Mahasystem
Chapter
6: The Sound Of Sword
Alex mencoba
memipihkan kembali telapak lengannya bagaikan sebuah pedang. Ia ingat bahwa
pedangnya tidak selalu harus berada dalam genggamannya. Namun itu akan
senantiasa berada dalam jiwanya. Sama seperti saat gurunya melatihnya dengan
berbagai macam pukulan yang keras namun Alex harus bertahan dengan berpikir
fokus bahwa jauh di dalam sana... di dalam hatinya... jiwanya berada dalam
ketenangan. Ketenangan yang membuatnya terlepas dari rasa sakit. Layaknya besi
yang ditempa terus menerus, dipukuli palu dibakar api lalu ditenggelamkan ke
air hingga terciptalah sebuah pedang yang sangat tajam. Begitulah jiwanya saat
ini... tidak peduli berapa banyak pukulan yang ia dapatkan dari Jefri, rasa
perih layaknya terbakar atau dinginnya ngilu yang ia rasakan. Semua itu hanya
akan membuatnya lebih kuat. Dan dengan tatapan tajam setajam pedang, Alex
membuat lawannya ketakutan. Ia maju menghunuskan telapaknya. Dengan jiwa pedang,
Alex siap mengayunkan telapaknya layaknya karateka yang hendak memecahkan
tumpukan batu bata. Jefri secara setengah hati untuk siap, kembali mengepalkan
tangannya seraya berlari maju sementara Alex dengan berlari pula, memanfaatkan
dorongan dari kecepatan larinya, kaki Alex meluncur di atas tanah, mengelak
dari pukulan Jefri dan seraya melewatinya, dengan gerakan seperti menebas, ia
ayunkan lengan itu pada bagian belakang leher lawannya. Serangan itu membuat
Jefri terhempas hingga kepalanya terbenam ke tanah dan ia pun jatuh dengan
posisi menungging. Tanpa mempedulikan lawannya, Alex terus maju seraya melompat,
menginjakan kakinya di pohon dan menjadikannya sebagai pijakan untuk
memantulkan tubuhnya kembali, melesat ke arah Jefri, ia melakukan gerakan
seperti menusuk... sayangnya, Alex salah memperhitungkan gaya gravitasi bumi
dan ketinggiannya melompat, ditambah lagi posisi Jefri yang tidak tepat...
tusukan dari lengan yang dikeraskan dan dipipihkan layaknya pedang yang
seharusnya menusuk punggung Jefri, meleset terlalu rendah sehingga akhirnya
mengenai... pantat Jefri. Mulut Jefri hanya menganga tanpa suara, Jefri tampak
tak kuasa bahkan untuk menjerit sekalipun. Well, bagaimanapun, itu pastilah
masih menyakitkan.
“Yo big bro! Apa big bro lihat wajah
Jefri tadi? You just totally screw his ass!” ujar Sigit setelah duel baku
hantam itu dinyatakan selesai. Alex hanya bisa melotot “Just shut up. Dont ever
ever remind me about that, ok? Apa kau punya obat antiseptik dan sejenisnya?
Kurasa aku harus cuci tangan...” jawab Alex “Yah aku punya minuman cola di
tasku. Ini, kau bisa menggunakan ini.” Alex pun mengambil sebotol minuman cola
itu dan mencuci tangannya “Tapi tetap saja, menurutku big bro keren sekali,
Jefri sampai terbata-bata hanya untuk mengatakan kata menyerah...” ujar Sigit
lagi, namun Alex hanya terdiam dan menunjukan muka kecut. Hingga akhirnya wajah
masam itu tiba-tiba berubah saat...
“Apa
kamu enggak apa-apa?” tiba-tiba saja Karina muncul dan menyapa Alex. Alex yang
terkejut dan kikuk pada gadis pujaannya itu tak tahu harus berbuat apa.
“A...
Aku... Euh... sa... saya... baik-baik saja, nona eh... tuan putri... eh... Karin...”
Karina
hanya tersenyum. “Baik-baik saja apanya?” lalu Karina mengeluarkan sesuatu dari
tasnya. Sebuah kotak obat. Didalamnya ada perban, plester, obat merah dan
sebagainya. Lalu ia mulai menggunakannya untuk mengobati luka-luka Alex. “Kalau
sudah berdarah dan babak belur begini, mana bisa ini disebut baik-baik saja. Ya
kan, Alex?” ujarnya seraya mengikatkan perban pada kepala Alex.
Dia
menyebut namaku. Dia menyebut namaku. Ujar Alex dalam hati. Waaa... dia
memperban wajahku. Benar-benar gadis yang baik, sudah cantik, perhatian pula...
ah sudikah kau menjadi pacarku? Pacar dari seorang samurai dari Indonesia
keturunan Tionghoa yang albino seperti aku? Alex bertanya-tanya dalam hati.
“Terima
kasih, tapi saya sudah punya pacar...” jawab Karina seraya tersenyum.
“Eh?”
“Tapi
saya bakal pertimbangkan kak Alex supaya kita bisa jadi kakak-ade aja.
Bagaimana?”
“Eeh?”
“Setelah
itu kita tidak pernah tahu kepastiannya di masa depan... kan?”
“EEEEEHH??”
“Ya
sudah. By the way aku sudah gak ada kelas... dan luka kak Alex sudah aku
perban, jadi aku pulang duluan ya...” ujar Karina seraya berlalu. Kak Alex?
What de fag. Alex hanya menyaksikan bagaimana gadis pujaannya itu pergi.
Sigit yang dari tadi memperhatikan, hanya menepuk bahu temannya itu. Di
hadapannya Karin mengangkat kakinya. Menaiki sebuah motor gede, tepatnya ia
dibonceng. Oleh Ricky. Ricky yang salut pada kemenangan Alex pada saat duel
tadi, melambaikan tangannya “Yo Alex! Great fight! Semoga luka-lukanya cepat
sembuh! Kita pergi dulu. Take care!” seru Ricky seraya berlalu dengan
meninggalkan suara bising dan asap knalpot, sementara Alex hanya bisa
melambaikan tangannya dengan senyum tampak dipaksakan menempel di wajahnya.
Sekali lagi Sigit mencoba menenangkan Alex.
“Sudahlah
big bro. Jangan dipikirkan. Perempuan bernama Karina itu benar-benar terlalu.
Rupanya dia pacarnya Ricky... ketua klub motor gede disini. Karina itu... dia
pasti ingin meng-PHP-kan big bro saja... itu pun pasti karena seluruh kampus
ini tahu kalau big bro orang kaya... makanya dia... AAAAAAA!!!!”
“Apa?
Kenapa?”
