Selasa, 23 Februari 2016

Mahasystem Chapter 6

Mahasystem
Chapter 6: The Sound Of Sword

            Alex mencoba memipihkan kembali telapak lengannya bagaikan sebuah pedang. Ia ingat bahwa pedangnya tidak selalu harus berada dalam genggamannya. Namun itu akan senantiasa berada dalam jiwanya. Sama seperti saat gurunya melatihnya dengan berbagai macam pukulan yang keras namun Alex harus bertahan dengan berpikir fokus bahwa jauh di dalam sana... di dalam hatinya... jiwanya berada dalam ketenangan. Ketenangan yang membuatnya terlepas dari rasa sakit. Layaknya besi yang ditempa terus menerus, dipukuli palu dibakar api lalu ditenggelamkan ke air hingga terciptalah sebuah pedang yang sangat tajam. Begitulah jiwanya saat ini... tidak peduli berapa banyak pukulan yang ia dapatkan dari Jefri, rasa perih layaknya terbakar atau dinginnya ngilu yang ia rasakan. Semua itu hanya akan membuatnya lebih kuat. Dan dengan tatapan tajam setajam pedang, Alex membuat lawannya ketakutan. Ia maju menghunuskan telapaknya. Dengan jiwa pedang, Alex siap mengayunkan telapaknya layaknya karateka yang hendak memecahkan tumpukan batu bata. Jefri secara setengah hati untuk siap, kembali mengepalkan tangannya seraya berlari maju sementara Alex dengan berlari pula, memanfaatkan dorongan dari kecepatan larinya, kaki Alex meluncur di atas tanah, mengelak dari pukulan Jefri dan seraya melewatinya, dengan gerakan seperti menebas, ia ayunkan lengan itu pada bagian belakang leher lawannya. Serangan itu membuat Jefri terhempas hingga kepalanya terbenam ke tanah dan ia pun jatuh dengan posisi menungging. Tanpa mempedulikan lawannya, Alex terus maju seraya melompat, menginjakan kakinya di pohon dan menjadikannya sebagai pijakan untuk memantulkan tubuhnya kembali, melesat ke arah Jefri, ia melakukan gerakan seperti menusuk... sayangnya, Alex salah memperhitungkan gaya gravitasi bumi dan ketinggiannya melompat, ditambah lagi posisi Jefri yang tidak tepat... tusukan dari lengan yang dikeraskan dan dipipihkan layaknya pedang yang seharusnya menusuk punggung Jefri, meleset terlalu rendah sehingga akhirnya mengenai... pantat Jefri. Mulut Jefri hanya menganga tanpa suara, Jefri tampak tak kuasa bahkan untuk menjerit sekalipun. Well, bagaimanapun, itu pastilah masih menyakitkan.
            “Yo big bro! Apa big bro lihat wajah Jefri tadi? You just totally screw his ass!” ujar Sigit setelah duel baku hantam itu dinyatakan selesai. Alex hanya bisa melotot “Just shut up. Dont ever ever remind me about that, ok? Apa kau punya obat antiseptik dan sejenisnya? Kurasa aku harus cuci tangan...” jawab Alex “Yah aku punya minuman cola di tasku. Ini, kau bisa menggunakan ini.” Alex pun mengambil sebotol minuman cola itu dan mencuci tangannya “Tapi tetap saja, menurutku big bro keren sekali, Jefri sampai terbata-bata hanya untuk mengatakan kata menyerah...” ujar Sigit lagi, namun Alex hanya terdiam dan menunjukan muka kecut. Hingga akhirnya wajah masam itu tiba-tiba berubah saat...
“Apa kamu enggak apa-apa?” tiba-tiba saja Karina muncul dan menyapa Alex. Alex yang terkejut dan kikuk pada gadis pujaannya itu tak tahu harus berbuat apa.
“A... Aku... Euh... sa... saya... baik-baik saja, nona eh... tuan putri... eh... Karin...”
Karina hanya tersenyum. “Baik-baik saja apanya?” lalu Karina mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Sebuah kotak obat. Didalamnya ada perban, plester, obat merah dan sebagainya. Lalu ia mulai menggunakannya untuk mengobati luka-luka Alex. “Kalau sudah berdarah dan babak belur begini, mana bisa ini disebut baik-baik saja. Ya kan, Alex?” ujarnya seraya mengikatkan perban pada kepala Alex.
Dia menyebut namaku. Dia menyebut namaku. Ujar Alex dalam hati. Waaa... dia memperban wajahku. Benar-benar gadis yang baik, sudah cantik, perhatian pula... ah sudikah kau menjadi pacarku? Pacar dari seorang samurai dari Indonesia keturunan Tionghoa yang albino seperti aku? Alex bertanya-tanya dalam hati.
“Terima kasih, tapi saya sudah punya pacar...” jawab Karina seraya tersenyum.
“Eh?”
“Tapi saya bakal pertimbangkan kak Alex supaya kita bisa jadi kakak-ade aja. Bagaimana?”
“Eeh?”
“Setelah itu kita tidak pernah tahu kepastiannya di masa depan... kan?”
“EEEEEHH??”
“Ya sudah. By the way aku sudah gak ada kelas... dan luka kak Alex sudah aku perban, jadi aku pulang duluan ya...” ujar Karina seraya berlalu. Kak Alex? What de fag. Alex hanya menyaksikan bagaimana gadis pujaannya itu pergi. Sigit yang dari tadi memperhatikan, hanya menepuk bahu temannya itu. Di hadapannya Karin mengangkat kakinya. Menaiki sebuah motor gede, tepatnya ia dibonceng. Oleh Ricky. Ricky yang salut pada kemenangan Alex pada saat duel tadi, melambaikan tangannya “Yo Alex! Great fight! Semoga luka-lukanya cepat sembuh! Kita pergi dulu. Take care!” seru Ricky seraya berlalu dengan meninggalkan suara bising dan asap knalpot, sementara Alex hanya bisa melambaikan tangannya dengan senyum tampak dipaksakan menempel di wajahnya. Sekali lagi Sigit mencoba menenangkan Alex.
“Sudahlah big bro. Jangan dipikirkan. Perempuan bernama Karina itu benar-benar terlalu. Rupanya dia pacarnya Ricky... ketua klub motor gede disini. Karina itu... dia pasti ingin meng-PHP-kan big bro saja... itu pun pasti karena seluruh kampus ini tahu kalau big bro orang kaya... makanya dia... AAAAAAA!!!!”
