Mahasystem
Chapter 1 : Dreams
Mata
itu masih melihatku, mengejarku seperti binatang liar, dibiarkannya rambutnya
terurai tak teratur… rambutnya yang panjang begitu hitam sehitam malam… aku tak berdaya, aku lelah terus berlari
seperti ini, di sebuah lorong kering bercahaya remang ini… kulihat dia mulai
mendekat, sesekali sambil tertawa cekikikan… wanita itu berjalan seperti
melayang… yang ia kenakan hanya longdress berwarna putih yang sekilas tampak
seperti asap… dan aku tak mampu melihat ujung kakinya…!!! Diakah… diakah sosok
yang mereka bilang kuntilanak? Matanya membeku tajam menatapku… aku tahu bahwa
saat ini aku berada dalam mimpi, dan entah bagaimana aku tidak bisa bangun
begitu saja… wanita itu masih tertawa… dengan nada yang sangat tinggi dan terus
mendekat… ia hendak menyentuhku dengan lengan pucatnya… sambil berjalan pelan
ke arahku ia memanggil-manggil namaku, kali ini suara tangis… ia menangis… ia
menangis seraya terus mendekatiku, sedangkan aku masih tidak bergerak, tangisan
ini adalah tangisan paling menakutkan yang pernah kudengar… tapi aku hanya bisa
tersenyum… tidak, aku tidak ingin terbangun sekarang… ini mimpi yang sangat
indah…
Ini
adalah mimpiku. Pikiranku yang menciptakannya… dan aku adalah raja dalam
mimpiku sendiri. Perlahan kudekati sosok hantu itu, rambutnya cukup bagus…
mungkin dia pernah menjadi model untuk iklan sampho, rambut itu begitu panjang
sampai ke pangkal punggungnya, kujambak rambut itu sekerasnya. Dia menjerit.
Aku tak perduli, dia menatapku seakan tengah menahan sakit. Kutarik rambut itu
seraya menyeretnya bersama tubuhnya… yah memang dari tadi aku lelah
membiarkannya terus mengejarku, karena meskipun aku tengah berada dalam mimpi
aku masih bisa merasakan rasa sakit, panas, dingin dan juga rasa lelah… semua
itu adalah manipulasi otak… terkadang berpengaruh langsung pada tubuhku. Jadi
kubiarkan makhluk ini merasakannya juga… ah, apa dia juga punya rasa? Dia
hanyalah tokoh imajinasi yang kuhidupkan dalam mimpi, jadi biarkan aku
memainkan imajinasiku sekarang… kulihat wajah itu… seorang wanita. Cantik.
Tengah menangis. Dia tengah terjerembab sekarang. Kutahan tubuhnya dengan kedua
pahaku agar ia tak mampu lari dariku. Dia menjerit. Mengaduh. Aku tak perduli.
Tiba-tiba kurasakan lidahku menjadi begitu panjang seperti kadal, kugunakan itu
untuk menjilati wajahnya… dia meronta, akhirnya aku bisa merasakan kalau dia
punya kaki… lalu kupikirkan sesuatu untuk melucuti pakaiannya. Tidak, pakaian?
Apakah kain putih ini benar-benar pakaian? Kulihat benda ini tidak memiliki
potongan bahkan terkesan sedikit melebar… seperti seprai, atau
tirai putih begitu saja. Lalu kupikirkan bagaimana jika saja kurobek semua kain
putih ini agar aku bisa melihat pakaian dalamnya? Atau kubuat saja dia memakai
bikini dibalik kain putih itu? Sudah kubilang ini mimpiku, dan aku adalah raja
dalam mimpi ini. Tapi tidak, kupikir itu akan merusak kepuasanku melakukannya
pada makhluk ini. Apa yang kupikirkan tadi akan membuatnya tampak seperti
wanita manusia… jadi begini saja, lebih baik dia tidak memakai apapun dibalik
kain putih ini… jadi aku bisa lebih puas melihat pakaian itu tercabik-cabik
dari tubuhnya. Hahahaha… lihat, bukankah dengan begini dia lebih terlihat
seksi? Dia menangis. Kulihat wajahnya tampak putus asa. Kujilat leher dan belakang
telinganya dengan lidah kadal tadi. Dia terus menjerit, meronta, terkadang
memukul… tapi pukulannya terlalu lemah… kutahan saja kedua tangannya,
memaksanya untuk terdiam, tapi dia justru menggigit bahuku, dan karena sakit
terpaksa kulepas kedua tangan itu… dan kali ini dia mencakar punggungku dengan
kuku-kukunya… dia menatapku dengan ganas, seolah hendak menyerang balik,
dihimpitnya pinggangku dengan kedua pahanya. Sial. Ini tidak bagus, ya,
meskipun kubilang bahwa aku bisa mengendalikannya, dalam mimpi semacam ini aku
tidak bisa mengendalikannya secara total… ada hal-hal dalam mimpi yang berada
diluar kuasaku… seolah mereka memiliki intelejensia tersendiri. Dan jika aku
memaksa kesadaranku untuk bangkit seratus persen, aku akan terbangun… jadi
dalam keadaanku yang seperti ini aku hanya bisa larut dalam ketakutanku
sendiri… dan kusadari bahwa naluri bawah sadarku mulai melemah… aku hanya bisa
menjerit dan berteriak…
“Sakiiittt!!!”
Hantu
itu tidak mengacuhkan teriakanku, malah kali ini dia tersenyum seraya terus
menyebutkan namaku…
“Raya…!!
Raya!!”
“Sakiiitt…!!!”
“Kikikikiki…!!”
“Jangan… jangan… jangan gigit…!!”
