hal itu… tapi ayahmulah yang memberi keputusan. Dia bilang, dia
membutuhkan pengamatan tajam milikmu dalam perebutan akuisisi ini. Dan lagi dia
bilang kau tidak akan tega membiarkan nasib rakyat Indonesia di tengah mahalnya
bahan bakar minyak, dengan menyerahkan begitu saja satu-satunya perusahaan
migas dalam negeri kepada perusahaan asing…”
“Apa?”
“Itu benar… ayahmu benar-benar ingin
menyerahkan segala sesuatu tentang rapat pemegang saham hari ini kepadamu. Bagi
ayahmu kalah dalam perebutan kepemilikan perusahaan itu bukan hal yang penting…
tapi dia tahu bahwa kau akan lebih mementingkan kepentingan rakyat ketimbang
perusahaan… dia tidak memberimu banyak pilihan. Menjadi wakil perusahaan dan
menyelamatkan perusahaan migas itu atau tidak pergi kesana dan membiarkan
perusahaan asing mengambilnya, dan membuat harga bbm semakin melambung dan
mencekik rakyat-rakyat kecil…”
Aku mengepalkan lenganku. Gigiku saling
bergemeretak. Ayahku. Dia memanfaatkan empatiku agar aku kembali ke perusahaan.
“Beraninya dia memaksaku kembali dengan
mengatasnamakan kepentingan rakyat…”
“Sudahlah. Jangan berlebihan begitu. Ayo
kita pergi kesana, kita jalani semuanya sebagai keluarga besar yang bahagia…”
“Keluarga bahagia kau bilang…? Coba
katakan itu pada mayat adikku…”
“Hei hei jangan libatkan Rita disini…
kukira kamu sudah melupakannya”
“Sayangnya bagi seseorang dengan
photographic memory sepertiku melupakan bukanlah hal yang sederhana”
Itu benar. Adikku. Jarak usia kami 4
tahun. Rita namanya. Diantara aku dan kakakku, Rita adalah yang paling
dimanjakan. Adik perempuanku. Di masa pendidikannya pun, Rita tidak terlalu
banyak dituntut meraih nilai yang bagus. Ibuku bilang, anak perempuan tidak
perlu menjadi pintar, yang dibutuhkan perempuan hanyalah menjadi cantik. Dan
jika ia pintar, maka itu adalah haknya. Aku memang lebih mudah dekat dengan
Rita ketimbang kakakku. Kami sering bermain bersama dan memiliki seekor anjing
jenis Siberian Husky yang kuberi nama Barky. Diambil dari
kata ‘bark’ yang artinya menggonggong. Sampai suatu hari… saat itu aku
menginjak kelas 1 sma… aku baru pulang dari sekolah. Dan kudapati tingkah Rita
tampak mencurigakan. Aku coba mencolek punggungnya. Dia tampak kaget dan
menoleh…
“Pssst…!” Rita menyuruhku untuk diam.
“Ada apa?”
“Diamlah…” Rita memberikan isyarat ke
arah jendela. Tampaknya dia sedang mengintip.
Aku menoleh ke jendela. Kolam renang… di
halaman tengah. Aku melihat ibuku tengah menangis dan pemuda yang biasa mengunjunginya tengah
berada di kolam tanpa busana. Satu hal yang membuatku panik adalah ayahku juga
ada disana. Ia merogoh saku dalam jasnya. Ia keluarkan sesuatu dari situ.
Sebuah pistol. Satu suara letusan dan pemuda itu roboh. Darahnya mewarnai
kolam. Rita yang terkejut tampak hendak menjerit namun segera kuhentikan dengan
menyumpal mulutnya dengan telapak tanganku. Ayahku menoleh dan aku segera
menarik Rita untuk bersembunyi. Namun tak lama ayahku menarik lengan ibuku dan
membawanya ke dalam rumah. Disitulah ayahku menyiksa ibuku, menamparnya dan
menghantamkan kepalanya ke tembok. Kami berdua hanya mengintip dari balik sofa.
“Keluar dari persembunyian kalian… Erik!
Rita…!” seru ayahku, tampaknya ia sudah menyadari kehadiran kami. Perlahan aku
dan Rita pun mulai menunjukan diri.
“Anak-anak! Lihat apa yang ayah kalian
lakukan pada ibu kalian ini…!” teriak ibuku.
“Dasar jalang! Anak-anak, lihatlah apa
yang dilakukan ibu kalian sehingga memaksaku berbuat ini!”
Sekali lagi ayah menampar ibuku. Rita
menutup wajahnya seraya terus menangis. Aku hanya bisa memeluknya. Dan dari balik
kamar… kak Ryo muncul seraya melompat. Ditangannya ia menggenggam sebuah asbak.
Ia hantamkan asbak itu ke kepala ayahku. Lalu ayahku menghempaskan kakakku itu
hingga tubuhnya menghantam lemari. Kepala ayahku berlumuran darah… ia acungkan
pistolnya ke arah kakakku Ryo, Ryo yang panik hanya menangis… tubuhnya
menggigil ketakutan. Hingga tanpa kusadari Rita telah terlepas dari dekapanku
dan mulai mendekati ayahku.
“Apa ayah… mau menembak kakak juga?” Rita
mulai bergumam namun itu tidak menghentikan air matanya. Kakakku Ryo tampak
sangat syok. Matanya terbelalak melihat pistol yang diacungkan ayahku.