“Apa? Kenapa?”
“Sejak kapan big bro menjadi mummy?” seru Sigit saat melihat wajah Alex yang ditutupi perban. Alex termenung sesaat.
“Hey Sigit...”
“Ya? Kenapa? Apa sekarang big bro ingin aku mengedit foto Karin dan mempublikasikannya juga? Itu urusan gampang, big bro tinggal katakan saja ingin pose dia seperti apa?”
“Tidak! Bukan itu! Hah. Kau ini... aku serius. Apa kau benar-benar bisa membaca pikiranku? Maksudku apa semua orang bisa membaca pikiranku sekarang?”
“Maksud big bro? Aku tidak mengerti...”
“Baiklah. Aku tahu ini terdengar gila, tapi... dalam satu hari ini... aku... entahlah, rasanya semua orang jadi bisa membaca apa isi hatiku... kau. Dan juga Jefri... masih ingat dengan duel tadi? Aku sama sekali tidak menantangnya. Secara verbal. Aku tidak mengatakan apapun... semua kata-kata itu hanya terbersit di pikiranku dan secara tiba-tiba orang lain mengetahuinya. Tadi bahkan Karina bertingkah seolah-olah aku telah menyatakan cinta kepadanya, tapi... ah. Aku pasti sudah gila... aku tidak mengatakan apapun...!!” mendengar itu Sigit hanya terdiam.
“Jangan-jangan... big bro bisa melakukan telepati...” seru Sigit.
“Telepati?”
“Telepati... you know, seperti menyampaikan pesan melalui pikiran... sekarang aku baru sadar bahwa big bro tidak bisa mengeluarkan suara perut...”
“A-apa? Apa maksudmu?”
“Yah, waktu di kelas tadi... kupikir big bro menyebut namaku menggunakan suara perut, dan saat mengintip Karina dibalik semak... aku memang tidak melihat mulut big bro bergerak... aku juga tidak mendengar big bro mengajak Jefri untuk duel atau bahkan menyatakan cinta...”
“See? Itu yang ingin kubicarakan dari tadi!”
“Sekarang bagaimana jika kita melakukan sebuah tes kecil, big bro tuliskan satu angka dari angka satu sampai sembilan di kertas, lalu sebutkan dalam pikiran big bro dan aku akan berusaha untuk menebaknya... bagaimana?”
“1 sampai 9... baiklah...”
“Sudah?”
“Sudah... lets do it”
“Tujuh?”
“Sembilan” Alex lalu membalikan kertas dan disitu tercantum angka 9. Tebakan Sigit meleset.
“Lima?”
“Satu” lagi. Tebakan itu meleset.
“Delapan?”
“Nol”
“Big bro... ayolah... kubilang angka satu sampai sembilan... tidak ada angka nol....”
“Oh ya. Baiklah... maaf. Aku lupa.... kita lakukan lagi?”
“Sudahlah. Ini omong kosong. Mungkin big bro hanya secara tidak sadar berbicara menggunakan suara perut... sudahlah”
“Sigit... ayolah. Kali ini saja ok?”
“Baik. Kita ubah angkanya menjadi dua digit... itu artinya sekarang big bro harus memikirkan dan menuliskan angka dari 10 sampai 99”
Dan begitulah. Akhirnya kedua sahabat itu mencoba melakukan hal itu cukup lama. Tak ada satupun dari tebakan Sigit yang tepat... hingga akhirnya mereka menyerah...
“Sudahlah. Kita lakukan lain kali saja... ini benar-benar konyol... kita bolos satu mata kuliah hanya untuk semua ini...” ujar Sigit.
“Kau benar. Duel tadi... Karina... haah. Ini benar-benar menghabiskan waktu. Ya sudah kalau begitu lebih baik kuambil barang-barangku dan kita pulang sekarang...” jawab Alex. Mereka berdua pun kembali menyusuri lorong kampus, Alex mengambil payungnya dan membereskan semua barang-barangnya.
“Kalau begitu... bolehkah aku meminta pin bb big bro? Id Lain, Whaszp dan sebagainya?” ujar Sigit.
“Aku tidak menggunakan aplikasi-aplikasi sosial semacam itu... kalau mau aku bisa memberimu nomor ponselku...” jawab Alex.
“Apa itu karena big bro tidak memiliki teman? Maksudku... ah, apa big bro tidak tertarik dengan jejaring pertemanan semacam itu?” mendengar pertanyaan Sigit, Alex mendadak kikuk.
“Euh... ti.. tidak juga. Aku punya banyak teman. Mereka semua... orang kaya dan aku... aku hanya manusia yang ingin berbeda... kau tahu, seperti keluar dari sistem... aku tidak membutuhkan... ah sudahlah. Apa kau masih menginginkan nomor ponselku atau tidak?” seru Alex.
“Ah. Tentu. Tentu nomor ponsel. Back to basic. Harga yang boros ya... dan haah...” lalu Sigit pun mengambil ponselnya. Namun secara tiba-tiba Sigit tampak terkejut. “Tunggu... ini tidak benar...” ujar Sigit seraya menatap wajah Alex dalam-dalam.
“Apa lagi?” ujar Alex. Sigit hanya terdiam, memperhatikan Alex dan mulai menekan beberapa tombol di ponselnya dan kemudian menunjukannya pada Alex.
“Apa arti angka-angka ini buat big bro?”
“Itu... itu tentu saja nomor ponselku, rupanya kau benar-benar peretas yang hebat... kau bahkan bisa tahu nomorku tanpa harus memintanya...”
“Aku menuliskan angka-angka ini dari suara yang muncul di pikiranku...”
“Suara? Tapi bagaimana bisa?”
“Tampaknya itu benar... big bro bisa melakukan telepati... aku bahkan melihat sendiri big bro bicara secara verbal sementara suara big bro yang lain juga terdengar di pikiranku dalam waktu yang bersamaan!”
“Apa? Aku... yang benar saja, itu bukan telepati, bagiku itu terasa seperti pemikiran yang dibocorkan...” Alex kembali termenung. “Aku bahkan tidak merasa bangga dengan hal ini... sejak kapan aku harus menjaga apa yang pikiranku katakan... ini tidak bagus. Sama sekali tidak bagus”
“Tapi big bro, mungkin big bro bisa mengolah kemampuan big bro dan melatihnya... coba bayangkan jika big bro bisa berkomunikasi dengan banyak orang tanpa harus menghubunginya melalui ponsel atau bertemu langsung dengannya, bukankah itu keren?”