“Sejak
kapan big bro menjadi mummy?” seru Sigit saat melihat wajah Alex yang ditutupi
perban. Alex termenung sesaat.
“Hey
Sigit...”
“Ya?
Kenapa? Apa sekarang big bro ingin aku mengedit foto Karin dan
mempublikasikannya juga? Itu urusan gampang, big bro tinggal katakan saja ingin
pose dia seperti apa?”
“Tidak!
Bukan itu! Hah. Kau ini... aku serius. Apa kau benar-benar bisa membaca
pikiranku? Maksudku apa semua orang bisa membaca pikiranku sekarang?”
“Maksud
big bro? Aku tidak mengerti...”
“Baiklah.
Aku tahu ini terdengar gila, tapi... dalam satu hari ini... aku... entahlah,
rasanya semua orang jadi bisa membaca apa isi hatiku... kau. Dan juga Jefri...
masih ingat dengan duel tadi? Aku sama sekali tidak menantangnya. Secara
verbal. Aku tidak mengatakan apapun... semua kata-kata itu hanya terbersit di
pikiranku dan secara tiba-tiba orang lain mengetahuinya. Tadi bahkan Karina
bertingkah seolah-olah aku telah menyatakan cinta kepadanya, tapi... ah. Aku
pasti sudah gila... aku tidak mengatakan apapun...!!” mendengar itu Sigit hanya
terdiam.
“Jangan-jangan...
big bro bisa melakukan telepati...” seru Sigit.
“Telepati?”
“Telepati...
you know, seperti menyampaikan pesan melalui pikiran... sekarang aku baru sadar
bahwa big bro tidak bisa mengeluarkan suara perut...”
“A-apa?
Apa maksudmu?”
“Yah,
waktu di kelas tadi... kupikir big bro menyebut namaku menggunakan suara perut,
dan saat mengintip Karina dibalik semak... aku memang tidak melihat mulut big
bro bergerak... aku juga tidak mendengar big bro mengajak Jefri untuk duel atau
bahkan menyatakan cinta...”
“See?
Itu yang ingin kubicarakan dari tadi!”
“Sekarang
bagaimana jika kita melakukan sebuah tes kecil, big bro tuliskan satu angka
dari angka satu sampai sembilan di kertas, lalu sebutkan dalam pikiran big bro
dan aku akan berusaha untuk menebaknya... bagaimana?”
“1
sampai 9... baiklah...”
“Sudah?”
“Sudah...
lets do it”
“Tujuh?”
“Sembilan”
Alex lalu membalikan kertas dan disitu tercantum angka 9. Tebakan Sigit
meleset.
“Lima?”
“Satu”
lagi. Tebakan itu meleset.
“Delapan?”
“Nol”
“Big
bro... ayolah... kubilang angka satu sampai sembilan... tidak ada angka
nol....”
“Oh
ya. Baiklah... maaf. Aku lupa.... kita lakukan lagi?”
“Sudahlah.
Ini omong kosong. Mungkin big bro hanya secara tidak sadar berbicara
menggunakan suara perut... sudahlah”
“Sigit...
ayolah. Kali ini saja ok?”
“Baik.
Kita ubah angkanya menjadi dua digit... itu artinya sekarang big bro harus
memikirkan dan menuliskan angka dari 10 sampai 99”
Dan
begitulah. Akhirnya kedua sahabat itu mencoba melakukan hal itu cukup lama. Tak
ada satupun dari tebakan Sigit yang tepat... hingga akhirnya mereka menyerah...
“Sudahlah.
Kita lakukan lain kali saja... ini benar-benar konyol... kita bolos satu mata
kuliah hanya untuk semua ini...” ujar Sigit.
“Kau
benar. Duel tadi... Karina... haah. Ini benar-benar menghabiskan waktu. Ya
sudah kalau begitu lebih baik kuambil barang-barangku dan kita pulang
sekarang...” jawab Alex. Mereka berdua pun kembali menyusuri lorong kampus,
Alex mengambil payungnya dan membereskan semua barang-barangnya.
“Kalau
begitu... bolehkah aku meminta pin bb big bro? Id Lain, Whaszp dan sebagainya?”
ujar Sigit.
“Aku
tidak menggunakan aplikasi-aplikasi sosial semacam itu... kalau mau aku bisa
memberimu nomor ponselku...” jawab Alex.
“Apa
itu karena big bro tidak memiliki teman? Maksudku... ah, apa big bro tidak
tertarik dengan jejaring pertemanan semacam itu?” mendengar pertanyaan Sigit,
Alex mendadak kikuk.
“Euh...
ti.. tidak juga. Aku punya banyak teman. Mereka semua... orang kaya dan aku...
aku hanya manusia yang ingin berbeda... kau tahu, seperti keluar dari sistem...
aku tidak membutuhkan... ah sudahlah. Apa kau masih menginginkan nomor ponselku
atau tidak?” seru Alex.
“Ah.
Tentu. Tentu nomor ponsel. Back to basic. Harga yang boros ya... dan haah...”
lalu Sigit pun mengambil ponselnya. Namun secara tiba-tiba Sigit tampak
terkejut. “Tunggu... ini tidak benar...” ujar Sigit seraya menatap wajah Alex
dalam-dalam.
“Apa
lagi?” ujar Alex. Sigit hanya terdiam, memperhatikan Alex dan mulai menekan
beberapa tombol di ponselnya dan kemudian menunjukannya pada Alex.
“Apa
arti angka-angka ini buat big bro?”
“Itu...
itu tentu saja nomor ponselku, rupanya kau benar-benar peretas yang hebat...
kau bahkan bisa tahu nomorku tanpa harus memintanya...”
“Aku
menuliskan angka-angka ini dari suara yang muncul di pikiranku...”
“Suara?
Tapi bagaimana bisa?”
“Tampaknya
itu benar... big bro bisa melakukan telepati... aku bahkan melihat sendiri big
bro bicara secara verbal sementara suara big bro yang lain juga terdengar di
pikiranku dalam waktu yang bersamaan!”
“Apa?
Aku... yang benar saja, itu bukan telepati, bagiku itu terasa seperti pemikiran
yang dibocorkan...” Alex kembali termenung. “Aku bahkan tidak merasa bangga
dengan hal ini... sejak kapan aku harus menjaga apa yang pikiranku katakan...
ini tidak bagus. Sama sekali tidak bagus”
“Tapi
big bro, mungkin big bro bisa mengolah kemampuan big bro dan melatihnya... coba
bayangkan jika big bro bisa berkomunikasi dengan banyak orang tanpa harus
menghubunginya melalui ponsel atau bertemu langsung dengannya, bukankah itu
keren?”