“Aku… aku hanya tidak ingin ayah membuat
adikku menangis… aku… minta maaf ayah…” Ryo pun ikut menimpali.
Ayahku terdiam. Aku juga terdiam. Hanya
ibuku yang masih terus menangis. Lalu ayahku menatap adikku tajam.
“Rita… jika ada satu kejanggalan dalam
hidup ayah maka itu pastilah kamu. Sudah kuduga… sejak awal, kamu bukanlah anak
kandung ayah…”
Sontak ucapan ayahku itu membuat semuanya
terkejut. Aku pun ikut terhenyak mendengarnya.
“Tidak… Rizal… Rita itu anakmu… apa kamu
tidak ingat… dulu… dulu kamulah yang memberinya nama… kamu… kamu tidak bisa
katakan itu…” ujar Ibuku.
“Katakan apa? Bahwa golongan darahnya yang tidak cocok itu hanya sebuah kelainan? Apa
aku harus percaya kepada kata-katamu lagi…?”
Itu adalah hari yang kelam. Anak buah
ayahku kemudian mengurus mayat pemuda di kolam. Entah hendak diapakan atau dikemanakan.
Beberapa hari setelahnya sidang perceraian pun dimulai, dan hak asuh anak jatuh
pada ayahku. Ibuku, aku tidak tahu lagi nasibnya. Dan sejak saat itu ayahku pun
mulai berubah. Tak ada lagi ayah yang hangat seperti biasanya. Kakakku juga
begitu. Meski tak ada lagi hukuman dan kata-kata kasar dari ibuku, kakakku
tumbuh menjadi sosok yang tertutup. Rita pun ikut berubah, senyumannya berubah
menjadi sinis. Seolah keceriaan itu telah ditarik dari hidupnya. Ia selalu
berkata bahwa ia hanya hidup menumpang. Masa pendidikannya menjadi kacau dan
pergaulannya menjadi tak terarah. Puncaknya adalah saat aku dan kakakku mulai
bekerja di perusahaan ayahku. Pt. Fabian Jaya. Sedang adikku Rita memutuskan
untuk berkuliah. Suatu hari aku melihat pintu kamarnya terbuka, entah karena
penasaran atau memang firasatku, aku memutuskan untuk masuk. Kulihat keadaan
kamar itu. Kamar yang dulu menjadi tempatku dan Rita bermain. Meski begitu
dulupun aku tidak betah berada disini lama-lama. Alasannya karena Rita selalu
memaksaku untuk bermain boneka. Permainan perempuan. Dulu tempat ini berwarna
lembut. Dengan cat biru langit dan pernak-pernik khas anak perempuan. Namun
sekarang semua itu berubah, cat itu sudah memudar. Wallpaper bergambar itu pun
telah terkelupas, menyisakan bekas robekan disana-sini. Pakaian kotor yang
tergeletak begitu saja di lantai. Menghadirkan suatu aroma yang asing untuk
sebuah kamar milik perempuan. Lalu aku melihat boneka kelinci kesayangan Rita.
Kapuk putih mulai keluar dari lehernya yang hampir terputus. Padahal setahuku,
itu adalah boneka favoritnya. Tunggu. Sekarang aku sadar bahwa wallpaper itu
baru saja diganti. Itu artinya, semua bekas robekan ini… bukan tidak sengaja robek,
melainkan Rita sendiri yang merusaknya. Tidak salah lagi. Aku melihat bekas-bekas
depresi di ruangan ini. Photographic memoryku pun mulai bekerja
dan melihat semua urutan kejadian. Tampaknya Rita juga sempat membenturkan
kepalanya sendiri ke dinding. Aku melihat bekas yang sesuai dengan tinggi dan
ukuran kepalanya. Lalu merusak pintu lemari… lalu menumpahkan keranjang cucian…
keranjang itu bahkan masih tergeletak begitu saja. Ia mengambil sesuatu dari
meja riasnya, lalu… lalu apa… kucoba untuk terus menelusuri sampai…
“Aw” seruku setelah aku merasa telah
menginjak sesuatu. Kuambil benda itu. Bentuknya kecil. Warnanya biru
transparan, berbahan plastik, aromanya… seperti… alkohol… sial. Ini adalah
tutup jarum suntik. Tiba-tiba anjing kami Barky muncul dan menggonggong, ia
menghampiriku, lalu berlari ke arah balkon. Aku segera berlari menuju balkon di
luar kamar itu… aku melihat Rita. Terduduk di bangku. Tubuhku langsung terasa
lemas. Begitu lemah. Aku mendekatinya dengan perlahan. Mulutnya terlihat
mengeluarkan busa. Jarum suntik masih menancap di pergelangan tangannya.
Kutekan beberapa titik nadinya. Tubuhnya tidak kaku, namun sudah dingin. Kubuka
kelopak matanya, membaca pupilnya dan memeriksa mulutnya. Tampaknya waktu
kematiannya kurang lebih sekitar setengah jam yang lalu. Setelah pihak medis
memeriksanya, adikku Rita, dipastikan tewas karena overdosis zat psikotropika.
Ia meninggal ditengah kekayaan keluargaku yang tidak bisa memberikannya
kebahagiaan. Aku mungkin bukanlah sosok yang bisa menangis atau menunjukan
emosiku tapi… bukan berarti aku tidak tersiksa. Efek samping dari photographic
memory adalah apa yang kulihat dan apa yang paling kuingat, semua itu akan
terus menghantuiku… dalam tidurku, dalam lamunanku, dalam setiap sudut ruang
yang kulihat, aku merasakan pemicu ingatanku. Beberapa bulan sejak saat itu aku
memutuskan keluar dari perusahaan. Menjauh dari keluargaku.