“Tidak. Sejauh ini suara pikiranku tadi hanya bisa sampai pada satu orang terdekat saja, aku tidak yakin apakah aku bisa melakukan ini dari jarak yang jauh”
“Yah, aku hanya berpikir bahwa big bro memiliki peluang untuk mengembangkan kemampuan big bro, karena menurutku semua yang terjadi apapun itu pastilah memiliki tujuan, begitu juga dengan kemampuan big bro, sang takdir pasti memiliki rencana tersendiri untuk itu. Mungkin...”
“Yah, sudahlah, lagipula aku tidak tahu ini bisa bertahan hingga berapa lama, bagaimanapun ini belum pernah terjadi sebelumnya, mungkin jika aku pulang dan tidur sekarang besok hal itu akan hilang dengan sendirinya...”
“Aku tidak berharap seperti itu sih, tapi jika itu yang diinginkan big bro... yah. Kuharap itu adalah hal yang baik. Ya sudah, sampai jumpa besok”
“Sampai jumpa” Alex dan Sigit pun berpisah di persimpangan lorong kampus, tanpa banyak kata Alex segera menuju lahan parkir. Dimana disana sudah menunggu asisten pribadinya yaitu pak Hardi. Melihat Alex yang muncul dengan kepala terikat perban yang juga menutupi sebelah matanya, seketika itu juga Hardi langsung panik...
“Den, eh bos... sebenarnya apa yang terjadi? Siapa yang berani melakukan ini pada bos?”
“Ceritanya agak sedikit rumit Hardi. Kuceritakan nanti di perjalanan...”
Alex pun kembali memasuki mobil Rolls Royce-nya. Pak Hardi memegang kemudi... sambil berlalu dengan mobilnya pandangan Alex menjelajah ke langit sore di luar jendela. Dan kemudian ia pun mulai menceritakan apa yang dialaminya hari ini.
“Eh? Telepati? Maksud bos secara tiba-tiba bos jadi bisa menyampaikan kata-kata dalam pikiran bos pada semua orang tanpa mengucapkannya, begitu?” ujar pak Hardi setelah mendengar keseluruhan cerita Alex.
“Begitulah, sayangnya semua itu terjadi secara acak, dengan kata lain, aku tidak bisa mengendalikannya... suara pikiranku terbaca begitu saja oleh beberapa orang, mungkin tidak semua orang, hanya orang-orang yang saat itu dekat denganku dan kebetulan tengah kupikirkan... gara-gara itulah aku jadi harus berkelahi sampai seperti ini... jadi bagaimana menurutmu, apakah ceritaku ini terdengar terlalu aneh buatmu?”
“Sejujurnya, itu masih kurang struktur dramatiknya bos, rasanya masih kurang sedikit bumbu rising action dan point of attack-nya bos...”
“Jadi kau tidak percaya ceritaku ya? Hah, baiklah tak apa-apa. Lagipula darimana kamu belajar kata-kata itu... sok pintar sekali...”
“Ah... dulu sebelum saya bekerja pada ayah bos, saya adalah mantan mahasiswa drop out jurusan sastra... jadinya saya mengerti sedikit mengenai komposisi drama... ah tapi... jika saya boleh menambahkan, sebenarnya cerita bos tentang pikiran yang tersampaikan pada seseorang tanpa diucapkan, itu menurut saya adalah hal yang lumrah... terkadang ada kalanya saat kita merindukan seseorang lalu perasaan itu tiba-tiba berbalas dengan sebuah kabar darinya bahwa dia juga merindukan kita... kau mengerti kan bos? Itu seperti firasat atau kontak batin... ada kalanya ketika kita dekat dengan seseorang, lalu dalam hati kita bersenandung dan bernyanyi hingga tiba-tiba seseorang yang dekat dengan kita juga ikut menyanyikan lagu yang sama dengan yang kita pikirkan... itu juga merupakan bagian dari sebuah harmoni chemistry yang sering terjadi namun hingga kini masih sulit untuk dijelaskan...”
“Kau ini bicara apa? Aku tidak pernah mengalami hal-hal semanis itu. Yang terjadi padaku adalah seseorang yang mendengar isi pikiranku justru mengajakku berkelahi dan seorang yang lainnya menolak perasaan cintaku begitu saja... jadi dimana letak kedekatan batin atau chemistry yang kau bicarakan tadi?”
“Ah, jadi... tadi bos juga ditolak seorang perempuan?”
“Euh... maksudku aku tidak... aku tidak sengaja memikirkan itu... aku hanya... ah sudah. Lupakan!”
“Hm. Begitu. Kalau begitu apa bos tahu cerita tentang Helen Keller?”
“Tidak, aku tidak mengenalnya, siapa dia?”
“Helen Keller adalah nama seorang anak perempuan yang sejak usia 19 bulan didera penyakit komplikasi meningitis yang membuatnya kehilangan penglihatan dan pendengarannya, sehingga pada masa kanak-kanaknya ia sulit untuk berkomunikasi dengan orang lain...”
“Lalu?”
“Dan seiring berjalannya waktu, Helen tumbuh menjadi anak yang kaku, pemarah dan sulit dikendalikan... suatu hari ketika gurunya datang ke rumahnya lalu mencoba mengajarkannya mengeja  sebuah kata melalui tangannya... guru tersebut mengajarkannya sebuah kata yaitu doll... yang artinya boneka... gurunya membawa sebuah boneka hadiah untuknya, lalu saat gurunya membimbing Helen untuk menyentuh boneka tersebut Helen hanya bisa mengamuk... Helen tak pernah mengerti bahwa setiap benda memiliki keunikan dan namanya sendiri... begitu juga saat gurunya memperkenalkannya pada benda-benda lain seperti mangkuk dan piring maka Helen pun kemudian memecahkannya... Helen menjadi begitu frustasi betapa kekurangan yang dimilikinya begitu membatasi dunianya... betapa ia ingin dimengerti bahwa ia tidak mengerti. Hingga akhirnya Helen Keller tengah bermain air, ia kemudian mengingat sentuhan lengan lembut gurunya, lalu secara spontan Helen mengerti bahwa sejuk dan segarnya air yang ia sentuh merepresentasikan sebuah kata... water... water... Helen mengucapkan kata itu. Ia mengatakan itu dengan kebahagiaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Tentang keindahan makna... sebuah nama... water... dan begitulah, sejak saat itu Helen kemudian bersemangat dan terus memaksa gurunya untuk memberitahunya nama-nama benda lainnya...”