“Tidak.
Sejauh ini suara pikiranku tadi hanya bisa sampai pada satu orang terdekat
saja, aku tidak yakin apakah aku bisa melakukan ini dari jarak yang jauh”
“Yah,
aku hanya berpikir bahwa big bro memiliki peluang untuk mengembangkan kemampuan
big bro, karena menurutku semua yang terjadi apapun itu pastilah memiliki
tujuan, begitu juga dengan kemampuan big bro, sang takdir pasti memiliki
rencana tersendiri untuk itu. Mungkin...”
“Yah,
sudahlah, lagipula aku tidak tahu ini bisa bertahan hingga berapa lama,
bagaimanapun ini belum pernah terjadi sebelumnya, mungkin jika aku pulang dan
tidur sekarang besok hal itu akan hilang dengan sendirinya...”
“Aku
tidak berharap seperti itu sih, tapi jika itu yang diinginkan big bro... yah.
Kuharap itu adalah hal yang baik. Ya sudah, sampai jumpa besok”
“Sampai
jumpa” Alex dan Sigit pun berpisah di persimpangan lorong kampus, tanpa banyak
kata Alex segera menuju lahan parkir. Dimana disana sudah menunggu asisten
pribadinya yaitu pak Hardi. Melihat Alex yang muncul dengan kepala terikat
perban yang juga menutupi sebelah matanya, seketika itu juga Hardi langsung
panik...
“Den,
eh bos... sebenarnya apa yang terjadi? Siapa yang berani melakukan ini pada
bos?”
“Ceritanya
agak sedikit rumit Hardi. Kuceritakan nanti di perjalanan...”
Alex
pun kembali memasuki mobil Rolls Royce-nya. Pak Hardi memegang kemudi... sambil
berlalu dengan mobilnya pandangan Alex menjelajah ke langit sore di luar
jendela. Dan kemudian ia pun mulai menceritakan apa yang dialaminya hari ini.
“Eh?
Telepati? Maksud bos secara tiba-tiba bos jadi bisa menyampaikan kata-kata
dalam pikiran bos pada semua orang tanpa mengucapkannya, begitu?” ujar pak
Hardi setelah mendengar keseluruhan cerita Alex.
“Begitulah,
sayangnya semua itu terjadi secara acak, dengan kata lain, aku tidak bisa
mengendalikannya... suara pikiranku terbaca begitu saja oleh beberapa orang,
mungkin tidak semua orang, hanya orang-orang yang saat itu dekat denganku dan
kebetulan tengah kupikirkan... gara-gara itulah aku jadi harus berkelahi sampai
seperti ini... jadi bagaimana menurutmu, apakah ceritaku ini terdengar terlalu
aneh buatmu?”
“Sejujurnya,
itu masih kurang struktur dramatiknya bos, rasanya masih kurang sedikit bumbu rising action dan point of attack-nya bos...”
“Jadi
kau tidak percaya ceritaku ya? Hah, baiklah tak apa-apa. Lagipula darimana kamu
belajar kata-kata itu... sok pintar sekali...”
“Ah...
dulu sebelum saya bekerja pada ayah bos, saya adalah mantan mahasiswa drop out
jurusan sastra... jadinya saya mengerti sedikit mengenai komposisi drama... ah
tapi... jika saya boleh menambahkan, sebenarnya cerita bos tentang pikiran yang
tersampaikan pada seseorang tanpa diucapkan, itu menurut saya adalah hal yang
lumrah... terkadang ada kalanya saat kita merindukan seseorang lalu perasaan
itu tiba-tiba berbalas dengan sebuah kabar darinya bahwa dia juga merindukan
kita... kau mengerti kan bos? Itu seperti firasat atau kontak batin... ada
kalanya ketika kita dekat dengan seseorang, lalu dalam hati kita bersenandung
dan bernyanyi hingga tiba-tiba seseorang yang dekat dengan kita juga ikut
menyanyikan lagu yang sama dengan yang kita pikirkan... itu juga merupakan
bagian dari sebuah harmoni chemistry yang sering terjadi namun hingga kini
masih sulit untuk dijelaskan...”
“Kau
ini bicara apa? Aku tidak pernah mengalami hal-hal semanis itu. Yang terjadi
padaku adalah seseorang yang mendengar isi pikiranku justru mengajakku
berkelahi dan seorang yang lainnya menolak perasaan cintaku begitu saja... jadi
dimana letak kedekatan batin atau chemistry
yang kau bicarakan tadi?”
“Ah,
jadi... tadi bos juga ditolak seorang perempuan?”
“Euh...
maksudku aku tidak... aku tidak sengaja memikirkan itu... aku hanya... ah
sudah. Lupakan!”
“Hm.
Begitu. Kalau begitu apa bos tahu cerita tentang Helen Keller?”
“Tidak,
aku tidak mengenalnya, siapa dia?”
“Helen
Keller adalah nama seorang anak perempuan yang sejak usia 19 bulan didera
penyakit komplikasi meningitis yang membuatnya kehilangan penglihatan dan
pendengarannya, sehingga pada masa kanak-kanaknya ia sulit untuk berkomunikasi
dengan orang lain...”
“Lalu?”
“Dan
seiring berjalannya waktu, Helen tumbuh menjadi anak yang kaku, pemarah dan
sulit dikendalikan... suatu hari ketika gurunya datang ke rumahnya lalu mencoba
mengajarkannya mengeja sebuah kata
melalui tangannya... guru tersebut mengajarkannya sebuah kata yaitu doll...
yang artinya boneka... gurunya membawa sebuah boneka hadiah untuknya, lalu saat
gurunya membimbing Helen untuk menyentuh boneka tersebut Helen hanya bisa
mengamuk... Helen tak pernah mengerti bahwa setiap benda memiliki keunikan dan
namanya sendiri... begitu juga saat gurunya memperkenalkannya pada benda-benda
lain seperti mangkuk dan piring maka Helen pun kemudian memecahkannya... Helen
menjadi begitu frustasi betapa kekurangan yang dimilikinya begitu membatasi
dunianya... betapa ia ingin dimengerti bahwa ia tidak mengerti. Hingga akhirnya
Helen Keller tengah bermain air, ia kemudian mengingat sentuhan lengan lembut
gurunya, lalu secara spontan Helen mengerti bahwa sejuk dan segarnya air yang
ia sentuh merepresentasikan sebuah kata... water... water... Helen mengucapkan
kata itu. Ia mengatakan itu dengan kebahagiaan yang belum pernah ia rasakan
sebelumnya. Tentang keindahan makna... sebuah nama... water... dan begitulah,
sejak saat itu Helen kemudian bersemangat dan terus memaksa gurunya untuk
memberitahunya nama-nama benda lainnya...”