“Hey bisakah kau suruh anjingmu itu untuk
diam? Dia menyalak terus dari tadi…” ujar Bernard seraya mencicipi kopi yang
disajikan pelayan.
“Hahaha… Barky. Dia anjing yang baik… dia
juga pintar”
“Siberian husky hah? Wajahnya tampak
menyeramkan, seperti serigala saja. Memangnya apa tidak apa-apa membawa anjing
ke kedai kopimu ini?”
“Haaah… ini kan lantai tiga. Tak akan ada
pengunjung yang mengeluh lagipula Barky seperti yang kubilang tadi, dia adalah
anjing yang pintar… dia sudah tahu dimana dia harus buang air kecil atau buang
air besar sendiri… jadi tak ada yang perlu dikhawatirkan”
“Benarkah itu…? Hoo. Kalau begitu tidak
masalah…”
“Itu benar, kotoran Barky terkumpul di
suatu tempat dan pegawai kami akan mengeringkannya sebelum mengolahnya menjadi
kopi seperti yang kau minum itu…”
“WPGHJPPH…!!! Apa!? Memangnya kau pikir
anjingmu itu luwak apa?”
“Hahaha… aku bercanda. Hey, noda di
kemejamu bertambah lagi tuh…”
“Ah… sial… apa kau punya pakaian ganti?
Aku tidak mungkin menghadiri rapat dengan kemeja seperti ini… haaah. Tapi
lihatlah ini… coba kau baca majalah ini” Bernard lalu menyerahkan sebuah
majalah kepadaku. Pada cover majalah itu terpampang wajah ayahku dan wajah
seseorang lainnya yang tak kukenal. “Orang yang menjadi cover bersama ayahmu
itu namanya Rolland Wong, CEO dan founder dari Rolland corporation, Haah… majalah
Exo-Ex ini. Majalah yang seolah identik dengan bisnis namun nyatanya hanya
membicarakan gosip. Coba kau lihat isinya… kau bahkan ada di dalamnya…”
“Benarkah? Coba kulihat…”
Kucoba membuka isi lembaran majalah itu.
Itu memang benar, ada fotoku dan segala macam informasi tentangku disana. Lalu
kulihat ada sosok lain yang mengisi halaman di majalah itu.
“Hey, Bernard siapa pria berambut pirang
ini?”
“Mana? Ah itu bukan pirang… itu albino…
apa photographic memory-mu tidak bisa membedakan mana orang yang albino dan
berambut pirang? Ah. Kau ini…”
“Justru karena aku memiliki photographic
memory, makanya aku merasa pernah melihatnya…”
“Itu hanya perasaanmu saja, semua orang
albino kan rata-rata wajahnya hampir sama. Ehem, sekedar informasi saja dia
bernama Alex Rolland. Anak kandung dari Rolland Wong yang baru ditemukan…
sekaligus wakil dari Rolland Corporation Indonesia. Kalau kau merasa pernah
melihatnya, ya mungkin kamu pernah melihatnya dalam tayangan media-media. Dia
adalah calon lawan terkuatmu pada saat rapat pemegang saham nanti…”
“Kau bilang orang ini anak Rolland Wong
yang baru ditemukan?”
“Setidaknya itulah yang dikatakan media.
Sebelumnya Alex Rolland hanya pria biasa yang hidup sederhana bersama ibu dan
adiknya. Lalu ia ditemukan oleh ayahnya, lalu orang tuanya bercerai dan ia
kemudian memilih hidup bergelimang harta bersama ayahnya. Satu lagi, Alex juga
diketahui merupakan seorang atlet dari cabang beladiri kendo…”
Kalau begitu tidak salah lagi. Dia pasti
Alex Rolland yang dulu kukenal. Setidaknya aku ingat bahwa kita pernah
bersekolah di sekolah menengah atas yang sama. Saat itu aku masih sering
mengalami tindakan ‘bullying’ oleh
sesama murid disana.
“Hei kamu… namamu Erik fabian kan?” seorang
siswa laki-laki tiba-tiba menghadangku saat itu. Tidak, bukan seorang. Tapi
tujuh. Tujuh orang. Menghadangku di lorong belakang sekolah.
“Ada apa?”
“Dengar-dengar ayahmu itu orang kaya ya?
Kamu pasti punya beberapa hal yang bisa kamu bagi kepada kami didalam dompetmu
itu. Kamu mengerti kan? Anggap saja ini sebagai pajak untuk keamananmu disini…
hehehe”
“Tidak. Kamu salah. Aku tidak punya
apapun yang bisa diberikan pada kalian.” Aku langsung menghindari mereka dengan
terus melangkah menjauh.
“Begitu ya? Kalau begitu biar kami coba
untuk memastikannya sendiri…”
Lalu salah seorang dari mereka menarik
kerah bajuku dan mulai menggeledah pakaianku.
“Hey… hey… kamu bilang kamu tidak punya
apa-apa… lalu apa ini? Uang ini sudah lebih dari cukup untuk dirimu sendiri… seharusnya
kamu senang ada kami disini yang bisa membantumu menjadi orang baik dengan
beramal…” dan mereka pun mengambilnya. Uang di saku bajuku.