Sejenak Alex terdiam. Kisah itu mengingatkannya tentang dirinya. Dengan penyakit yang membuatnya terlihat berbeda, yang membuatnya sering bertanya-tanya... mengapa harus aku? Dan ketika ia bersikap kasar dan kaku, dalam hatinya ia bertanya mengapa dunia tidak mau mengerti tentang beban yang ia rasakan. Namun tak ingin larut menghayati kisah itu, Alex hanya bisa menampik.
“Kisah yang bagus Hardi, mungkin wawasanmu tentang sastra membuatmu tahu dongeng motivasi bagi penyandang difabel... sayangnya aku masih tidak mengerti, whats the point? Apa hubungan kisahmu itu dengan cerita soal telepatiku tadi...?”
“Hubungannya tentu saja tentang perasaan... sebuah perasaan, kepekaan, atau empati atau apa saja. Yang terkubur begitu lama dan mengerak di hati... bisa keluar begitu saja bahkan bagi seorang anak yang buta dan tuli seperti Helen Keller... satu alasan bagi bayi mengapa ia bisa belajar berbicara bukanlah melalui simbol dan gerakan... melainkan perasaan. Satu hal lagi bos... kisah Helen Keller bukanlah dongeng. Itu benar-benar terjadi, Helen Keller lahir di Alabama pada tanggal 27 juni 1880, bersama guru yang kemudian menjadi temannya Anne Sullivan, bersama, mereka menjadi bagian sejarah dari sebuah keajaiban... Helen bahkan tumbuh menjadi seorang penulis sampai seorang aktivis politik... bersama gurunya ia mendirikan yayasan bagi orang-orang yang buta tuli seperti dirinya. Tentu saja ini kisah yang bagus bos... maksudku... tidak ada yang mustahil mengenai apapun didunia ini bahkan jika itu adalah telepati sekalipun...”
“Hoho... jadi kau percaya ceritaku?”
“Tentu saja... tidak bos. Sayangnya selama saya belum mendapatkan bukti apapun saya belum bisa menyimpulkan... tapi, apa benar gara-gara ini bos sampai ditolak oleh seorang perempuan?”
“Jangan bahas soal penolakan itu lagi. Sudahlah... tapi berbicara soal perempuan... Hardi, bukankah itu gadis yang menemui kita waktu itu?” mata Alex menerawang ke balik jendela.
“Siapa bos?”
“Hentikan dulu mobilnya! Kau ini. Lihatlah, kalau tidak salah, itu gadis buta yang dulu mengingatkan kita soal kecelakaan dan merusak ban mobilku kan? Sedang apa dia disini?”
Mobil pun berhenti. Dari luar tampak seorang gadis berambut pendek dengan kacamata dan tongkat di tangan. Seorang gadis buta. Dan dihadapannya berdiri beberapa orang pria.
“Hey... cantik, tidak baik berjalan sendirian seperti ini... sini kubawakan semua barang bawaanmu...” ujar salah seorang pria. Dari penampilannya, mereka tidak tampak seperti pria baik-baik. Namun, meski gadis itu tidak bisa melihat tampaknya ia sudah bisa merasakan itu.
“Mau apa kalian?” sang gadis buta tampak gusar, ia berjalan mundur. “Menyingkirlah atau seseorang akan menyingkirkan kalian...”
“Wowowo. Hey, kawan-kawan... lihat, apa yang kita dapat hari ini, kita beruntung... rupanya si cantik ini tidak bisa melihat... hahaha... ayo cantik, ikutlah dengan kami, ini pasti akan menyenangkan...”
Gadis buta itu kemudian mengayunkan tongkatnya. Hendak memukul kepala pria tadi. Namun sayang, tongkat itu bisa ditahan dengan sebelah lengan. Gadis itu berusaha menarik kembali tongkatnya, namun pria itu tak mau melepaskannya. Pria itu tampak marah dan kawan-kawannya segera mengepung gadis itu.
“Hey... tidak boleh nakal pada kencan pertama... kau tahu itu?” ujar pria tadi dengan tatapan sinis. Ia melemparkan tongkat milik gadis itu dan bersama kawanannya ia menyeret gadis itu ke sebuah gang sepi di samping jalan.
“Lepaskan! Kalian... apa yang ingin kalian lakukan?” ujar gadis itu lagi.
“Diamlah... ini akan menjadi pelajaran sekaligus kenangan indah buatmu. Jadi jangan berisik! Pegangi dia!” kemudian teman-teman dari pria tadi menahan lengan sang gadis, sementara pria itu mulai membuka gesper ikat pinggangnya dan...
“Yo... yo... yo... bukan seperti itu cara memperlakukan seorang wanita...” tiba-tiba Alex muncul dan mengejutkan kawanan itu.
“Sial! Siapa pula yang berani menggangguku? Kawan-kawan! Ayo hajar dia!” dan kawanan itu pun melepaskan gadis buta tadi. Mereka berlari hendak menyerang Alex, namun tiba-tiba Hardi muncul dan layaknya seorang Steven Seagal, Hardi berhasil mematahkan semua serangan itu. Alex hanya tersenyum seraya masih menyimpan lengannya dalam saku celana.
“Bos... dengan keadaan bos yang seperti itu lebih baik biar aku saja yang menghadapi mereka” ujar Hardi. “Hah. Apa kau baru saja meremehkanku Hardi? Yah, baiklah aku memang terluka saat ini tapi sejujurnya aku masih bisa menghadapi kecoak-kecoak ini jika aku mau. Meski begitu aku ingin memberimu kesempatan... jadi, mengamuklah sesukamu... Hardi” jawab Alex.
“Baiklah” Hardi kemudian melepas jasnya dan menyingsingkan lengan kemejanya. Ia longgarkan dasi yang mengikat lehernya dan mulai memasang kuda-kuda.
“Apa kalian pernah dengar tentang pegulat WWF smack down bernama Jeff Hardy? Well, aku memang bukan dirinya... tapi...” ujar Hardi terhenti. Sementara para pria tadi mulai bangkit, mengeluarkan pisau lipat dan kembali menyerang... satu orang diantara mereka melayangkan tinjunya lebih dulu dan...