Sejenak
Alex terdiam. Kisah itu mengingatkannya tentang dirinya. Dengan penyakit yang
membuatnya terlihat berbeda, yang membuatnya sering bertanya-tanya... mengapa
harus aku? Dan ketika ia bersikap kasar dan kaku, dalam hatinya ia bertanya
mengapa dunia tidak mau mengerti tentang beban yang ia rasakan. Namun tak ingin
larut menghayati kisah itu, Alex hanya bisa menampik.
“Kisah
yang bagus Hardi, mungkin wawasanmu tentang sastra membuatmu tahu dongeng
motivasi bagi penyandang difabel... sayangnya aku masih tidak mengerti, whats
the point? Apa hubungan kisahmu itu dengan cerita soal telepatiku tadi...?”
“Hubungannya
tentu saja tentang perasaan... sebuah perasaan, kepekaan, atau empati atau apa
saja. Yang terkubur begitu lama dan mengerak di hati... bisa keluar begitu saja
bahkan bagi seorang anak yang buta dan tuli seperti Helen Keller... satu alasan
bagi bayi mengapa ia bisa belajar berbicara bukanlah melalui simbol dan
gerakan... melainkan perasaan. Satu hal lagi bos... kisah Helen Keller bukanlah
dongeng. Itu benar-benar terjadi, Helen Keller lahir di Alabama pada tanggal 27
juni 1880, bersama guru yang kemudian menjadi temannya Anne Sullivan, bersama,
mereka menjadi bagian sejarah dari sebuah keajaiban... Helen bahkan tumbuh
menjadi seorang penulis sampai seorang aktivis politik... bersama gurunya ia
mendirikan yayasan bagi orang-orang yang buta tuli seperti dirinya. Tentu saja
ini kisah yang bagus bos... maksudku... tidak ada yang mustahil mengenai apapun
didunia ini bahkan jika itu adalah telepati sekalipun...”
“Hoho...
jadi kau percaya ceritaku?”
“Tentu
saja... tidak bos. Sayangnya selama saya belum mendapatkan bukti apapun saya
belum bisa menyimpulkan... tapi, apa benar gara-gara ini bos sampai ditolak
oleh seorang perempuan?”
“Jangan
bahas soal penolakan itu lagi. Sudahlah... tapi berbicara soal perempuan... Hardi,
bukankah itu gadis yang menemui kita waktu itu?” mata Alex menerawang ke balik
jendela.
“Siapa
bos?”
“Hentikan
dulu mobilnya! Kau ini. Lihatlah, kalau tidak salah, itu gadis buta yang dulu
mengingatkan kita soal kecelakaan dan merusak ban mobilku kan? Sedang apa dia
disini?”
Mobil
pun berhenti. Dari luar tampak seorang gadis berambut pendek dengan kacamata
dan tongkat di tangan. Seorang gadis buta. Dan dihadapannya berdiri beberapa
orang pria.
“Hey...
cantik, tidak baik berjalan sendirian seperti ini... sini kubawakan semua
barang bawaanmu...” ujar salah seorang pria. Dari penampilannya, mereka tidak
tampak seperti pria baik-baik. Namun, meski gadis itu tidak bisa melihat
tampaknya ia sudah bisa merasakan itu.
“Mau
apa kalian?” sang gadis buta tampak gusar, ia berjalan mundur. “Menyingkirlah
atau seseorang akan menyingkirkan kalian...”
“Wowowo.
Hey, kawan-kawan... lihat, apa yang kita dapat hari ini, kita beruntung...
rupanya si cantik ini tidak bisa melihat... hahaha... ayo cantik, ikutlah
dengan kami, ini pasti akan menyenangkan...”
Gadis
buta itu kemudian mengayunkan tongkatnya. Hendak memukul kepala pria tadi.
Namun sayang, tongkat itu bisa ditahan dengan sebelah lengan. Gadis itu
berusaha menarik kembali tongkatnya, namun pria itu tak mau melepaskannya. Pria
itu tampak marah dan kawan-kawannya segera mengepung gadis itu.
“Hey...
tidak boleh nakal pada kencan pertama... kau tahu itu?” ujar pria tadi dengan
tatapan sinis. Ia melemparkan tongkat milik gadis itu dan bersama kawanannya ia
menyeret gadis itu ke sebuah gang sepi di samping jalan.
“Lepaskan!
Kalian... apa yang ingin kalian lakukan?” ujar gadis itu lagi.
“Diamlah...
ini akan menjadi pelajaran sekaligus kenangan indah buatmu. Jadi jangan
berisik! Pegangi dia!” kemudian teman-teman dari pria tadi menahan lengan sang
gadis, sementara pria itu mulai membuka gesper ikat pinggangnya dan...
“Yo...
yo... yo... bukan seperti itu cara memperlakukan seorang wanita...” tiba-tiba
Alex muncul dan mengejutkan kawanan itu.
“Sial!
Siapa pula yang berani menggangguku? Kawan-kawan! Ayo hajar dia!” dan kawanan
itu pun melepaskan gadis buta tadi. Mereka berlari hendak menyerang Alex, namun
tiba-tiba Hardi muncul dan layaknya seorang Steven Seagal, Hardi berhasil
mematahkan semua serangan itu. Alex hanya tersenyum seraya masih menyimpan
lengannya dalam saku celana.
“Bos...
dengan keadaan bos yang seperti itu lebih baik biar aku saja yang menghadapi
mereka” ujar Hardi. “Hah. Apa kau baru saja meremehkanku Hardi? Yah, baiklah
aku memang terluka saat ini tapi sejujurnya aku masih bisa menghadapi
kecoak-kecoak ini jika aku mau. Meski begitu aku ingin memberimu kesempatan...
jadi, mengamuklah sesukamu... Hardi” jawab Alex.
“Baiklah”
Hardi kemudian melepas jasnya dan menyingsingkan lengan kemejanya. Ia
longgarkan dasi yang mengikat lehernya dan mulai memasang kuda-kuda.
“Apa
kalian pernah dengar tentang pegulat WWF smack down bernama Jeff Hardy? Well,
aku memang bukan dirinya... tapi...” ujar Hardi terhenti. Sementara para pria
tadi mulai bangkit, mengeluarkan pisau lipat dan kembali menyerang... satu
orang diantara mereka melayangkan tinjunya lebih dulu dan...