“Kubilang aku tidak punya hal yang ingin
kuberikan pada kalian…”
“Jadi kamu tidak ikhlas ya? Baiklah…”
orang itu pun memberikan isyarat pada teman-temannya. “Hajar” ujarnya seraya
tersenyum. Beberapa dari mereka pun maju dan melancarkan pukulan. Aku mengelak
dan menyerang balik. Salah satu dari mereka memberikan tendangan, aku pun bisa
menghalaunya. Lalu sebuah pukulan menghantam perutku dengan keras. Rasanya
menyesakkan. Lalu pukulan lain muncul, aku pun
tersungkur. Kemudian tendangan, injakan, semua mereka lancarkan ke tubuhku.
Lalu siswa laki-laki itu pun menatapku seraya berjongkok, kemudian ia meludah.
“Hey. Erik… kamu itu jangan sok jago disini… seharusnya kamu bisa menghormati
kami… kamu bahkan tidak setangguh kakakmu, kamu tahu itu…? Jadi lupakan soal
perlawanan yang tidak bergunamu ini dan mulailah bekerjasama… ok?” ujar siswa
itu seraya menepuk-nepuk pipiku. Aku… aku merasa sangat payah. Aku hanya bisa
menyembunyikan wajahku dengan lenganku dan tertahan di tanah. Kakakku.
Orang-orang ini bahkan melakukan pemerasan semacam ini pada kakakku. Aku… aku hanya
bisa terdiam seperti ini. Darah mulai keluar dari hidungku, lalu apa ini? Apa
aku menangis? Yang benar saja, aku ini bukan anak kecil lagi… mengapa aku
menangis? Sial. Sial. Sial. Hingga akhirnya kucoba untuk membuka mataku dan
mencoba melihat seraya masih tetap berbaring di tanah. Aku melihat langit biru
yang indah. Yah, kuharap indahnya hari ini bisa menghiburku. Awan putih yang
menggembung, burung gereja yang bertengger di kabel listrik, dan sebuah payung…
payung yang meneduhkan. Eh… payung? Payung siapa?
“Sampai kapan kamu mau tiduran begitu…”
seorang siswa lain tiba-tiba muncul membawa sebuah payung. Aku mencoba untuk
bangkit, hingga akhirnya aku terkejut saat melihat ke sekitarku. Ketujuh orang
yang tadi memukuliku tampak tersungkur tak sadarkan diri.
“Aku sudah membereskan mereka… jangan
khawatir…” ujarnya. Penampilan siswa berpayung ini sedikit aneh, wajahnya
sangat pucat… putih pucat. Warna rambutnya pun tidak lazim. Seperti kuning
pucat dan tatapannya yang sayu itu terlihat sangat kosong…
“Apa? Aku ini bukan hantu. Dasar bodoh.”
“Se… sejak kapan…?” ujarku.
“Apa? Orang-orang ini? Mereka hanya
pecundang… aku bisa membereskannya dalam hitungan detik…” aku pun menatap orang
itu cukup lama. Bagiku melawan ketujuh orang ini dengan berkelahi bukanlah pilihan…
tapi… tapi bagaimana anak ini bisa melawan mereka sendirian? Lalu aku melihat
salah seorang siswa yang tadi memukulku itu bangkit dan mencoba bergumam.
“A… Alex… kamu itu… kurang… aj…”
Bletak! Anak berwajah pucat itu bahkan
tidak menunggu kata-kata lawannya itu selesai, ia sudah terlebih dulu memukul
kepalanya dengan payung yang bahkan photographic memoryku tidak tahu kapan ia
mulai menutupnya dan menjadikannya senjata.
“Ini uangmu. Aku menemukannya… kuambil
sepuluh ribu, aku sedikit merasa haus…” ujarnya.
“Ah… i… iyah. Terima kasih…”
“Jangan berterima kasih, aku juga meminta
uang sepuluh ribumu ini sebagai bayaran… ingat?” ujar anak itu seraya mencoba
berlalu.
“Ah. Tapi aku tidak keberatan… tadi orang
itu memanggilmu Alex… jadi namamu Alex yah… ah, namaku Erik… salam kenal…”
jawabku seraya mencoba untuk mengejarnya.
“Jangan berlebihan. Aku sudah membereskan
orang-orang itu untukmu, jadi sebaiknya jangan berharap lebih dengan menganggap
bahwa kita bisa berteman…” ujar Alex lagi.
“Ah. Tapi mengapa… kupikir tidak ada
salahnya juga kita berteman kan?” aku masih berusaha membujuknya. Bagiku
memiliki teman yang bisa berkelahi seperti dia adalah keuntungan tersendiri.
“Kubilang jangan berlebihan!” Tiba-tiba
Alex tampak marah dan membentakku. Ia arahkan ujung payungnya kepadaku. Aku
langsung melangkah mundur.
“Aku tidak menyukaimu. Kau dengar?”
ujarnya. “Aku tidak menyukai anak-anak manja seperti kalian… kalian yang hanya
mendapatkan segalanya dari orang tua kalian tidak akan pernah mengerti apa itu
perjuangan… kau bahkan menangis saat mereka mengalahkanmu dan mengambil uangmu.