Kali
ini dia tersenyum nakal. Aku tak tahu lagi harus berbuat apa, sekarang aku
benar-benar berharap bisa terbangun, tapi ini menjadi lebih sulit sekarang…
ketakutanku telah mengambil alih begitu banyak kesadaranku. Makhluk cantik itu
menyeringai… bagus, kali ini sepasang taring kecil mulai tumbuh dari mulutnya…
“Lepasin
gue… jangan!!”
“Hihihihi…”
“Setan!!
Nape lu jadi kuat sekarang?”
“Ahheeeem…anata wa... urusai...nee”
“Gue
bilang jangan gigit!!! Jangan gigit… APALAGI YANG ITU!!!!”
“KRAUUKK!!!”
“AAAAAAARRRRRGGGGHHH!!!”
HAAAA!!!.
Akhirnya… mataku terbelalak dan aku terbangun… sial, rasanya aku tidak puas
dengan hasil mimpi tadi. Kuntilanak tadi berhasil menjamahku
dan juga menggigit itu. Aku tidak terima, belum satu menit aku terbangun,
kupikir masih ada kesempatan untuk membalas hantu yang sadomasochist itu.
Kupejamkan mataku lagi dan kubiarkan sisa-sisa emosi tadi melekat dalam
pikiranku, dan… ZAP! Benar saja aku kembali ke lorong panjang dengan cahaya lampu
remang-remang tadi, dan dia masih disana… dengan pakaian putih panjang yang
robek disana-sini… kali ini aku akan sedikit serius… sebelumnya kuhilangkan
dulu taring dari mulutnya dengan pikiranku dan… ZAP! Taring pun menghilang…
hantu itu… ah tidak, maksudku, gadis cantik itu mulai tampak kebingungan
sekarang… aku tersenyum dan dia mulai sedikit panik… berkali-kali ia jeritkan
namaku lagi.
“Raya..!! Cc-chotto mate kudasai Raya..!!”
“Khakhakhakhakhakha!!!”
Kali
ini tidak akan kubiarkan rasa takut memiliki peluang untuk mengalahkanku lagi.
Kugerakan kedua tanganku kesana kemari dan dari setiap sudut ruang mulai keluar
rantai-rantai besi yang secara cepat mengikat lengan dan kaki gadis itu, dia
masih saja menjeritkan namaku seraya menangis…
“Raya..!! Yamete nee Raya..!!”
“Diamlah…
karena sekarang lu milik gue!!”
“Yamete kudasai..... Rayaaa!!!”
Kutatap
lenganku dan mencoba untuk lebih fokus, kunaikan tingkat kesadaran hingga
kira-kira 45 persen dan… ZAP!! Sebuah cambuk muncul dalam genggaman…
Fiuh.
Butuh setengah jam. Dan sekarang aku terbangun. Capek. Kubasuh semua keringat
yang mengalir dari tubuhku. Rasanya melelahkan juga, dan celanaku mulai tidak
terasa nyaman. Namaku Raya. Raya Pradhita Kusuma. Mungkin kau berpikir bahwa
aku seorang maniak, sadomasochist, atau seorang psikopat. Tapi aku hanya bisa
bilang kalau aku ini orang baik. Karena asal tahu saja, jika yang tadi
kumimpikan adalah wanita dari dunia nyata, aku tidak pernah benar-benar berani
untuk menyentuhnya. Bahkan jika dia adalah wanita yang kusukai. Karena biasanya
aku tidak akan menyadari bahwa itu adalah mimpi jika yang kulihat disana adalah
hal-hal nyata. Dan karena mimpiku tadi adalah dikejar kuntilanak yang bisa berbahasa jepang, maka aku sadar bahwa itu adalah mimpi. Terlebih
lagi aku tidak tahu bagaimana lagi cara mengubah mimpi menyeramkan menjadi
lebih indah selain dengan cara itu, maksudku, aku seorang pria normal berusia
22 tahun dan memiliki otak tengah yang isinya… ah, sudahlah…
Lucy
dream. Begitulah para psikolog menyebutnya, suatu mimpi yang bisa kita
kendalikan apabila kemampuan bawah sadar kita cukup kuat untuk merangkainya. Aku
mempelajari itu cukup lama diawali dengan mempelajari tehnik untuk bangun
disaat keadaan darurat dalam menghadapi mimpi buruk. Misalnya saja dalam
mimpiku, aku akan mencoba untuk memejamkan mata lalu membukanya kembali,
memejamkan lagi dan membuka mataku lagi, biasanya aku akan langsung terbangun
segenting apapun keadaan dalam mimpiku, dan jika aku tidak berhasil, maka yang
terjadi adalah aku akan merasa terbangun padahal aku terbangun dalam keadaan
masih di dalam mimpi. Kupikir itu masih terlalu beresiko terlebih jika kita
mimpi dikejar monster, aku paling takut mimpi dikejar monster, terutama jika
dia monster jantan… satu-satunya hal yang paling mudah untuk dilakukan adalah
memikirkan sebuah jurang. Ya, sebuah jurang. Dan begitu monster itu hendak menangkap
kita, kita tinggal meloncat ke dalam jurang dan welcome home, kita akan
terbangun saat itu juga. Kenapa? Kemungkinan adrenaline yang menyebabkannya, ya
jika adrenaline meningkat, otak secara otomatis akan membuat suatu gelombang
kejut dengan tingkat kesadaran yang sama besar. Masih ingat bagaimana awalnya
aku terbangun tadi? Tadi aku terbangun ketika setan itu mencoba menggigit
sesuatu yang berharga dari diriku, adrenaline naik dan aku terbangun. Tapi kita
juga bisa mengakhiri mimpi dengan cara yang lebih rileks dan santai, itu
tergantung dari berapa lama kita tertidur. Terkadang perasaan berdosa dalam
puncak kesenangan juga bisa membuat seseorang untuk terbangun dari mimpinya
loh… ya, misalnya pada akhir mimpiku tadi.