“Aku
tidak dikenal sebagai Jeff Hardy...” ujar Hardi seraya mengelak dari pukulan
tadi. “Aku... dikenal dengan julukan... Jab Hardi!” satu buah jab. Satu buah
pukulan jab dan langsung mengantarkan pria pertama K.O. Tubuhnya terhempas
diantara kawanan tersebut namun itu tak membuat mereka berhenti dan terus
menyerang dan tinju Hardi yang tak bisa ditepis, membuat mereka lari tunggang
langgang. Namun seorang pria yang dari tadi terdiam masih berdiri disana.
“Jangan pergi kalian! Dasar pengecut! Hey!” ujar pria itu seraya menutup
kembali resleting celananya dan kembali mengikatkan ikat pinggang.
“Apa
kau pemimpin mereka?” ujar Alex. “Jika aku jadi kau, aku pun akan memilih lari
seperti mereka sekarang...”
“Jangan
bercanda! Jangan samakan aku dengan para anak buahku! Dasar bajingan kalian...”
ujar pria itu seraya berlari maju. Alex hanya mengorek-ngorek telinganya dengan
jari kelingkingnya. “Yah terserahlah... dipanggil bajingan oleh bajingan
sepertimu... hmh... next punch will be...”
“Uppercut
Hardi!” kali ini pukulan uppercut. Hardi melompat seraya mendaratkan uppercut
di dagu pria itu dan mengantarnya melihat angkasa sebelum tubuhnya terhempas ke
tanah. Hardi kembali mengambil jas hitamnya, menggantungkannya di pundak.
Sementara Alex berjalan menghampiri gadis buta tadi.
“Inilah
mengapa aku tidak suka pertarungan tangan kosong. Membuat semuanya terlihat
berantakan. Sayang aku tidak membawa pedang kayuku... haah... hey, ini
tongkatmu. Aku menemukannya di jalan...” ujar Alex seraya memberikan tongkat
pada gadis itu. Gadis itu hanya mengambil kembali tongkat itu dan berlalu
begitu saja tanpa sepatah kata apapun.
“Hey
sama-sama! Kau bahkan tidak bertanya siapa nama penolongmu dan berkata terima
kasih! Jika aku ingat siapa namamu waktu itu mungkin kau sudah kulaporkan pada
polisi saat pertama kali kita bertemu” ujar Alex menggerutu. Gadis itu pun
menghentikan langkahnya dan menoleh.
“Aku
tahu siapa kalian dan aku sudah memperkenalkan namaku padamu sebelumnya, dan
namaku adalah Mia jika kamu lupa. Aku sudah tahu kamu akan datang dan
menolongku. Meski begitu aku tidak menyukai kekerasan. Tapi... terima kasih”
ujar gadis itu seraya terus berlalu.
“Jadi
Mia ya... ah, Hey! Bukankah kau itu buta, bagaimana kamu bisa tahu kalau aku
adalah... hey! Hey! Ah... dia pergi...”
“Gadis
yang cukup unik, bukan begitu bos?” ujar Hardi.
“Apa-apaan
gadis itu... berlagak seperti seorang peramal, dulu dia dan kakaknya berkata
bahwa kita akan mengalami kecelakaan dan seenaknya menggembosi ban mobilku,
sekarang dia bertingkah seolah dia tahu bahwa kita akan datang
menyelamatkannya... dia bahkan tidak mengatakan maaf atas apa yang dia lakukan
waktu itu... menyesal aku menolongnya.”
“Euh...
dia lumayan cantik, apa itu tidak mungkin jika bos menyukainya?”
“Siapa?
Aku? Menyukainya? Hah! Mana mungkin, kau pasti bercanda...” seru Alex, Hardi
hanya mengangkat alisnya dan menatap Alex seraya tersenyum “Ok ok. Kuakui dia
sedikit cantik. Se-di-kit. Dan mungkin aku memang menyukai aroma parfumnya...
terasa segar dan maskulin. Maksudku aku menyukainya karena itu seperti aroma
parfum pria dan bukan berarti aku menyukai dia memakainya, dan gaya dia
berpakaian, kau tahu? Dia tampak cukup elegan...” sekali lagi Hardi menatap
Alex seraya tersenyum “Maksudku dia tidak feminin! Ayolah, dia bukan tipeku,
ok?” seru Alex lagi. “Ya ya ya, bos tidak perlu meyakinkanku, aku sudah bisa
melihatnya...” jawab Hardi seraya tersenyum. “Dan sejujurnya aku meragukan jika
gadis itu benar-benar buta, mungkin dia hanya berpura-pura untuk menarik
simpati orang-orang, padahal... kebutaannya itulah yang seharusnya membuatnya
tampak sempurna...” tak sengaja Alex mengucapkan kalimat tersebut. “Bagaimana
bos?” ujar Hardi. “Sudahlah lupakan!”
Alex
dan Hardi pun kembali memasuki mobil. “Jika gadis itu tidak datang dan
menggembosi ban mobil kita waktu itu, kita mungkin tidak akan datang terlambat
untuk datang pada pertemuan para pemegang saham BUMN dan sekarang PT Fabian
Jaya berhasil mengakuisisi perusahaan migas dalam negeri. Yah mungkin ini
salahku karena terlalu mendiskreditkan diriku sebagai orang keturunan”
“Mengenai
hal itu bos, sebenarnya...”
“Apa?”
“Apa
bos masih ingat dengan headline surat kabar yang bos baca tadi pagi?”
“Ya,
aku masih ingat... tentang seseorang yang hidup kembali setelah dicium wanita
cantik meski telah dinyatakan tewas sebelumnya... kalau tidak salah... itu
adalah kejadian tabrak lari kan?”
“Coba
tebak bos. Orang itu rupanya benar-benar ada bos... tadi siang polisi berhasil
mengidentifikasi sang korban yang masih hidup dan juga pelakunya. Yang
mengejutkan bagi saya adalah rupanya pelaku tabrak lari tersebut adalah seseorang
yang kita kenal bos...”
“Apa?
Apa maksudmu bahwa aku juga mengenalnya?”
“Yah,
mungkin bos memang tidak mengenalnya secara personal, tapi orang ini adalah
saingan kita dalam perebutan akuisisi waktu itu. Dia tidak lain adalah Erik
Fabian... anak dari Rizal Fabian... itulah mengapa dia tidak hadir pada saat
rapat waktu itu. Sayangnya kakaknya Ryo Fabian muncul dan mengambil alih
kepemimpinan delegasi perusahaan pada saat rapat pemegang saham...”
“Lalu
bagaimana kabar pria ajaib yang menjadi korban?”