Apa aku benar? Jadi jangan coba-coba untuk mendekat. Bagiku, kau sama seperti
pecundang-pecundang itu. Jika kau sampai mencoba untuk menyapaku, mendekatiku
atau bahkan melambaikan tanganmu saja maka aku pastikan kau akan menyesal…”
Aku terdiam. Tampaknya Alex bukanlah
orang yang menyenangkan, pikirku. Dia mungkin benar… tadi aku memang tampak
payah. Tapi seharusnya dia tidak mengucapkan itu. Mengadiliku seperti itu.
Kaya, miskin, mengapa itu dipermasalahkan. Aku juga sama. Aku memiliki beban
dan masalahku sendiri. Dan sejak saat itu aku mulai menghindarinya di sekolah.
Jika ia berada di suatu tempat, maka aku akan menjauhi tempat itu. Jika ia yang duluan muncul, maka akulah yang akan pergi. Merepotkan saja.
Tapi seiring berjalannya waktu, aku malah lebih sering melihatnya. Berkelahi
melawan anak-anak nakal. Entah karena ingin disebut pahlawan atau apa, bagiku
dia hanya menghabiskan waktu saja. Meskipun terkenal diantara siswa lainnya, entah
mengapa dia menolak untuk berteman dengan siapapun. Aku selalu melihatnya
sendirian. Berjalan sendirian. Berkelahi pun sendirian. Terakhir aku melihatnya
di jalan. Tengah berjualan koran.
“Kupikir Alex
bukanlah sosok yang berbahaya...” ujarku.
“Kau pikir begitu?
Yah, dia memang masih baru dalam dunia bisnis... namanya mencuat begitu saja
ketika dia menerima surat kuasa dari ayahnya yang membuatnya duduk di kursi
pimpinan perusahaan Rolland” Bernard ikut menambahkan.
“Aku membacanya di
majalah ini... tampaknya dia sama sekali tak tertarik dengan perusahaan yang
diwariskan ayahnya... disini tertulis bahwa dia terkesan bermain-main dengan
bisnisnya, bahkan ada isu bahwa dia akan membawa saham Rolland untuk go public...”
“Go public?
Perusahaan sebesar itu? Hahaha... itu artinya dia akan menjual bebas saham
perusahaannya bukan? Itu adalah info yang menarik. Siapa tahu saja ayahmu
berminat membelinya...”
“Yah, kemungkinan
baiknya dia tidak akan hadir pada rapat pemegang saham hari ini”
“Tampaknya dia sadar
dengan posisinya dan sentimen masyarakat pada perusahaannya yang berasal bukan
dari dalam negeri”
“Yah, semoga saja
itu benar. Dengan begitu tak ada alasan lain bagiku untuk tidak datang... meski
demikian aku akan tetap menagih janji ayahku, dimana jika perusahaan migas itu
sudah diakuisisi oleh keluarga Fabian, maka dia harus membuat kebijakan agar
harga bahan bakar minyak bisa berada dibawah harga sekarang”
“Tapi itu janji yang
sulit... bagaimanapun, harga BBM bukan berada di tangan perusahaan, bukankah
harga minyak diatur oleh persediaan minyak dunia? Jika kau ingin menguasai harga
pasar BBM seharusnya yang kau akuisisi itu OPEC... merekalah yang mengatur
harga minyak di dunia”
“Bernard... jika kau
berpikir seperti itu maka kau itu naif sekali. Tidak tahukah bahwa perusahaan
migas berisikan mafia-mafia? Indonesia adalah negeri yang kaya... kita memiliki
bahan bakar minyak mentah sendiri, lantas mengapa kita harus membeli masakan
orang lain yang sumbernya berasal dari kita sendiri? Man. Negeri ini hanya terlalu
malas untuk membangun dirinya. Setidaknya jika perusahaan ingin untung, kita
bisa menjual sesuatu dari energi alternatif yang lain... LNG. Indonesia kaya
akan sumber LNG... terlebih belum ada yang mencoba untuk menggali potensinya...
jika itu terwujud, tidak akan ada lagi orang yang kesulitan mencari tabung gas
12 kg...”
“Waw. Coba ayahmu
yang mendengarkanmu. Dia pasti akan menggunakan itu sebagai kampanyenya...”
“Kampanye?”
“Ups. Maafkan aku,
anggap kau tidak pernah mendengarnya...”
“Bernard! Jangan
menutupi apa yang terlanjur kudengar! Katakan, apa maksudmu dengan kampanye?”
Aku langsung menarik kerah baju Bernard. Bernard hanya mengalihkan
pandangannya.
“Maksudku... ah,
yah, kau tahu kan... ayahmu itu ketua partai politik... rencananya dalam pemilu
3 tahun lagi, ayahmu akan ikut menyertakan dirinya sebagai calon presiden...
ah, tolong lepaskan tanganmu”
“Apa?” tubuhku
melunglai. Kulepaskan lenganku dari kerahnya.
“Itu yang aku
dengar...”
“Jadi begitu. Ayahku
tampaknya ingin menjadikan perusahaan migas sebagai senjata... jika dia
berhasil mengakuisisi dan menurunkan harga BBM, maka itu akan menjadi alat
kampanyenya, sebaliknya, jika dia kalah dalam pemilu maka dia bisa menekan
pemerintahan dengan mengendalikan harga minyak di pasaran...”
“Setidaknya ambil
sisi positifnya, jika kamu bisa memenangkan perusahaan migas itu dalam rapat
hari ini, kemungkinan janji ayahmu itu akan terlaksana... bukankah itu bagus,
selanjutnya kita berdoa saja agar kampanyenya sukses, rakyat senang, ayahmu
senang, aku senang, kita semua menang”
“Maka itu tidak akan
menjadi kemenanganku...”