Baiklah
cukup dengan mimpinya, cobalah semua trik yang kukatakan tadi, jika semua yang
kukatakan itu tidak berhasil, setidaknya mimpi itu bisa ‘crash’ dan terganggu
eksistensinya. Oh ya, ngomong-ngomong apa aku sudah mengatakan bahwa aku adalah
seorang pria yang baik? Ya, percayalah aku pria yang baik, lupakan mimpi tadi,
semua orang bisa memimpikan apa saja bukan? Aku hanya seorang mahasiswa jurusan
seni musik. Bagiku musik adalah nafasku. Aku tidak bisa hidup tanpa musik.
Selain itu aku juga aktif dalam sebuah komunitas peduli sesama. Sebuah
komunitas yang mengedepankan kepentingan-kepentingan sosial. Sudah kubilang,
aku adalah orang baik.
Pagi
ini, aku sudah ditawari berbagai kesibukan, misalnya saja aku harus
mengantarkan beberapa paket kue buatan ibuku ke toko, sekaligus mengantarkan
kakekku membeli bunga, kakekku suka sekali dengan bunga, terutama anyelir… yah, sebenarnya beliau
adalah seorang veteran perang pada zaman dulu, beliau juga tergabung dalam
organisasi PETA atau biasa disebut ‘pembela tanah air’ dan di usianya yang begitu senja kakekku lebih
memilih untuk menjadi pegawai perlintasan kereta api… sebenarnya saat ayahku yang seorang komposer itu masih ada, kakek tidak pernah ingin bekerja seperti ini,
beliau lebih memilih terdiam mengkritisi buku-buku marxisme, atau berkebun. Kini ayahku telah tiada, ia meninggal saat aku
masih berusia 10 tahun dikarenakan sakit yang dideritanya. Dan nenek selalu berpesan agar kita tidak
pernah patah arang dalam berusaha, selama itu adalah hal yang baik, lakukan
saja semua dengan keikhlasan hati, dan baginya bersyukur adalah cara yang
paling indah dalam menikmati hidup. Itulah yang selalu ia katakan… dan sejak saat itu keluargaku mulai bangkit semangatnya dan kakekpun
tampaknya tidak ingin membiarkan raganya terdiam begitu saja… ia masih ingin
hidup untuk berarti. Aku? Akupun demikian, setelah kukayuh sepedaku,
mengantarkan kakek dan mengantarkan kue ke toko, aku segera bergegas untuk
sebuah tugas kemuliaan… bergabung sebagai relawan penyelamat bencana alam…
bersama sebuah komunitas dimana aku ikut tergabung didalamnya. Nama komunitas
itu adalah… Komunitas Semesta Hati.
Komunitas
ini didirikan pada awalnya hanya sebagai penyuara pesan-pesan sosial saja,
misalnya saja kita membuat sebuah film independent pendek tentang kemanusiaan,
membuat suatu acara melukis ramai-ramai di jalan bertemakan lingkungan dan
sebagainya, dan karena kemampuanku hanyalah menciptakan lagu, biasanya aku
hanya diminta untuk menjadi bintang tamu dalam acara-acara dimana aku bernyanyi
dan bermain musik disana, tentu saja lagu-lagu yang dinyanyikan masih
bernafaskan nilai-nilai kemanusiaan… lalu kegiatan komunitas ini pun semakin
berkembang dan semakin meluas, kali ini kita lebih tertarik untuk terjun ke
lapangan langsung, terlibat dengan masalah itu secara langsung, sehingga kita
tidak hanya bisa bicara melalui karya, melainkan ikut terlibat juga di dalamnya.
Hebat bukan? Jujur, aku memang bangga menjadi bagian dari orang-orang ini…
orang-orang berhati mulia yang lebih mengedepankan hati mereka untuk hal-hal yang berarti…
Awan mendung menyapa, jam menunjukan pukul 10.34, sudah saatnya kita pergi, hari ini kita
harus mengirimkan bantuan berupa makanan, air bersih, selimut, pakaian bekas
yang layak pakai dan juga seperangkat peralatan untuk mendirikan dapur umum di
sebuah desa yang saat ini tengah mengalami bencana banjir dahsyat dikarenakan curah hujan yang tinggi dan setelah mengupayakan kerjasama dengan badan SAR nasional, kami memutuskan
untuk mulai mengirimkan bantuan hari ini.
Sementara
yang lain sudah mulai mempersiapkan segala yang harus dipersiapkan, tiba-tiba
aku tertarik pada sosok seseorang, dia adalah… Pak David. Dia merupakan pendiri
sekaligus ketua dari komunitas ini, sebenarnya beliau adalah warga negara asing, dari Amerika tepatnya. Sudah
7 tahun beliau bekerja di Indonesia, namun ia sudah sangat fasih dengan bahasa
pribumi. David Moses, seorang aktivis pemerhati lingkungan dan saat ini dia tengah memilah-milah bantuan
yang layak dan baik untuk dikirimkan ke tujuan.
“Bagaimana
dengan ini pak?” tiba-tiba seseorang yang membawa satu buah dus bertanya…
“Mie
instan ya? Sebenarnya jika kita bisa sampai disana sore ini, roti adalah
makanan yang lebih baik ketimbang mie instan, dan jika kita berhasil mendirikan
dapur umum disana, nasi dari beras merah jauh lebih baik untuk para pengungsi…”
“Jadi
bagaimana pak?” orang itu masih bertanya.
“Ya
sudah, bawa saja… kita jadikan itu sebagai makanan panitia, biar untuk konsumsi
para pengungsi kita gunakan saja semua stock beras yang kita punya…”
“Oh,
siap kalau begitu…”
Pak
David memanglah seseorang yang cukup kukagumi disini, dia adalah sosok yang
lebih mementingkan orang lain ketimbang dirinya sendiri, tapi tampaknya dia
sadar bahwa saat ini aku tengah memperhatikannya, melihat itu dia langsung
menegurku.