“Wajahnya
muncul tadi siang. Nama pria itu adalah Raya. Dia membuat pernyataan bahwa dia
baik-baik saja dan dia juga tidak akan menuntut ganti rugi apapun pada sang
pengendara mobil Lamborghini, Erik Fabian. Meski begitu Rizal Fabian mengatakan
bahwa dirinya akan bertanggung jawab penuh atas kejadian yang melibatkan
anaknya, Rizal mengatakan bahwa ia akan memberi Raya asuransi jiwa dan juga
beasiswa. Yah, mungkin itu untuk menyelamatkan nama baiknya, karena setelah
kejadian tersebut PT. Fabian Jaya mendapat sorotan negatif dari publik. Dan
mengenai gadis yang mencium pemuda tersebut, sayangnya pemuda itu tidak bisa
memberikan konfirmasi apapun. Dia hanya berkata bahwa ia sama sekali tidak
mengenal gadis itu dan ia hanya tiba-tiba tersadar begitu saja di suatu tempat.
Seperti terhipnotis... apa bos percaya?”
“Namanya
Raya ya? Entah kenapa nama itu terasa tidak asing di telingaku... seperti nama
perempuan... aku memang mengenal Erik secara personal, jika kau ingin tahu
tapi... tunggu, kau tadi bilang bahwa Erik Fabian tidak dapat hadir dalam rapat
pemegang saham karena terlibat kecelakaan tersebut... benarkah itu?”
“Itu
benar bos...”
“Tunggu...
bukankah itu adalah hari dimana kita juga menerima peringatan untuk sebuah
kecelakaan yang sama yang tidak kita alami berkat gadis buta tadi... euh, siapa
namanya... Mia? Apakah itu sebuah kebetulan saja atau...”
“Entahlah
bos... saya sendiri baru menyadari hal itu dari bos... benar juga, memang itu
agak aneh... ditambah lagi waktu kejadian jika saya harus tambahkan memang tepat
seperti prediksi gadis itu... kecelakaan itu terjadi tepat pukul 13.00, hanya
selang beberapa lama saat mobil kita digembosi, apa menurut bos hal itu
benar-benar mungkin bahwa jika kita pergi, kitalah yang akan menjadi korban?”
“Tidak.
Tidak begitu. Lamborghini Gallardo mungkin bisa menabrak sepeda dengan brutal,
tapi jika harus bertabrakan dengan Audi R8 milikku mungkin korbannya bisa jatuh
pada kedua belah pihak... yang membuat keraguanku sedikit mengambang adalah...
bagaimana jika kemampuan melihat masa depan atau sebuah ciuman yang bisa
menyembuhkan itu benar-benar ada? Maksudku aku baru saja mengalami banyak hal
aneh dengan suara pikiranku yang tak bisa kukendalikan... entah itu telepati
atau apapun... apakah hal itu benar-benar bisa terjadi?”
“Saya
tidak bisa bicara banyak tanpa bukti bos... karena itu saya hanya bisa bilang
bahwa ini hanya kebetulan saja, disamping itu bos pasti setuju jika hal itu
benar-benar membingungkan bukan?”
“Kau
benar, baiklah, kita anggap saja bahwa hal itu tidak mungkin terjadi”
“Oh
ya, bos bilang bos mengenal Erik Fabian secara personal?”
“Ya.
Hanya kebetulan. Kita pernah satu sekolah, saat itu aku mendapatkan beasiswa
untuk memasuki SMA negeri favorit dan suatu hari aku pernah menolongnya dari
gangguan anak-anak nakal... hanya itu...”
Rolls
Royce hitam itu pun memasuki kediaman Alex. Para pelayan dan asisten rumah
tangga secara serta merta menyambut kedatangannya. Hardi membuka pintu mobil
mempersilakan Alex. Sementara para pelayan pun panik melihat tuan mudanya
muncul dengan wajah babak-belur...
“Ya
ya. Santai saja, jangan berlebihan... aku baik-baik saja, masih hidup dan
sehat”
Malam
mulai menyelimuti kota. Alex yang hanya terduduk di meja perpustakaan, berusaha
untuk menghilangkan kebosanan. Ia mulai membuka berkas-berkas pekerjaannya.
Berbagai cetakan blueprint dan desain otomotif ada disana. Sementara Hardi
muncul berusaha mencairkan kebekuan.
“Bagaimana
kuliah bos hari ini? Apa itu menyenangkan?”
“Entahlah
Hardi... aku tidak begitu yakin, apakah ekonomi manajemen adalah jurusan yang
tepat untukku, karena bagaimanapun aku hanya menjalani ini agar tidak terlalu
banyak terlibat dengan bisnis ayahku... kenyataannya ini justru membuatku
semakin mempelajarinya” jawab Alex seraya melemparkan berkas-berkas tadi dan
mulai mengusap keringat di dahinya.
“Maksud
saya bos, apakah bos menemukan teman yang menyenangkan disana?” tanya Hardi
lagi.
“Teman
ya... entahlah, selama ini orang-orang melihatku dengan kaku namun ya... mungkin
ada satu orang... dia aneh jika harus aku tambahkan dan dia...” sejenak Alex
memikirkan Sigit dan kata-katanya terhenti di bibirnya.
“Bukankah
itu menyenangkan bos? Maksudku... memiliki teman... itu menyenangkan bukan?
Apakah dia seorang wanita?”
“Hardi...
ayolah, namanya Sigit... tentu saja dia laki-laki... dan para wanita hanya
menilai merk mobilku saja... atau tepatnya mobil pemberian ayahku...”
“Oh
maaf bos... saya lupa kalau bos tadi ditolak oleh seorang gadis... euh maksud
saya...” belum sempat Hardi meneruskan kalimatnya, sebuah dering telpon
berbunyi. “Sepertinya suara itu berasal dari handphone milik bos... akan saya
ambilkan...” ujar Hardi lagi. Tak lama ia pun muncul dan menyerahkan Handphone
itu pada Alex.
“Ini
dari Sigit. Orang yang kita bicarakan ternyata menghubungiku... hah... ada
perlu apa dia malam-malam seperti ini?”
Alex
pun mengangkat panggilan tersebut.
“Big
Bro!!”
“Ah.
Sigit. Ada perlu apa?”
“Apa big bro baru saja memikirkan diriku?”
“Apa maksudmu? Untuk... untuk apa aku harus
memikirkanmu... aku sedang sibuk saat ini dan lagi ini sudah malam, kau hubungi
aku nanti saja...”
“Tunggu
big bro, jangan ditutup! Aku mendengarnya...”
“Apa?
Kau ini bicara apa?”
“Aku
bilang aku mendengarnya! Aku mendengar suara big bro... big bro berkata bahwa
aku adalah orang aneh dan sayangnya aku adalah teman big bro satu-satunya di
kampus... aku mendengar bisikan itu di kepalaku...”