“Hey, hey... jangan
begitu. Dia itu ayahmu. Bukan musuhmu. Satu hal lagi, kau salah dalam satu
hal... ayahmu... memang benar dia memiliki perkebunan kelapa sawit dan ayahku
juga paman-paman kita ikut mengelolanya, tapi perusahaan Fabian bukanlah dalang
dibalik pembakaran hutan tempo hari...”
“Apa maksudmu?”
“Perusahaan dari
Malaysia yang melakukannya. Ayolah, apa kau tidak percaya? Bukan hanya kami
yang menginginkan tanah itu... perusahaan dari Malaysia, Tiongkok dan juga
Singapura berbondong-bondong ingin menggarapnya...”
“Bagiku kalian sama
saja. Perusahaan perusak lingkungan. Kalian yang gemar merusak lingkungan sama
seperti musuh bagi bumi...”
“Kalian... kalian...
kau itu seenaknya saja ya kalau sudah menuduh orang... hah... sudahlah ikut
aku”
“Apa? Kemana?”
Bernard kemudian
menuruni anak tangga, mengajakku keluar meninggalkan kedai kopiku. Namun
sesampainya diluar aku benar-benar dibuat terkejut...
“Hey... dimana
mobilku...? Tadi... jelas-jelas aku menaruhnya disini... bagaimana mungkin bisa
hilang... ah... sial!!” ujarku ketika melihat mobil kesayanganku raib entah
kemana.
“Jangan terkejut
begitu... aku sudah menyuruh tukang derek untuk memindahkannya ke rumahmu...
jangan khawatir, mulai hari ini kau akan menerima mobil baru... lagipula SUV
milikmu itu sudah ketinggalan jaman...”
“Dasar kau ini! Apa
kau tidak tahu bagaimana perjuanganku untuk membelinya! Seenaknya saja
memindahkannya begitu saja, jika lecet sedikit saja maka aku akan...!”
“Wo wo wo... man.
Calm down... lihat mobil macam apa yang kubawakan untuk menggantikannya...”
Lalu Bernard
menunjukan padaku sebuah mobil lain yang masih tertutup cover dan dengan penuh keyakinan
Bernard pun menarik cover mobil itu... sebuah mobil sport yang cukup mewah...
“Ini... ini...
bagaimana mungkin kau...”
“Yap! Lamborghini
Gallardo. Bukan Diablo atau Aventador tapi Gallardo. Aku sendiri yang
memilihnya, menggunakan uang ayahmu tentunya... kau harus tahu bahwa sainganmu
Alex juga memiliki mobil mewah seperti ini, dari data yang kutemukan Alex
memiliki Lamborghini Murcielago di garasinya, so seandainya publik mulai
menyoroti gaya kalian... kupikir Gallardo adalah yang terbaik untukmu...”
“Hey hey selama ini
aku nyaman dengan mobilku, lagipula jika memang harus Lamborghini bukankah
Veneno Roadster jauh lebih bagus, kau tahu kan warna basic dari Gallardo
adalah...”
“Warna kuning. Warna
favorit ayahmu... sudahlah ayo cepat naik... biar aku yang mengemudi...”
“Yang benar saja,
apa aku harus mengendarai mobil berwarna kuning ini bersamamu?” sesaat aku
terdiam saat menyelesaikan kalimatku. Warna kuning? Betul juga kalau tidak
salah...
“Warna kuning. Warna kematian… cobalah
untuk tidak menggunakannya hari ini. Karena itu berbahaya untukmu. Begitulah,
kami kemari hanya untuk mengingatkanmu…”
Tiba-tiba aku ingat
pada kata-kata dua gadis yang datang ke kedaiku tadi jauh sebelum Bernard
datang. Mereka memberikanku sebuah ramalan... atau peringatan, apa mungkin ini
ada hubungannya?
“2 jam dari sekarang kau akan terlibat sebuah kecelakaan
hebat yang akan merenggut nyawamu”
“Hey... kenapa kau
malah diam saja! Ayo cepat naik! Apa kau masih terkesima dengan mobil ini? Yah
aku tahu. Aku juga awalnya begitu tapi bisakah kita pikirkan pekerjaan?”
Bernard mulai memanggilku.
“Tidak. Tentu saja.
Hanya saja sebelum kau datang tadi ada dua gadis yang datang kemari dan...”
“Dua orang gadis? Oh
ayolah. Apa lagi? Kita bisa bersenang-senang dengan mereka setelah rapat kita nanti
dengan mobil ini... istriku tidak akan tahu kalau kau mau tutup mulut...” jawab
Bernard.
Aku hanya tersenyum.
Kematian... seberapa buruk hal itu bisa terjadi? Di tengah kebusukan sifat
manusia disekitarku bukankah jauh dalam ruang hatiku terkadang aku
menginginkannya? Entahlah... seandainya kata-kata kedua gadis bernama Mia dan
Maya itu benar, mungkin mewujudkan ramalan itu bukan hal yang buruk.
“Hey, Bernard,
bukankah kamu bilang kamu tidak bisa ikut rapat dengan kemeja seperti itu?”
“Oh iya, kamu benar
juga. Aku lupa... apakah kamu menyimpan baju ganti disini?”
“Ada diatas. Kamu
bisa mengambilnya... euh bisa kuminta kunci mobilnya?”