“Hey!
Raya! Jangan bisanya cuma senyum aja! Cepet bantu yang lain! Gimana sih?”
“Oh
ya Pak, maaf, hehe…”
“Ayo
semuanya semangat!! Hari ini kehadiran kita sangat dibutuhkan!!”
Semua bahan bantuan telah selesai diangkut
menggunakan mobil militer dan truk, kami juga telah menyediakan beberapa tenda
tambahan dan peralatan lainnya untuk membuat sebuah dapur umum. Jarak yang
ditempuh pun cukup jauh ditambah medan yang kurang bersahabat. Selama
perjalanan mataku terasa berat dan aku mulai mengantuk, seolah bebatuan keras
yang menghantam roda truk sama sekali tidak membuatku terjaga. Tak lama
pandanganku terasa gelap, aku pun terlelap.
Aku membuka mata dan kulihat sebuah jalan raya yang cukup
besar, anehnya disini tidak ada kendaraan apapun yang melintas, semua toko dan
rumah-rumah di sekitar sini pun tampak kosong dan beberapa diantaranya seperti
pernah terbakar dan rusak parah, aku hanya berdiri di seberang jalan. Tak ada
siapapun disini, seperti kota mati. Di depanku ada sebuah minimarket dan
pintunya terbuka, kulihat lampunya telah dipadamkan dan isinya begitu
berantakan seolah telah dijarah sebelumnya. Aku berjalan-jalan begitu lama dan
yang kujumpai hanya mobil-mobil yang tampak sudah rusak berat dan ditinggalkan.
Mimpi. Aku pasti sedang bermimpi, sekarang aku ingat bahwa dari tadi aku tengah
berada didalam mobil truk tentara mengantarkan berbagai macam bantuan ke lokasi
bencana... tapi mengapa aku disini? Apa tadi truk kita mengantarkan kita sampai
disini? Tidak, ini pasti mimpi, jika ini adalah kenyataan, mungkin aku sudah
bertemu dengan teman-temanku dan pak David disini. Ah mengapa sulit sekali aku
mempertahankan kesadaranku bahwa ini hanyalah mimpi? Ini adalah mimpiku dan
jika ini tidak menyenangkan aku tidak mau terlalu larut didalamnya. Tunggu...
apa yang bisa kulakukan untuk membuat mimpi ini menyenangkan ya? Menjarah
minimarket itu... tentu saja, aku akan masuk kesana dan mengambil apapun yang
kusukai. Tapi tidak, minimarket itu tampak gelap dan menyeramkan... aku tidak
mau masuk kesana, sesuatu seperti itu hanya menimbulkan motivasi-motivasi
negatif yang membuatku melihat hal-hal mengerikan dalam mimpi. Jadi apa? Apa
aku harus terdiam disini saja atau bagaimana? Karena meskipun ini tampak
seperti siang hari tapi dengan suasana sesepi ini tempat ini terasa mencekam...
hah, sial. Gara-gara aku berpikir seperti itu kota ini tampak lebih menyebalkan
saja. Bagaimana mungkin di siang hari seperti ini tiba-tiba bisa muncul kabut
tebal...? ini pasti karena aku mulai berpikir negatif tentang kota ini. Tak ada
orang, tak ada kendaraan, semua tampak ditinggalkan dan rusak ditambah kabut
misterius ini. Sempurna.
Menyebalkan. Cukup sudah,
aku harus terbangun dan meninggalkan mimpi ini secepatnya... biar kupejamkan
mataku, kubuka, kupejamkan lagi, kubuka mataku lagi, kupejamkan lagi... ini
aneh. Biasanya aku bisa langsung terbangun jika aku melakukan ini di mimpi,
atau paling tidak mimpiku akan berubah. Tapi mengapa aku masih berada disini?
Mencubit lenganku tidak akan efektif, karena rasa sakit bisa diciptakan lewat
stimulan palsu melalui otak. Haaah... setidaknya bisakah aku mendapatkan teman
di tempat seperti ini? Teman? Itu dia. Seandainya saja aku bisa membayangkan
satu sosok yang bisa menemaniku di tempat seperti ini... hm... teman... seorang
perempuan? Tidak. Aku tidak tertarik berkencan di tempat mengerikan seperti
ini. Mungkin laki-laki, laki-laki yang cukup kuat dan tampak tangguh. Seseorang
yang bisa kuandalkan untuk melindungiku. Pak David? Baiklah, bayangkan saja dia
datang dari balik kabut itu... dan, tadaaa. Aku melihat siluet bayangan
seseorang datang dari balik kabut dan menghampiriku. Ia muncul dan tersenyum
padaku, tapi siapa orang ini?
Tentu saja. Dia bukan pak
David yang kukenal, tapi yah, aku memaklumi itu karena membayangkan detail
wajah seseorang didalam mimpi bukan hal yang mudah. Terutama karena wajah
orang-orang dalam mimpi senantiasa berubah-ubah dan sosok ini mungkin hanya
sosok yang diciptakan imajinasiku secara acak. Kulihat pria itu berambut
panjang, bagian atas rambutnya diikat seperti dalam serial kolosal persilatan
jaman dulu. Haaah yang benar saja, kenapa otakku menciptakan sosok dengan
bentuk sekonyol ini... ia memiliki garis wajah yang tegas dengan janggut hitam
yang... oh apa kau bercanda? Janggutnya panjang sekali... hampir menyentuh
dadanya. Tapi dia masih tampak muda, usianya mungkin sekitar 30-an, entahlah
apa peduliku. Ia mengenakan jaket berbahan kulit ular yang dibiarkan terbuka
tanpa apapun dibaliknya, menunjukan bentuk otot perut yang atletis dan celana
jins yang tampak sudah usang. Sepatunya.. ah sudahlah, aku tak peduli.
“Hai” pria aneh itu mulai
menyapaku.