“Aku tidak dikenal sebagai Jeff Hardy...” ujar Hardi seraya mengelak dari pukulan tadi. “Aku... dikenal dengan julukan... Jab Hardi!” satu buah jab. Satu buah pukulan jab dan langsung mengantarkan pria pertama K.O. Tubuhnya terhempas diantara kawanan tersebut namun itu tak membuat mereka berhenti dan terus menyerang dan tinju Hardi yang tak bisa ditepis, membuat mereka lari tunggang langgang. Namun seorang pria yang dari tadi terdiam masih berdiri disana. “Jangan pergi kalian! Dasar pengecut! Hey!” ujar pria itu seraya menutup kembali resleting celananya dan kembali mengikatkan ikat pinggang.
“Apa kau pemimpin mereka?” ujar Alex. “Jika aku jadi kau, aku pun akan memilih lari seperti mereka sekarang...”
“Jangan bercanda! Jangan samakan aku dengan para anak buahku! Dasar bajingan kalian...” ujar pria itu seraya berlari maju. Alex hanya mengorek-ngorek telinganya dengan jari kelingkingnya. “Yah terserahlah... dipanggil bajingan oleh bajingan sepertimu... hmh... next punch will be...”
“Uppercut Hardi!” kali ini pukulan uppercut. Hardi melompat seraya mendaratkan uppercut di dagu pria itu dan mengantarnya melihat angkasa sebelum tubuhnya terhempas ke tanah. Hardi kembali mengambil jas hitamnya, menggantungkannya di pundak. Sementara Alex berjalan menghampiri gadis buta tadi.
“Inilah mengapa aku tidak suka pertarungan tangan kosong. Membuat semuanya terlihat berantakan. Sayang aku tidak membawa pedang kayuku... haah... hey, ini tongkatmu. Aku menemukannya di jalan...” ujar Alex seraya memberikan tongkat pada gadis itu. Gadis itu hanya mengambil kembali tongkat itu dan berlalu begitu saja tanpa sepatah kata apapun.
“Hey sama-sama! Kau bahkan tidak bertanya siapa nama penolongmu dan berkata terima kasih! Jika aku ingat siapa namamu waktu itu mungkin kau sudah kulaporkan pada polisi saat pertama kali kita bertemu” ujar Alex menggerutu. Gadis itu pun menghentikan langkahnya dan menoleh.
“Aku tahu siapa kalian dan aku sudah memperkenalkan namaku padamu sebelumnya, dan namaku adalah Mia jika kamu lupa. Aku sudah tahu kamu akan datang dan menolongku. Meski begitu aku tidak menyukai kekerasan. Tapi... terima kasih” ujar gadis itu seraya terus berlalu.
“Jadi Mia ya... ah, Hey! Bukankah kau itu buta, bagaimana kamu bisa tahu kalau aku adalah... hey! Hey! Ah... dia pergi...”
“Gadis yang cukup unik, bukan begitu bos?” ujar Hardi.
“Apa-apaan gadis itu... berlagak seperti seorang peramal, dulu dia dan kakaknya berkata bahwa kita akan mengalami kecelakaan dan seenaknya menggembosi ban mobilku, sekarang dia bertingkah seolah dia tahu bahwa kita akan datang menyelamatkannya... dia bahkan tidak mengatakan maaf atas apa yang dia lakukan waktu itu... menyesal aku menolongnya.”
“Euh... dia lumayan cantik, apa itu tidak mungkin jika bos menyukainya?”
“Siapa? Aku? Menyukainya? Hah! Mana mungkin, kau pasti bercanda...” seru Alex, Hardi hanya mengangkat alisnya dan menatap Alex seraya tersenyum “Ok ok. Kuakui dia sedikit cantik. Se-di-kit. Dan mungkin aku memang menyukai aroma parfumnya... terasa segar dan maskulin. Maksudku aku menyukainya karena itu seperti aroma parfum pria dan bukan berarti aku menyukai dia memakainya, dan gaya dia berpakaian, kau tahu? Dia tampak cukup elegan...” sekali lagi Hardi menatap Alex seraya tersenyum “Maksudku dia tidak feminin! Ayolah, dia bukan tipeku, ok?” seru Alex lagi. “Ya ya ya, bos tidak perlu meyakinkanku, aku sudah bisa melihatnya...” jawab Hardi seraya tersenyum. “Dan sejujurnya aku meragukan jika gadis itu benar-benar buta, mungkin dia hanya berpura-pura untuk menarik simpati orang-orang, padahal... kebutaannya itulah yang seharusnya membuatnya tampak sempurna...” tak sengaja Alex mengucapkan kalimat tersebut. “Bagaimana bos?” ujar Hardi. “Sudahlah lupakan!”
Alex dan Hardi pun kembali memasuki mobil. “Jika gadis itu tidak datang dan menggembosi ban mobil kita waktu itu, kita mungkin tidak akan datang terlambat untuk datang pada pertemuan para pemegang saham BUMN dan sekarang PT Fabian Jaya berhasil mengakuisisi perusahaan migas dalam negeri. Yah mungkin ini salahku karena terlalu mendiskreditkan diriku sebagai orang keturunan”
“Mengenai hal itu bos, sebenarnya...”
“Apa?”
“Apa bos masih ingat dengan headline surat kabar yang bos baca tadi pagi?”
“Ya, aku masih ingat... tentang seseorang yang hidup kembali setelah dicium wanita cantik meski telah dinyatakan tewas sebelumnya... kalau tidak salah... itu adalah kejadian tabrak lari kan?”
“Coba tebak bos. Orang itu rupanya benar-benar ada bos... tadi siang polisi berhasil mengidentifikasi sang korban yang masih hidup dan juga pelakunya. Yang mengejutkan bagi saya adalah rupanya pelaku tabrak lari tersebut adalah seseorang yang kita kenal bos...”
“Apa? Apa maksudmu bahwa aku juga mengenalnya?”
“Yah, mungkin bos memang tidak mengenalnya secara personal, tapi orang ini adalah saingan kita dalam perebutan akuisisi waktu itu. Dia tidak lain adalah Erik Fabian... anak dari Rizal Fabian... itulah mengapa dia tidak hadir pada saat rapat waktu itu. Sayangnya kakaknya Ryo Fabian muncul dan mengambil alih kepemimpinan delegasi perusahaan pada saat rapat pemegang saham...”
“Lalu bagaimana kabar pria ajaib yang menjadi korban?”