“Ini. Tapi jangan
pergi dulu ya. Tunggu aku ganti baju...”
Aku tak menggubris
kata-kata Bernard. Segera kumasuki mobil itu dan kunyalakan. Bayang-bayang masa
lalu kembali mengusik. Ingatan tentang kematian Rita... peristiwa pembunuhan
yang dilakukan ayahku, dan masih banyak lagi. Muncul seperti kilatan cahaya.
Aroma darah disekitarku. Aku mengingatnya. Ayahku berkata bahwa larutan kopi
bisa menyingkirkan bau darah itu. Dan sekarang kenangan-kenangan menyakitkan
itu memaksaku untuk menancap gas. Uwoooo... inikah kecepatan Lamborghini?
“Selamat siang.
Bisa tolong katakan tujuan anda sekarang?”
Wow. Mobil ini bisa
bicara? Aku baru sadar kalau ada sebuah layar kecil di sebelah kiriku. Disana
tertera sebuah tampilan peta elektronik. Gps yang bisa berbicara? Aku tidak
menemukan ini di mobilku yang dulu. Ini... keren sekali.
“Baiklah. Let me
see... kantor pusat perusahaan migas negeri Jalan Diponegoro...”
“Dari sini ke
arah kanan 300 meter...”
“Baiklah”
“Mohon kurangi
kecepatan... ada objek terdeteksi di depan”
“Ah hanya macet
biasa... tak perlu dikhawatirkan... hm, dengan adanya peringatan semacam ini
rasanya aku merasa lebih aman sekarang... persetan dengan ramalan gadis itu.
Aku pasti akan baik-baik saja”
“Mohon kurangi
kecepatan... ada objek terdeteksi di depan”
“See? Aku bisa
menghindari ini...” ujarku penuh percaya diri, dengan lincah kulewati
serangkaian mobil yang melaju di depanku. Mungkin aku terlihat sedikit gila karena
mencoba berbicara pada gps mobilku sendiri. Tapi aku tidak merasa benar-benar
gila sampai akhirnya aku melihat Rita tengah melayang di depan mobilku.
Halusinasi? Entahlah. Kunaikan gigi mobil sampai ke tingkat percepatan 4.
Kuinjak pedal gas. Tapi mobilku tidak bergeming. Kuinjak sekali lagi. Mobilku
masih saja terdiam. Begitu juga dengan mobil lainnya. Aku berusaha untuk
melihat sekitar... tapi jalanan seolah membeku. Tak ada gerakan apapun. Burung
merpati yang tengah terbang pun terhenti di udara. Seolah medan gaya telah
mati. Aku melirik alat gps tadi. Tidak berfungsi. Kulirik jam tanganku...
bahkan jarum detiknya tidak berputar sama sekali. Apa ini? Apakah waktu
benar-benar telah berhenti? Kulihat Rita melayang dan berputar-putar di udara.
Ia menatapku sayu. Lalu ia terbang menukik ke arah mobilku. Menembus kaca depan
tanpa memecahkannya... ia hanya menembusnya begitu saja. Aku tak tahu harus
berkata apa. Selama ini aku tidak pernah percaya pada keberadaan arwah
penasaran, hantu dan sejenisnya... tapi yang kulihat ini... apa?
“Ri... Rita... ka...
kamu...”
“Kakak...”
“Rita kesepian
kak...” ujar rita yang dengan ringan mendarat di kursi sampingku
“Kamu... bagaimana
kamu...”
Lalu tiba-tiba Rita
menunjukan ekspresi ketakutan. Ia melihat ke arah kaca depan. Matanya
terbelalak. Lalu dengan cepat ia pergi menembus atap mobil. Lalu kusadari ada
sesuatu yang muncul dari kejauhan. Semakin cepat ia mendekat, semakin jelas
wujudnya. Sesosok pria. Dan dia terbang... sangat cepat ke arah mobilku. Aku
semakin merasa bingung. Sampai akhirnya ia mendaratkan kakinya di kap depan
mobilku. Seorang pria berpenampilan aneh. Rambutnya diikat di bagian atas.
Seperti dalam serial kungfu dan sejenisnya. Ia berjanggut, sangat panjang.
Mencapai dadanya yang tidak tertutup oleh jaketnya yang juga panjang. Jaket
yang tampak terbuat dari kulit ular yang panjangnya menyentuh lutut kakinya. Ia
mengenakan celana jins usang yang tampak robek disana sini. Sepatunya berbahan
kulit berwarna cokelat dengan ukuran kurang lebih 43. Tatapannya begitu tajam.
Matanya... matanya berwarna kuning? Si... siapa orang ini? Apa dia adalah
hantu... atau apa?
“Hm... jadi ini yang
disebut Lamborghini Gallardo?”
“Eeh??” aku terkejut
seraya mengatakan eh. Maksudku... hantu macam apa yang tertarik pada merk
sebuah mobil?
“Ah. Namamu Erik ya?
Aku meminta maaf karena menginjak kap mobilmu. Tapi... aku punya sedikit urusan
dengan mobil ini. Katakan saja, aku harus menggunakanmu untuk mencabut nyawa
seseorang... dengan mobil ini tentunya. Hm... sebenarnya ini menyalahi
wewenangku... tapi bagaimana ya...”
“A-apa?”
Dan dengan santai
pria itu hanya berjalan mondar-mandir di kap mobilku dan sesekali
melompat-lompat seraya berbicara sendiri.