“Euh hai...” jawabku sedikit
ragu.
“Jadi kau merasa kesepian
disini?”
“Ini... ini dimana?”
“Ini masa depanmu, itupun
jika kamu terlibat didalamnya”
“Masa depan?” aku
mengernyitkan dahi. Ah sudahlah. Ini hanya mimpi dengan fantasi seperti dalam
komik, tak perlu kutanggapi dengan serius, pikirku.
“Ya, masa depan... ayo kita
berkeliling sebentar...”
“Kemana orang orang?”
tanyaku, meski sebenarnya aku tahu bahwa ini hanya bentuk dari imajinasiku tapi
tetap saja aku penasaran dengan jawabannya. Sambil berjalan menembus kabut aku
berusaha untuk mengobrol dengan imajinasiku.
“Mereka pergi”
“Pergi? Kemana? Apa tempat
ini mengalami wabah atau semacamnya?”
“Maksudku... mereka semua
telah mati” jawab orang itu.
“Oh begitu rupanya... tentu
saja” ujarku tanpa menunjukan rasa kaget sama sekali. Sekarang aku yakin aku
pasti terlalu banyak menonton film atau bermain game silent hill.
“Haha... lucy dream ya?”
ujar orang itu lagi.
“Hah? Apa?”
“Seperti inikah mimpi yang
kamu ciptakan?”
Aku terdiam. Orang ini terlalu
pintar sebagai imajinasiku, tapi itu tandanya aku pun telah meningkatkan
intelejensia otakku.
“Intelejensia kamu bilang?”
orang itu bertanya lagi.
“Apa?”
“Aku membaca apa yang kamu
pikirkan dan kamu bilang aku ini tercipta oleh... intelejensiamu?”
“Ah... ya, entah berguna
atau tidak jika saya katakan ini. Tapi kota ini, kabut tebal ini, suasana ini
bahkan anda sekalipun. Ini semua hanya bagian dari mimpi saya dan pikiran saya
menciptakan anda untuk menemani saya
menjelajahi mimpi saya sendiri” jawabku. Sekarang aku tahu bahwa pikiranku
terhubung dengan mimpi bukan hanya secara bentuknya saja, melainkan setiap
persona yang muncul didalamnya pun merupakan bagian dari pikiran dan tentu saja
dengan begitu orang ini bisa membaca pikiranku dan meresponnya. Orang itu hanya
tersenyum.
“So... Raya... apa yang
paling kamu inginkan didunia ini...?” orang itu bertanya lagi.
“Apa ya? Mungkin... wanita
cantik, mungkin uang yang banyak atau mungkin juga kebahagiaan untuk semua
orang...” jawabku. Pria tadi hanya kembali tersenyum.
“Kamu jujur. Bagus. Aku suka
itu”
“Maksudnya?”
“Di masa depanmu nanti orang
yang jujur akan sulit dicari, manusia akan lebih senang membuat pencitraan bagi
diri mereka masing-masing, mereka akan melakukan satu kebaikan untuk menutupi
seribu kejahatan”
“Ya ya ya... terkadang saya
juga ingin menutup mata dan telinga ketika ada hal buruk yang terjadi di
sekitar saya, apakah itu melalui pemberitaan televisi, berita di koran,
internet atau bahkan hanya melihat anak jalanan dan pengemis di perkotaan. Saya
kesal ketika saya tidak bisa melakukan apapun untuk perubahan. Saya hanya
melihat, merasakan sakit yang mereka rasakan lalu berpura-pura tidak peduli dan
berusaha melupakan. Itu sedikit menyiksa” jawabku.
“Itu empati”
“Ya?”
“Empatimu itu mungkin bisa
merubah masa depan...”
“Anda bicara seperti itu
maksudnya agar masa depan tidak tampak sekacau ini ya? Yah, sejujurnya saya
tidak sebaik itu. Saya sudah berusaha agar bisa membantu orang-orang dengan
terlibat di komunitas sosial dan lingkungan, tapi itu sama sekali bukan
apa-apa. Waktu terus berjalan dan saya tidak bisa membuat semua orang
tersenyum, di setiap sudut dunia ini kesedihan akan selalu ada, kelaparan,
kekeringan, perang, kejahatan... saya tidak bisa menghentikan itu. Ah lagipula
untuk apa saya menceritakan ini pada anda... anda kan hanya sosok dalam mimpi
saya saja haha”
“Kamu salah tentang satu
hal” ujar pria itu.
“Apa?”
“Tentu saja kamu tidak bisa
membuat seluruh dunia tersenyum. Kamu hanya manusia, kamu bahkan punya masalah
kamu sendiri. Tidak perlu memaksakan apa yang kamu tidak sanggup lakukan.
Bahkan satu senyuman yang berhasil kamu ciptakan untuk orang lain pun sudah
merupakan kebaikan.”
“Tapi...”
“Tentu saja, semua rasa
sakit itu akan tetap ada dan kamu harus menjaganya tetap ada”
“Kenapa?”
“Karena hanya rasa sakit itu
yang membuatmu tetap menjadi manusia”
“Maksudnya?”
“Kebaikan adalah sifat
Tuhan. Manusia yang merasakan sakit hanya dengan melihat kesakitan orang lain
adalah manusia yang baik, karena dengan begitu dia tidak akan berani menyakiti
orang lain. Hakekatnya, karena manusia adalah ciptaanNya, maka kamu bisa
merasakanNya ada dalam dirimu”
“Seandainya saja... saya
bisa lebih berarti dari sekedar ini... saya tidak mau dunia di masa depan
berkembang menjadi seperti ini”
“Mau tahu sesuatu?”
“Apa? Haha aku baru sadar.
Dari tadi aku memanggilmu dengan sebutan anda anda, seolah kau itu benar-benar
ada saja... hahaha... aku pasti sudah gila karena mencoba bersikap sopan pada
khayalanku sendiri... baiklah... apa?” ujarku mulai tidak peduli.