“Wajahnya muncul tadi siang. Nama pria itu adalah Raya. Dia membuat pernyataan bahwa dia baik-baik saja dan dia juga tidak akan menuntut ganti rugi apapun pada sang pengendara mobil Lamborghini, Erik Fabian. Meski begitu Rizal Fabian mengatakan bahwa dirinya akan bertanggung jawab penuh atas kejadian yang melibatkan anaknya, Rizal mengatakan bahwa ia akan memberi Raya asuransi jiwa dan juga beasiswa. Yah, mungkin itu untuk menyelamatkan nama baiknya, karena setelah kejadian tersebut PT. Fabian Jaya mendapat sorotan negatif dari publik. Dan mengenai gadis yang mencium pemuda tersebut, sayangnya pemuda itu tidak bisa memberikan konfirmasi apapun. Dia hanya berkata bahwa ia sama sekali tidak mengenal gadis itu dan ia hanya tiba-tiba tersadar begitu saja di suatu tempat. Seperti terhipnotis... apa bos percaya?”
“Namanya Raya ya? Entah kenapa nama itu terasa tidak asing di telingaku... seperti nama perempuan... aku memang mengenal Erik secara personal, jika kau ingin tahu tapi... tunggu, kau tadi bilang bahwa Erik Fabian tidak dapat hadir dalam rapat pemegang saham karena terlibat kecelakaan tersebut... benarkah itu?”
“Itu benar bos...”
“Tunggu... bukankah itu adalah hari dimana kita juga menerima peringatan untuk sebuah kecelakaan yang sama yang tidak kita alami berkat gadis buta tadi... euh, siapa namanya... Mia? Apakah itu sebuah kebetulan saja atau...”
“Entahlah bos... saya sendiri baru menyadari hal itu dari bos... benar juga, memang itu agak aneh... ditambah lagi waktu kejadian jika saya harus tambahkan memang tepat seperti prediksi gadis itu... kecelakaan itu terjadi tepat pukul 13.00, hanya selang beberapa lama saat mobil kita digembosi, apa menurut bos hal itu benar-benar mungkin bahwa jika kita pergi, kitalah yang akan menjadi korban?”
“Tidak. Tidak begitu. Lamborghini Gallardo mungkin bisa menabrak sepeda dengan brutal, tapi jika harus bertabrakan dengan Audi R8 milikku mungkin korbannya bisa jatuh pada kedua belah pihak... yang membuat keraguanku sedikit mengambang adalah... bagaimana jika kemampuan melihat masa depan atau sebuah ciuman yang bisa menyembuhkan itu benar-benar ada? Maksudku aku baru saja mengalami banyak hal aneh dengan suara pikiranku yang tak bisa kukendalikan... entah itu telepati atau apapun... apakah hal itu benar-benar bisa terjadi?”
“Saya tidak bisa bicara banyak tanpa bukti bos... karena itu saya hanya bisa bilang bahwa ini hanya kebetulan saja, disamping itu bos pasti setuju jika hal itu benar-benar membingungkan bukan?”
“Kau benar, baiklah, kita anggap saja bahwa hal itu tidak mungkin terjadi”
“Oh ya, bos bilang bos mengenal Erik Fabian secara personal?”
“Ya. Hanya kebetulan. Kita pernah satu sekolah, saat itu aku mendapatkan beasiswa untuk memasuki SMA negeri favorit dan suatu hari aku pernah menolongnya dari gangguan anak-anak nakal... hanya itu...”
Rolls Royce hitam itu pun memasuki kediaman Alex. Para pelayan dan asisten rumah tangga secara serta merta menyambut kedatangannya. Hardi membuka pintu mobil mempersilakan Alex. Sementara para pelayan pun panik melihat tuan mudanya muncul dengan wajah babak-belur...
“Ya ya. Santai saja, jangan berlebihan... aku baik-baik saja, masih hidup dan sehat”
Malam mulai menyelimuti kota. Alex yang hanya terduduk di meja perpustakaan, berusaha untuk menghilangkan kebosanan. Ia mulai membuka berkas-berkas pekerjaannya. Berbagai cetakan blueprint dan desain otomotif ada disana. Sementara Hardi muncul berusaha mencairkan kebekuan.
“Bagaimana kuliah bos hari ini? Apa itu menyenangkan?”
“Entahlah Hardi... aku tidak begitu yakin, apakah ekonomi manajemen adalah jurusan yang tepat untukku, karena bagaimanapun aku hanya menjalani ini agar tidak terlalu banyak terlibat dengan bisnis ayahku... kenyataannya ini justru membuatku semakin mempelajarinya” jawab Alex seraya melemparkan berkas-berkas tadi dan mulai mengusap keringat di dahinya.
“Maksud saya bos, apakah bos menemukan teman yang menyenangkan disana?” tanya Hardi lagi.
“Teman ya... entahlah, selama ini orang-orang melihatku dengan kaku namun ya... mungkin ada satu orang... dia aneh jika harus aku tambahkan dan dia...” sejenak Alex memikirkan Sigit dan kata-katanya terhenti di bibirnya.
“Bukankah itu menyenangkan bos? Maksudku... memiliki teman... itu menyenangkan bukan? Apakah dia seorang wanita?”
“Hardi... ayolah, namanya Sigit... tentu saja dia laki-laki... dan para wanita hanya menilai merk mobilku saja... atau tepatnya mobil pemberian ayahku...”
“Oh maaf bos... saya lupa kalau bos tadi ditolak oleh seorang gadis... euh maksud saya...” belum sempat Hardi meneruskan kalimatnya, sebuah dering telpon berbunyi. “Sepertinya suara itu berasal dari handphone milik bos... akan saya ambilkan...” ujar Hardi lagi. Tak lama ia pun muncul dan menyerahkan Handphone itu pada Alex.
“Ini dari Sigit. Orang yang kita bicarakan ternyata menghubungiku... hah... ada perlu apa dia malam-malam seperti ini?”
Alex pun mengangkat panggilan tersebut.
“Big Bro!!”
“Ah. Sigit. Ada perlu apa?”
“Apa big bro baru saja memikirkan diriku?”
“Apa maksudmu? Untuk... untuk apa aku harus memikirkanmu... aku sedang sibuk saat ini dan lagi ini sudah malam, kau hubungi aku nanti saja...”
“Tunggu big bro, jangan ditutup! Aku mendengarnya...”
“Apa? Kau ini bicara apa?”
“Aku bilang aku mendengarnya! Aku mendengar suara big bro... big bro berkata bahwa aku adalah orang aneh dan sayangnya aku adalah teman big bro satu-satunya di kampus... aku mendengar bisikan itu di kepalaku...”