“Haduh. Bagaimana
ya... tapi aku telah memilih bocah itu untuk koma waktu itu... masa iya hari
ini dia harus mati karena kecelakaan... tidak lucu sama sekali. Tapi mau
bagaimana lagi, dia adalah yang terpilih dan aku hanya melaksanakan tugas...
apa aku harus disalahkan karena itu? Lagipula... bocah itu sendiri yang bilang
jika kendaraan yang paling ia sukai adalah Lamborghini Gallardo... jadi ya...
inilah... kuberikan dia Lamborghini... haduh mengapa aku merasa bersalah
ya...?”
Apa? Apa yang orang
ini bicarakan? Aku tidak mengerti maksudnya... lalu ia berjongkok di hadapanku
dan ia menunjukan jam tangannya. Ia tampak seperti mengatur putaran jarum jam
tangannya. Entah apa maksudnya, ia kemudian melayang di hadapanku dan...
“Baiklah Erik. Maaf
mengganggu waktumu... ini hanya ilusi. Kau boleh melupakannya. Nasehatku adalah...
cobalah tarik nafasmu dulu...”
Kutarik nafasku.
Mengikuti instruksinya.
“Sekarang
hembuskan...”
“Fuuuh....”
kuhembuskan nafasku. Dan bersamaan dengan itu mobilku melaju dengan kencang...
“Berbahaya.
Kecepatan tidak aman untuk kepadatan jalan ini” gps-ku
tiba-tiba kembali berfungsi dan memberikan peringatannya.
“Mohon kurangi
kecepatan... ada objek terdeteksi di depan”
“Aku sedang
berusaha!!”
Kuturunkan
kecepatanku. Dan syukurlah aku berhasil menguasai laju kendaraan ini dengan
baik. Meski begitu, fokusku masih terpecah karena halusinasi tadi.
“Di depan
melewati jalan Soekarno-Hatta belok kanan 400 meter”
“Baiklah. Fiuh...
apakah aku akan benar-benar akan mati sekarang? Yang benar saja...”
Aku kembali memutar
kemudiku. Memasuki jalan yang disebutkan oleh gps. Namun mataku mulai teralih
karena disana aku melihat dua sosok perempuan yang kukenal... tengah berjalan
di trotoar. Nama mereka adalah Maya dan Mia... mereka berdualah yang
mengingatkanku tentang kecelakaan yang akan kualami. Aku hanya bisa memperhatikan
mereka seraya terus berlalu, dalam kecepatan seperti ini, aku kesulitan untuk
mencoba fokus. Bagaimanapun yang kukendarai ini adalah Lamborghini dan sulit
untuk mengemudikannya dengan kecepatan pelan. Photographic memoryku mencoba
untuk menyimpan apa yang telah kulihat. Tapi sedang apa mereka disini? Kulihat
Maya tampak memapah Mia, seolah membantunya untuk berjalan, entah apa yang
terjadi tapi Mia tampak menutupi matanya. Ia tampak sangat kesakitan. Aku mengingat
semua gambaran itu sampai... hey, sedang apa pengendara sepeda itu di depanku?
Sial, harus kurem................
CKIITTTTT... BRAAAKKKKK!!!
Kepalaku terhempas
oleh kantung udara. Aku sendiri mulai panik dan merobek kantung udara pada
kemudiku. Aku... telah menabrak seseorang? Pengendara sepeda itu... tampaknya
aku menabraknya. Benarkah...? Aku tidak berani melihat... terlebih lagi aspal
tampak dialiri darah... apakah orang itu mati? Apa? Bukankah yang harusnya
mengalami kecelakaan adalah aku? Tapi mengapa sekarang aku justru menjadi penyebab
kecelakaan itu? Kulihat sepedanya terpental cukup jauh... tapi gps... kenapa
gps-ku tidak memberikan peringatan apa-apa? Aku mencoba untuk memastikannya dan
keluar dari mobilku... orang itu... mengalami pendarahan hebat... kulihat
hidung, mulut dan telinganya mengeluarkan darah... matanya pun terbelalak
kaku... tidak salah lagi... orang ini... telah tewas... kulihat semua orang
disekitarku mulai memperhatikanku. Semua orang mulai keluar dari kendaraan
mereka... bunyi klakson disana-sini... apa yang harus kulakukan... aku juga
melihat Maya menatapku tajam... pastinya ia akan menjadi saksi atas kecelakaan
ini... dan dia tahu identitasku dengan baik... sial. Aroma darah segar ini...
ukh. Aku tidak sanggup mencium aroma ini. Kumasuki kembali mobilku dan menancap
gas... beberapa orang melempariku dengan batu dan mengeluarkan makian. Aku
benar-benar panik. Apa ini? Apa yang kulakukan ini? Mengapa aku melakukan itu?
Ayahku pasti akan membunuhku jika dia tahu apa yang kulakukan... bagaimanapun
ini akan mencoreng namanya dan menjegal usahanya untuk berkampanye... apa yang
harus kulakukan? Aku hanya bisa kabur dari masalah ini... sejauh mungkin...
tapi kemana? Persetan dengan rapat... persetan dengan ayahku... persetan dengan
harga BBM... atau perusahaan Tiongkok... persetan dengan ramalan gadis itu...
juga halusinasiku... persetan semuanya...
Mahasystem Chapter Four
“Eternal Memories”
End.