“Kabut tebal yang kamu lihat
ini...”
“Kabut? Ah ya, kabut ini...
tadinya aku berpikir macam-macam tentang kota ini... dan gara-gara itu kabut
ini pun muncul... tapi tenang saja, jika kutingkatkan kesadaranku sampai 45
persen... aku pasti bisa menyingkirkan kabut menyebalkan ini...” ujarku seraya
mencoba membayangkan kabut-kabut ini menghilang dari pandanganku.
“Tidak. Kamu tidak bisa. Ini
bukan kabut imajinasi, ini polusi udara... di masa depanmu ini, manusia dengan
segala kerakusannya telah berubah menjadi binatang buas, memakan pohon dan
besi, hasilnya seperti yang kamu lihat ini... udara disini telah tercemar...”
“Ah. Sial. Mengapa kau harus
berkata begitu? Ini membuatku sedikit kesulitan untuk fokus karena pikiranku
jadi mempercayai kata-katamu!” ujarku lagi. Pria itu hanya terkekeh.
“Begini saja, kuantarkan
kamu pada kesadaran... jadi kamu bisa bangun nanti” ujar pria itu lagi.
“Kesadaran? Bicaramu itu
aneh sekali. Oh ya, apa kau tahu dimana aku bisa menemukan sebuah jurang? Ah,
kenapa juga aku bertanya. Biar kubuat lubang sendiri...”
“Jurang...?”
“Iya jurang... seandainya
disini ada jurang yang dalam, aku bisa menjatuhkan diri kedalamnya dan voila!
Aku akan bangun seketika. Sekarang... biarkan aku berkonsentrasi...
terciptalah... jurang! Jurang! Ah kenapa ini tidak berhasil...” ini aneh,
pikirku. Biasanya aku bisa menciptakan bentuk jurang dengan cepat, sedangkan
pria itu terus menatapku seakan aku ini orang gila. Dia lalu membuka telapak
tangannya...
“Apa yang sedang kau
lakukan?” tanyaku.
“Sudah kubilang aku akan
mengantarmu...” ujar pria itu seraya mengarahkan telapak tangannya ke arah
jalanan.
“Mengantar?”
Dan secara tiba-tiba... ZAP!
Sebuah motor Harley Davidson muncul searah dengan lengan pria itu. Caranya
memunculkan sepeda motor itu hampir sama dengan saat ketika aku memunculkan
rantai dan cambuk pada mimpiku tempo hari.
“Itu tidak mungkin... apa
jangan-jangan kau adalah seorang pengendali mimpi juga? Tapi tidak, setahuku
mimpi seseorang tidak bisa berhubungan dengan mimpi orang lain... kau hanya
imajinasiku yang sedikit pintar... iya, pasti begitu” ujarku keheranan.
“Naiklah...” ujar pria itu.
Aku pun menurut. Pria
imajinasiku ini pun memboncengku dengan sepeda motornya menembus kabut, selama
perjalanan aku melihat sekelilingku dan di beberapa sudut yang meski samar
karena kabut aku bisa melihat ada banyak bekas kekacauan disana-sini. Seolah
pernah ada aksi demonstrasi besar-besaran atau perang sipil dan semacamnya, aku
berpikir demikan setelah kulihat ada banyak bekas ban mobil yang terbakar,
kaca-kaca toko yang pecah, puing-puing dan rumah-rumah yang hancur...
“Apa yang terjadi disini
sebenarnya...” tanpa sengaja kata itu terlontar dari mulutku.
“Semua ini berkat ulah
seseorang yang tidak tahu bagaimana caranya menjadi orang baik...” jawab pria
imajinasiku itu.
“Apa?”
“Kita sudah sampai...” ujar
pria itu lagi. Motor terhenti. Jika saja aku tidak melihat ke bawah dengan
seksama aku pasti tidak tahu bahwa beberapa inci dari motor itu merupakan
jurang yang sangat dalam dan curam... lebih tepatnya itu adalah jalan raya yang
terpotong dan amblas begitu dalam... aku langsung mengurungkan niatku untuk
menjatuhkan diri ke dalamnya.
“Kamu mau turun sekarang?”
pria itu bertanya.
“Apa kau gila? Jurang
securam itu? Aku tidak pernah memikirkan bentuk jurang semengerikan ini di
mimpiku sebelumnya... tidak.. biar aku buat jurang ini sedikit memiliki sudut
miring...” jawabku seraya mencoba menggerakan bebatuan di sekitarku dengan
kekuatan pikiran, namun lagi-lagi aku gagal melakukannya, suasana yang
kurasakan dalam mimpi ini tampak begitu nyata sehingga aku kesulitan untuk
meningkatkan kesadaran pikiranku dan mengambil kendali.
“Begini saja. Apa mobil yang
paling kau sukai?” tanya pria itu lagi
“Mobil... mobil apa... tentu
saja Lamborghini... mungkin Gallardo.”
“Lamborghini Gallardo ya...”
“Ya... aku sering melihat
para selebritis memakainya. Dan itu keren sekali”
“Benarkah?”
“Ya. Kenapa tiba-tiba
bertanya soal itu?”
Tiba-tiba dari balik kabut
muncul sepasang cahaya menyilaukan... dan secara tiba-tiba pula tubuhku sudah
berada di tepian jurang, dan sepasang cahaya itu berubah menjadi sepasang lampu
mobil Lamborghini Gallardo berwarna kuning yang tengah melaju kencang dan
menghantam tubuhku begitu keras, menghempasku jatuh ke dasar jurang. Ini sama
sekali tidak sakit namun sensasi guncangannya cukup membuatku panik. Sesaat
ketika aku terjatuh aku menoleh ke arah pria tadi... ia hanya tersenyum seraya
berkata...