“Ka-Kau... bagaimana... euh... apa kau memasang sejenis penyadap di tubuhku atau apa?”
“Apa? Penyadap apa? Saat ini aku sedang berada di kamar kos-ku... lagipula hingga saat ini belum ada teknologi apapun yang bisa menyadap isi pikiran orang... big bro ini... haaah sudahlah... mungkin big bro berhasil meningkatkan kemampuan big bro dan suara big bro akhirnya bisa menempuh jarak yang jauh... dan terima kasih karena telah menganggapku aneh...”
“Ok ok. So... apa kau bisa datang kesini? Ke rumahku? Sekarang?”
“Huwat?”
“Aku akan mengsmskan alamatnya padamu... datanglah secepatnya”
“Hey... hey, tunggu dulu, aku...”
Alex menutup panggilan itu. Pikirannya mulai bertanya-tanya lagi. sesuatu yang tidak masuk akal, tidak begitu berarti namun cukup mengusik. Melihat itu, Hardi pun ikut bertanya-tanya.
“Ada apa bos?”
“Temanku... Sigit. Dia tadi menghubungiku”
“Ya tentu. Maksudku, apa? Apa yang membuat bos gelisah seperti sekarang ini?”
“Dia mendengar semuanya...”
“Mendengar?”
“Saat aku menceritakan tentang dirinya padamu, sesaat aku berpikir tentang dirinya, tentang kekonyolannya, kebodohannya dan semua hal buruk tentangnya... dan well, tadi dia berkata bahwa dia telah mendengar semua pemikiranku itu...”
“Apa menurut bos teman bos itu memiliki kekuatan supranatural? Rasanya itu tidak mungkin...”
“Well yeah. Ini tidak hanya terjadi pada orang itu saja... aku sudah menceritakan semuanya padamu... karena kau tidak percaya, aku mengundangnya untuk datang kemari...”
“Yah. Sejauh ini saya belum mendapatkan suara-suara aneh di kepala saya... tapi mungkin saya bisa menunggu, jika itu benar... mengenai Sigit, teman bos... tentu teman bos adalah orang yang layak untuk diundang kemari tapi... apakah orang ini... Sigit, apa dia orang yang baik? Mengingat bos berkata bahwa yang tadi bos pikirkan tentangnya hanya hal buruknya saja so...”
“Dia tidak seburuk itu Hardi... dia hanya seorang yatim piatu yang hidup dengan beasiswa atau membobol kartu kredit dengan meretas komputer atau semacamnya...”
“Meretas kartu kredit... baiklah, itu terdengar seperti perbuatan orang baik...”
“He’s not that bad. Trust me.”
“Kalau begitu saya akan memastikannya saat ia datang kemari nanti”
Beberapa lama kemudian, suara bel dari kediaman Alex terdengar. Alex dan Hardi hanya melihat melalui monitor CCTV dan dari situ terlihat Sigit berada di luar pagar. Alex lalu menekan tombol dan...
“Para penjaga keamanan sedang menuju kesana untuk membukakan pintu pagar itu untukmu, tunggulah sebentar, Sigit” ujar Alex.
Dari monitor itu terlihat Sigit tampak celingak-celinguk mengalihkan pandangan ke berbagai arah, hingga akhirnya ia melambaikan tangannya ke kamera. Alex hanya tersenyum dan menoleh ke arah Hardi. “Itu dia temanku yang tadi kuceritakan” gumam Alex. Hardi hanya menjawab dengan mengangkat alis dan mengangguk.
“Wow... apa big bro benar-benar tinggal di rumah sebesar ini? Beneran?” seru Sigit setelah ia mulai memasuki rumah itu.
“Yah begitulah. Aku senang kamu datang... masuklah euh, taruh sepatunya di dalam saja. Oh ya perkenalkan ini pak Hardi... asisten pribadiku, tepatnya dia adalah...”
“Selamat datang... tuan Sigit, saya senang bos saya bisa memiliki seorang teman seperti anda” ujar Hardi seraya tersenyum.
“Euh... tuan? Baiklah...” jawab Sigit sedikit kebingungan.
“Hardi, kau ini... tidak perlu seformal itu... oh ya Hardi, bisakah kamu suruh beberapa pelayan untuk menyiapkan makanan dan minuman dingin untuk temanku ini?” seru Alex “Segera akan saya siapkan bos...” ujar Hardi.
“Euh big bro... tidak perlu repot-repot... lagipula aku tidak begitu lapar... santai saja... jadi... waw. Aku tahu bahwa big bro adalah orang kaya, tapi ini... ini luar biasa...” ujar Sigit dengan tatapan berbinar. “Rumah ini... taman-tamannya, big bro bahkan memiliki seorang asisten pribadi yang gagah seperti pak Hardi ini...”
“Sebagai catatan, mas Sigit, ah, bolehkah saya memanggil anda mas Sigit saja? Sebagai catatan... asisten pribadi berbeda dengan butler atau kepala pelayan dan semacamnya. Saya dikondisikan untuk memenuhi segala keperluan bos Alex, saya bisa menjadi pelayan, juru masaknya, teman, penasihat atau bahkan bodyguardnya jika perlu. Karena itu jika ada sesuatu yang mengganggu kenyamanan bosku, maka saya akan segera menyingkirkannya, anda paham maksudku bukan mas Sigit...?” ujar Hardi lagi seraya tersenyum dingin menatap Sigit. Alex yang mengerti intimidasi yang diluncurkan Hardi berusaha untuk mencairkan kecanggungan...
“Dan tampaknya kau harus meninggalkan kami berdua Hardi, saat ini aku dan Sigit punya sedikit urusan dan kami harus...”
“Kruuuuukkk” tiba-tiba sebuah suara memotong kalimat Alex. Alex dan Hardi sontak menatap Sigit, karena suara itu berasal dari perutnya. “Baiklah... aku memang belum makan... hehehe”
“Ah saya mengerti bos. Saya juga akan segera menyiapkan makanan dan minuman untuk teman bos... saya permisi...” ujar Hardi seraya meninggalkan Alex dan Sigit.
“Well, itulah Hardi... tolong maafkan kata-katanya, dia hanya sedikit over protektif”
“Yah, santai saja... oh ya, mengenai telepati, big bro... kupikir, kita harus mencoba metode yang berbeda dari sebelumnya...”
“Metode?”
“Yah... ingat saat aku menyuruh big bro memikirkan angka-angka dan tebakanku selalu meleset? Namun tak berapa lama suara pikiran big bro terdengar lagi saat memberiku nomor ponsel? Ingat?”