“Ka-Kau...
bagaimana... euh... apa kau memasang sejenis penyadap di tubuhku atau apa?”
“Apa?
Penyadap apa? Saat ini aku sedang berada di kamar kos-ku... lagipula hingga
saat ini belum ada teknologi apapun yang bisa menyadap isi pikiran orang... big
bro ini... haaah sudahlah... mungkin big bro berhasil meningkatkan kemampuan
big bro dan suara big bro akhirnya bisa menempuh jarak yang jauh... dan terima
kasih karena telah menganggapku aneh...”
“Ok
ok. So... apa kau bisa datang kesini? Ke rumahku? Sekarang?”
“Huwat?”
“Aku
akan mengsmskan alamatnya padamu... datanglah secepatnya”
“Hey...
hey, tunggu dulu, aku...”
Alex
menutup panggilan itu. Pikirannya mulai bertanya-tanya lagi. sesuatu yang tidak
masuk akal, tidak begitu berarti namun cukup mengusik. Melihat itu, Hardi pun
ikut bertanya-tanya.
“Ada
apa bos?”
“Temanku...
Sigit. Dia tadi menghubungiku”
“Ya
tentu. Maksudku, apa? Apa yang membuat bos gelisah seperti sekarang ini?”
“Dia
mendengar semuanya...”
“Mendengar?”
“Saat
aku menceritakan tentang dirinya padamu, sesaat aku berpikir tentang dirinya,
tentang kekonyolannya, kebodohannya dan semua hal buruk tentangnya... dan well,
tadi dia berkata bahwa dia telah mendengar semua pemikiranku itu...”
“Apa
menurut bos teman bos itu memiliki kekuatan supranatural? Rasanya itu tidak
mungkin...”
“Well
yeah. Ini tidak hanya terjadi pada orang itu saja... aku sudah menceritakan
semuanya padamu... karena kau tidak percaya, aku mengundangnya untuk datang
kemari...”
“Yah.
Sejauh ini saya belum mendapatkan suara-suara aneh di kepala saya... tapi
mungkin saya bisa menunggu, jika itu benar... mengenai Sigit, teman bos...
tentu teman bos adalah orang yang layak untuk diundang kemari tapi... apakah
orang ini... Sigit, apa dia orang yang baik? Mengingat bos berkata bahwa yang
tadi bos pikirkan tentangnya hanya hal buruknya saja so...”
“Dia
tidak seburuk itu Hardi... dia hanya seorang yatim piatu yang hidup dengan
beasiswa atau membobol kartu kredit dengan meretas komputer atau semacamnya...”
“Meretas
kartu kredit... baiklah, itu terdengar seperti perbuatan orang baik...”
“He’s
not that bad. Trust me.”
“Kalau
begitu saya akan memastikannya saat ia datang kemari nanti”
Beberapa
lama kemudian, suara bel dari kediaman Alex terdengar. Alex dan Hardi hanya
melihat melalui monitor CCTV dan dari situ terlihat Sigit berada di luar pagar.
Alex lalu menekan tombol dan...
“Para
penjaga keamanan sedang menuju kesana untuk membukakan pintu pagar itu untukmu,
tunggulah sebentar, Sigit” ujar Alex.
Dari
monitor itu terlihat Sigit tampak celingak-celinguk mengalihkan pandangan ke
berbagai arah, hingga akhirnya ia melambaikan tangannya ke kamera. Alex hanya
tersenyum dan menoleh ke arah Hardi. “Itu dia temanku yang tadi kuceritakan”
gumam Alex. Hardi hanya menjawab dengan mengangkat alis dan mengangguk.
“Wow...
apa big bro benar-benar tinggal di rumah sebesar ini? Beneran?” seru Sigit
setelah ia mulai memasuki rumah itu.
“Yah
begitulah. Aku senang kamu datang... masuklah euh, taruh sepatunya di dalam
saja. Oh ya perkenalkan ini pak Hardi... asisten pribadiku, tepatnya dia adalah...”
“Selamat
datang... tuan Sigit, saya senang bos saya bisa memiliki seorang teman seperti
anda” ujar Hardi seraya tersenyum.
“Euh...
tuan? Baiklah...” jawab Sigit sedikit kebingungan.
“Hardi,
kau ini... tidak perlu seformal itu... oh ya Hardi, bisakah kamu suruh beberapa
pelayan untuk menyiapkan makanan dan minuman dingin untuk temanku ini?” seru
Alex “Segera akan saya siapkan bos...” ujar Hardi.
“Euh
big bro... tidak perlu repot-repot... lagipula aku tidak begitu lapar... santai
saja... jadi... waw. Aku tahu bahwa big bro adalah orang kaya, tapi ini... ini
luar biasa...” ujar Sigit dengan tatapan berbinar. “Rumah ini...
taman-tamannya, big bro bahkan memiliki seorang asisten pribadi yang gagah
seperti pak Hardi ini...”
“Sebagai
catatan, mas Sigit, ah, bolehkah saya memanggil anda mas Sigit saja? Sebagai
catatan... asisten pribadi berbeda dengan butler atau kepala pelayan dan
semacamnya. Saya dikondisikan untuk memenuhi segala keperluan bos Alex, saya
bisa menjadi pelayan, juru masaknya, teman, penasihat atau bahkan bodyguardnya
jika perlu. Karena itu jika ada sesuatu yang mengganggu kenyamanan bosku, maka
saya akan segera menyingkirkannya, anda paham maksudku bukan mas Sigit...?”
ujar Hardi lagi seraya tersenyum dingin menatap Sigit. Alex yang mengerti
intimidasi yang diluncurkan Hardi berusaha untuk mencairkan kecanggungan...
“Dan
tampaknya kau harus meninggalkan kami berdua Hardi, saat ini aku dan Sigit
punya sedikit urusan dan kami harus...”
“Kruuuuukkk”
tiba-tiba sebuah suara memotong kalimat Alex. Alex dan Hardi sontak menatap
Sigit, karena suara itu berasal dari perutnya. “Baiklah... aku memang belum
makan... hehehe”
“Ah
saya mengerti bos. Saya juga akan segera menyiapkan makanan dan minuman untuk
teman bos... saya permisi...” ujar Hardi seraya meninggalkan Alex dan Sigit.
“Well,
itulah Hardi... tolong maafkan kata-katanya, dia hanya sedikit over protektif”
“Yah,
santai saja... oh ya, mengenai telepati, big bro... kupikir, kita harus mencoba
metode yang berbeda dari sebelumnya...”
“Metode?”
“Yah...
ingat saat aku menyuruh big bro memikirkan angka-angka dan tebakanku selalu
meleset? Namun tak berapa lama suara pikiran big bro terdengar lagi saat
memberiku nomor ponsel? Ingat?”