“Sampai jumpa...”
Haaaa. Mataku terbelalak dan
aku terbangun seiring hentakan keras yang juga kurasakan didalam truk tentara
ini. Bebatuan keras sepanjang perjalanan mengguncang roda-roda besar truk.
Mimpi yang aneh. Lalu sebuah jari menyentil dahiku dengan sangat keras. Pak
David.
“Hei tukang tidur... hebat
sekali kamu ini, bisa tidur disaat seperti ini...” ujarnya. Aku hanya
tersenyum, rasanya sedikit memalukan. Lalu salah seorang anggota komunitas yang
lain ikut mengejekku.
“Wah, jangankan dikasih
medan bebatuan begini pak, kalaupun kita tinggalin si Raya di jalan tadi juga
dia pasti pulas tidurnya...”
“Ah sudahlah kalian ini.
Kemarin malam saya begadang, jadi sekarang saya sedikit mengantuk, wajar saja
kan?” ujarku mencoba membela diri.
“Terus kenapa kamu harus
ikut kalau begitu? Jangan lupa, kita pergi ini bukan untuk main-main! Ini misi
kemanusiaan! Kalau fisikmu sendiri payah, kamu hanya akan merepotkan kami
nantinya!” ujar pak David lagi.
“Siap pak. Saya janji saya
tidak akan merepotkan...” jawabku tegas.
Tiba-tiba hujan turun dengan
deras dan semua iringan mobil pun tiba-tiba terhenti.
“Ada apa?” aku bergumam.
“Entahlah. Ayo kita
turun...” ujar pak David. Kami semua pun turun ditengah hujan deras memeriksa
apa yang tengah terjadi. Kulihat pak David mencoba berbicara dengan salah satu
pimpinan SAR, mungkin untuk mencari informasi. Lalu tak lama pak David kembali.
“Semesta hati berkumpul
semua!” seru pak David menyuruh seluruh anggota komunitas untuk segera
berkumpul.
“Dengarkan semuanya! Jalan
didepan amblas. Kendaraan tidak bisa menembus medan sekarang. Untuk sementara,
kita menunggu keputusan dari pihak badan SAR nasional untuk intruksi
selanjutnya.” Seru pak David lagi.
“Tapi pak... bagaimana
dengan nasib para pengungsi nanti? Kita harus melakukan evakuasi secepatnya
sebelum banjir ini memakan korban yang lebih banyak...” ujarku.
“Untuk saat ini kita tidak
bisa berbuat apa-apa, karena baik medan maupun cuaca sama sekali tidak
bersahabat. Saat ini jalan alternatif kita satu-satunya ada disana, berada di
antara tebing-tebing, medannya pun tidak bisa dilalui kendaraan besar. Dan
banjir di lokasi bukan sekedar banjir biasa. Dari informasi yang saya dengar,
beberapa tanggul danau telah jebol dan kita tidak punya gambaran sama sekali
tentang kondisinya. Kita tidak punya pilihan selain menunggu” jawab pak David.
“Tapi hanya sekedar diam
disini saja bukanlah solusi pak...” ujarku. Pak David tampak geram, ia menarik
kerah bajuku dan menatapku dalam.
“Dengarkan baik-baik bocah.
Jika kamu ingin pergi menempuh bahaya disana, pergilah, tapi jangan libatkan
kami didalamnya, keselamatan korban itu penting, tapi jika kamu sendiri hanya
mengirimkan nyawa kamu maka kehadiran mayat kamu itu sama sekali tidak berguna
bagi mereka”
“Jika itu adalah
satu-satunya jalan. Jika itu masih mungkin untuk dilakukan. Maka pengorbanan
itu pantas untuk diberikan!” ujarku bersikukuh. Pak David terdiam.
“Kamu tidak mengerti apa
yang kamu bicarakan” pak David menatapku sinis.
“Sudahlah Raya! Kamu dengar
apa kata ketua... medan disana tidak bisa dilalui kendaraan... kita tidak akan
berhasil sampai disana sambil membawa bahan bantuan!” sanggah salah seorang
anggota.
“Iya. Betul itu. Kita tidak
bisa mengambil resiko dalam keadaan seperti ini” anggota yang lain ikut
menimpali. Aku merasa tertekan. Tak ada yang mendukung pendapatku, aku benci
seperti ini, terdiam tanpa melakukan apa-apa. Menyebalkan.
“Semesta adalah rumah. Hati
adalah energi. Tak ada gunung, laut, atau badai topan sekalipun yang
menghentikan langkah, karena resiko adalah tugas kami” aku berkata dengan nada
lantang. Semua orang terdiam, bahkan pak David pun menoleh sesaat. “Itu kata-kata
yang selalu bapak ucapkan... itu adalah slogan kita. Semesta hati” ujarku lagi.
Kali ini semua orang benar-benar terdiam. Hening...
“Turunkan semua perbekalan
dari mobil...” tiba-tiba pak David memberi instruksi. Akhirnya aku bisa sedikit
tersenyum. Suasana menjadi sedikit riuh, perdebatan mulai terjadi diantara para
anggota.
“Tapi pak. Itu tidak
mungkin, saat ini hujan masih turun dan kita tidak tahu dengan kondisi medan di
depan! Kita tidak bisa memaksakan diri membawa suplai dan bahan bantuan lain
hanya dengan kekuatan tekad... saat ini bertindak realistis jauh lebih penting
pak!”
“Pak David tolong
pertimbangkan lagi keputusan bapak. Setidaknya kita harus merapatkan hal ini
terdahulu dengan pihak badan SAR nasional, kita tidak bisa bertindak seenaknya
tanpa seizin mereka” semua anggota tampak keberatan dengan keputusan pak David
dan juga pendapatku. Pak David hanya menghela nafasnya dan menatapku lagi.