“Ya. Memangnya ada apa dengan hal itu?”
“Saat itu mungkin big bro hanya fokus pada angka atau isi pesan yang ingin big bro sampaikan, namun setelah mempertimbangkan beberapa kejadian, tampaknya bukanlah isi pesannya yang membuat suara pikiran big bro terdengar, melainkan objek penerima dari pesan tersebut... singkat kata, jika aku menyuruh big bro memikirkan angka-angka, maka bukan angka yang harus big bro pikirkan melainkan aku sebagai objek penerima telepati... itulah mengapa tebakan-tebakanku selalu meleset karena big bro selalu gagal fokus...”
“Jadi itu alasan bagaimana suara pikiranku bisa terdengar? Hanya dengan memikirkan orangnya dan bukan pesannya?”
“Tepat. Dengan kata lain big bro harus membuat pikiran big bro terkoneksi dengan pikiran seseorang atau penerima telepati, dengan begitu big bro bisa menyampaikan pesan apapun padanya tanpa mempedulikan verbal ataupun jarak... so... bisa kita mulai mencobanya sekarang?”
“Mencoba? Mencoba apa?”
“Sekarang bawa aku ke sebuah ruangan yang tertutup dan biarkan big bro mengambil jarak dari ruang tersebut... setelah itu big bro fokuskan pikiran big bro padaku, dengan kata lain big bro harus mengisi pikiran big bro dengan wajahku atau apapun tentangku setelah itu barulah big bro boleh menyuarakan apapun yang ingin big bro ucapkan dalam hati big bro”
“Apa kau yakin itu akan berhasil? Baiklah... aku akan mencobanya”
Kemudian Alex pun membawa Sigit ke ruang perpustakaan... dimana disana Sigit ditinggalkan sendirian. “Ingat! Big bro harus memikirkan aku! Hanya itu satu-satunya kemungkinan agar ini berhasil!” teriak sigit dari dalam ruangan. Alex pun melangkah ke ruang tengah. Ia berdiri seraya menghirup nafas perlahan, menutup matanya dan mulai berpikir tentang Sigit... membayangkan wajahnya, membayangkan temannya seolah ia dekat dengannya. Sementara Hardi yang kebetulan lewat seraya membawa nampan dengan beberapa sajian makanan mulai memperhatikan kelakuan tuannya.
“Bos... apa bos baik-baik saja?” ujar Hardi.
Alex pun perlahan membuka matanya. Kemudian dengan tenang ia pun tersenyum.
“Tentu saja aku baik-baik saja, tak ada yang perlu dikhawatirkan...” ujar Alex.
Namun tiba-tiba Sigit keluar dari perpustakaan dengan wajah merah menahan amarah.
“Big bro keterlaluan! Bagaimana mungkin big bro bisa tega mengataiku sebagai anak yatim yang badung pengundang masalah dan pembawa sial? Bagaimana mungkin big bro bisa...” namun Alex hanya tertawa terpingkal-pingkal saat Sigit meluapkan kekesalannya itu. Sementara Hardi yang benar-benar tidak mengerti hanya mengernyitkan dahi keheranan...
“Apa semuanya baik-baik saja? Apa ada diantara kalian yang bisa menjelaskan apa yang terjadi?” tanya Hardi
“Hahahaha. Yah... semuanya baik-baik saja Hardi... anak ini... ah temanku ini, Sigit... dia berhasil mengajariku bagaimana menggunakan telepati... hahaha... itu benar-benar terjadi Hardi... aku tidak gila... aku bisa menghubungimu tanpa perlu menggunakan ponsel... hahahah”
“Ah cukup dengan cerita telepatinya bos. Saya kemari hanya untuk membawakan makanan dan minuman ini untuk teman bos... kalau begitu saya permisi dulu. Selamat menikmati mas Sigit...” ujar Hardi lagi, sementara itu Alex tak bisa menghentikan tawanya.
“Big bro! Hentikan tawa congkak big bro itu! Awas ya nanti kuedit foto big bro!” seru Sigit.
Dan begitulah, rumah kediaman Alex yang biasanya begitu sepi kali ini terasa begitu riuh, para pelayan dan para staf keamanan disana hanya tersenyum, mengetahui bahwa tuan yang selama ini dikenal oleh mereka sebagai pria yang kaku dan dingin bisa tertawa dengan begitu puas. Ini adalah pertama kalinya di rumah itu Alex bisa tertawa selepas itu. Sayangnya, sesuatu yang mereka tidak ketahui menunggu mereka jauh diluar rumah. Sebuah mobil van hitam dengan kaca gelap berisikan pria-pria berparas eropa, bersetelan jas lengkap, tengah menyadap semua pembicaraan dari dalam mobil.
“So what do we do now?”
“Just wait. Kita tunggu sampai besok, sejauh ini anak itu masih meraba-raba tentang kemampuannya dan siapa sangka bahwa teman dari anak ini rupanya adalah incaran teman kita di FBI... beberapa kali membobol sistem keamanan dan mengintip rahasia negara, bertemu dengan kita akan memberinya sedikit mimpi buruk... bagaimanapun, sistem kartu tanda pengenal elektronik di negeri ini sangat menguntungkan, terlebih lagi negeri ini belum memiliki satelit sendiri, tidak terlindung dan bebas akses, mereka membocorkan semuanya di hadapan kita, tentu menjual satelit adalah tindakan terbodoh yang pernah kudengar dan marah karena negerinya disadap adalah lebih bodoh lagi, karena meski mungkin dia bisa menipu para agen dan juga NSA tapi tak akan ada yang bisa disembunyikan dari The Eye, so... bocah bernama Sigit ini... he’s the scapegoat, anonymous itu tak lagi menjadi anonymous sekarang... wrong time, wrong place, sekali tepuk dua lalat terjatuh...”
“Is that means we have to kill them both?”
“Secara teknis kita hanya perlu membunuh salah satunya... tapi yah... apa bedanya? Hahahaha”
“Benar juga... begitu orang itu kita dapatkan, maka itu sama saja dengan kehidupannya telah selesai sampai disitu... itu sama saja dengan mati”
“Hahahahaha who knows? Maybe dat will be better... or... ok, its worse”
“God save the queen! But we are not in britain right now...”
“God bless Zion!”
“God bless Zion!”

Mahasystem Chapter Six
“The Sound Of Sword”
End.