“Ya.
Memangnya ada apa dengan hal itu?”
“Saat
itu mungkin big bro hanya fokus pada angka atau isi pesan yang ingin big bro
sampaikan, namun setelah mempertimbangkan beberapa kejadian, tampaknya bukanlah
isi pesannya yang membuat suara pikiran big bro terdengar, melainkan objek
penerima dari pesan tersebut... singkat kata, jika aku menyuruh big bro
memikirkan angka-angka, maka bukan angka yang harus big bro pikirkan melainkan
aku sebagai objek penerima telepati... itulah mengapa tebakan-tebakanku selalu
meleset karena big bro selalu gagal fokus...”
“Jadi
itu alasan bagaimana suara pikiranku bisa terdengar? Hanya dengan memikirkan
orangnya dan bukan pesannya?”
“Tepat.
Dengan kata lain big bro harus membuat pikiran big bro terkoneksi dengan
pikiran seseorang atau penerima telepati, dengan begitu big bro bisa menyampaikan
pesan apapun padanya tanpa mempedulikan verbal ataupun jarak... so... bisa kita
mulai mencobanya sekarang?”
“Mencoba?
Mencoba apa?”
“Sekarang
bawa aku ke sebuah ruangan yang tertutup dan biarkan big bro mengambil jarak
dari ruang tersebut... setelah itu big bro fokuskan pikiran big bro padaku,
dengan kata lain big bro harus mengisi pikiran big bro dengan wajahku atau
apapun tentangku setelah itu barulah big bro boleh menyuarakan apapun yang
ingin big bro ucapkan dalam hati big bro”
“Apa
kau yakin itu akan berhasil? Baiklah... aku akan mencobanya”
Kemudian
Alex pun membawa Sigit ke ruang perpustakaan... dimana disana Sigit
ditinggalkan sendirian. “Ingat! Big bro harus memikirkan aku! Hanya itu
satu-satunya kemungkinan agar ini berhasil!” teriak sigit dari dalam ruangan.
Alex pun melangkah ke ruang tengah. Ia berdiri seraya menghirup nafas perlahan,
menutup matanya dan mulai berpikir tentang Sigit... membayangkan wajahnya,
membayangkan temannya seolah ia dekat dengannya. Sementara Hardi yang kebetulan
lewat seraya membawa nampan dengan beberapa sajian makanan mulai memperhatikan
kelakuan tuannya.
“Bos...
apa bos baik-baik saja?” ujar Hardi.
Alex
pun perlahan membuka matanya. Kemudian dengan tenang ia pun tersenyum.
“Tentu
saja aku baik-baik saja, tak ada yang perlu dikhawatirkan...” ujar Alex.
Namun
tiba-tiba Sigit keluar dari perpustakaan dengan wajah merah menahan amarah.
“Big
bro keterlaluan! Bagaimana mungkin big bro bisa tega mengataiku sebagai anak
yatim yang badung pengundang masalah dan pembawa sial? Bagaimana mungkin big
bro bisa...” namun Alex hanya tertawa terpingkal-pingkal saat Sigit meluapkan
kekesalannya itu. Sementara Hardi yang benar-benar tidak mengerti hanya
mengernyitkan dahi keheranan...
“Apa
semuanya baik-baik saja? Apa ada diantara kalian yang bisa menjelaskan apa yang
terjadi?” tanya Hardi
“Hahahaha.
Yah... semuanya baik-baik saja Hardi... anak ini... ah temanku ini, Sigit...
dia berhasil mengajariku bagaimana menggunakan telepati... hahaha... itu
benar-benar terjadi Hardi... aku tidak gila... aku bisa menghubungimu tanpa
perlu menggunakan ponsel... hahahah”
“Ah
cukup dengan cerita telepatinya bos. Saya kemari hanya untuk membawakan makanan
dan minuman ini untuk teman bos... kalau begitu saya permisi dulu. Selamat
menikmati mas Sigit...” ujar Hardi lagi, sementara itu Alex tak bisa
menghentikan tawanya.
“Big
bro! Hentikan tawa congkak big bro itu! Awas ya nanti kuedit foto big bro!”
seru Sigit.
Dan
begitulah, rumah kediaman Alex yang biasanya begitu sepi kali ini terasa begitu
riuh, para pelayan dan para staf keamanan disana hanya tersenyum, mengetahui
bahwa tuan yang selama ini dikenal oleh mereka sebagai pria yang kaku dan
dingin bisa tertawa dengan begitu puas. Ini adalah pertama kalinya di rumah itu
Alex bisa tertawa selepas itu. Sayangnya, sesuatu yang mereka tidak ketahui
menunggu mereka jauh diluar rumah. Sebuah mobil van hitam dengan kaca gelap
berisikan pria-pria berparas eropa, bersetelan jas lengkap, tengah menyadap
semua pembicaraan dari dalam mobil.
“So
what do we do now?”
“Just
wait. Kita tunggu sampai besok, sejauh ini anak itu masih meraba-raba tentang
kemampuannya dan siapa sangka bahwa teman dari anak ini rupanya adalah incaran
teman kita di FBI... beberapa kali membobol sistem keamanan dan mengintip
rahasia negara, bertemu dengan kita akan memberinya sedikit mimpi buruk...
bagaimanapun, sistem kartu tanda pengenal elektronik di negeri ini sangat
menguntungkan, terlebih lagi negeri ini belum memiliki satelit sendiri, tidak
terlindung dan bebas akses, mereka membocorkan semuanya di hadapan kita, tentu
menjual satelit adalah tindakan terbodoh yang pernah kudengar dan marah karena
negerinya disadap adalah lebih bodoh lagi, karena meski mungkin dia bisa menipu
para agen dan juga NSA tapi tak akan ada yang bisa disembunyikan dari The Eye,
so... bocah bernama Sigit ini... he’s the scapegoat, anonymous itu tak lagi
menjadi anonymous sekarang... wrong time, wrong place, sekali tepuk dua lalat
terjatuh...”
“Is
that means we have to kill them both?”
“Secara
teknis kita hanya perlu membunuh salah satunya... tapi yah... apa bedanya?
Hahahaha”
“Benar
juga... begitu orang itu kita dapatkan, maka itu sama saja dengan kehidupannya
telah selesai sampai disitu... itu sama saja dengan mati”
“Hahahahaha
who knows? Maybe dat will be better... or... ok, its worse”
“God
save the queen! But we are not in britain right now...”
“God
bless Zion!”
“God
bless Zion!”
Mahasystem
Chapter Six
“The Sound Of
Sword”
End.