“Apa yang dikatakan oleh
bocah tadi membuatku berpikir, benar, medan didepan sana tidak stabil dan
berbahaya, namun, saat ini, saat kita tengah meributkan hal ini... masyarakat
disana tengah terisolasi tanpa makanan juga air bersih dan mereka hanya bisa
menunggu. Sedangkan lengan dan kaki kita masih berfungsi dengan baik. Melakukan
apa yang bisa kita lakukan. Bawa semua yang bisa kita bawa, ambil peralatan
seperlunya, sekarang juga kita pergi dari sini, yang tidak berani ikut, lebih
baik diam disini dan tunggu instruksi selanjutnya. Dengar, seperti apapun itu
kita tidak akan diizinkan pihak SAR untuk pergi sekarang, jadi mulai sekarang
kalian ikuti perintah saya saja. Jangan lanjutkan perjalanan jika saya bilang
berhenti. SEMESTA HATI! ARE YOU WITH ME?”
“Sejujurnya kata-kata itu
norak sih pak, tapi... im with you sir...” ujarku seraya tersenyum dan
mengacungkan kepalan tinjuku yang segera disambut dengan kepalan tinju yang
lain. “So do i” ujar salah seorang anggota, lambat laun kepalan demi kepalan tangan
kami saling menyatu dan kini kami berdiri membentuk sebuah lingkaran. Pak David
tersenyum dengan mata yang berkaca-kaca.
“Lets do it boys!”
Kami pun meneruskan
perjalanan dengan berjalan kaki dan mengangkut perbekalan menggunakan kereta
sorong dan roda- roda. Dengan roda-roda ini kami tidak perlu repot memikul
beban. Dan begitulah, meski pada awalnya pihak SAR tidak setuju pada keputusan
kami, namun kami sepakat untuk menjadi tim survey di barisan depan untuk
memantau apa yang terjadi di lokasi bencana sebenarnya, pihak SAR pun
menyetujui usul kami dengan menyertakan 10 anggotanya untuk mendampingi.
Hujan bertambah deras, derap
sepatu bot terasa bergetar diantara tanah-tanah berbatu yang ada di sekitar
kami. Tebing-tebing yang curam seolah hendak melahap kami bulat-bulat.
“Berhenti” tiba-tiba pak
David memberi instruksi, semua relawan pun ikut menghentikan langkahnya tak
terkecuali 10 anggota badan SAR nasional. Pak David mendongakan wajahnya ke
atas, memperhatikan puncak tebing, dan dari bebatuan itu bergulir
kerikil-kerikil kecil menuruni tebing.
“Ada apa?” salah satu
anggota SAR bertanya.
“Tidak apa-apa, saya hanya
merasa bahwa tebing ini sedikit... bergetar...” jawab pak David.
“Ya, hanya beberapa batu
kerikil. Tidak masalah. Itu pasti karena sepatu bot dan roda-roda itu. Ah hujan
ini tidak mau berhenti lagi, ayo kita lanjutkan!” seru anggota badan SAR
nasional itu. Kami pun kembali melanjutkan perjalanan.
“Kau dengar apa katanya
barusan?” ujarku pada seorang teman.
“Apa?”
“Kerikil-kerikil yang terjatuh
itu. Pak David bahkan bisa merasakan getarannya... bukankah itu hebat?”
“Hebat apanya? Kamu ini. Ya,
meskipun aku tidak sepenuhnya setuju harus melakukan ini, tapi kupikir pak
David itu sedikit berlebihan...”
“Berlebihan? Berlebihan
kenapa?”
“Kupikir dia terlalu
khawatir, lihat, meskipun dinding-dinding tebing ini terlihat rapuh, kupikir
tebing ini masih cukup kokoh... lihatlah” temanku itu pun menendang-nendang
dinding tebing dengan sepatu botnya.
“See? Tebing ini bahkan
cukup kuat untuk guncangan kecil seperti itu, tidak ada yang perlu
dikhawatir...” belum selesai temanku itu berbicara, kami merasakan bahwa tanah
yang kami pijak bergetar hebat, diiringi suara gemuruh yang muncul dari arah
tebing.
“Apa yang terjadi?” ujarku
“Apa ini salahku?” ujar temanku
lagi.
“Semuanya berlindung!” pak
David berseru.
Semua teriakan jadi
terdengar sayup-sayup, aku terkesima diantara kepanikan orang-orang. Bebatuan
besar mulai bergulir menuruni tebing... tanah yang tergerus oleh hujan
perlahan-lahan mulai turun... dalam detik-detik itu aku masih bisa melihat
seberapa besar longsoran tebing yang hendak menelan kami. Semua jadi terlihat
gelap... gelap... begitu sunyi... dan... sakit.
Hingga akhirnya sayup-sayup
aku mendengar sebuah suara...
“Anata wa... daijobu?” suara
perempuan. Suara ini tampak tidak asing di telingaku. Lambat laun mataku mulai
menemukan titik cahaya, cahaya itu semakin meluas hingga kemudian terang
benderang. Yang kulihat hanya rambut hitam panjang berkilau dan longdress
panjang berwarna putih... perempuan itu tersenyum padaku...
“Kuntilanak Jepang, ngapain
kamu disini?” ujarku begitu pelan.
“Yokattaa nee Raya-kun...”
sekali lagi perempuan yang tampak seperti hantu itu mengucapkan kalimat yang
tak kumengerti, lagipula darimana dia belajar bahasa itu? Apakah dia orang
Jepang? Yang benar saja. Punggungku benar-benar terasa sakit dan kegelapan
kembali menyelimuti pandanganku.
Entah sudah berapa lama,
namun aku tahu betul bahwa aku masih hidup. Telingaku pun mulai menangkap suara
dan hidungku mulai mencium aroma... lalu suara bip. Seperti nada tombol
handphone. Bip... bip bip... bip bip... ah suara apa ini? Seperti berada dalam
pesawat alien saja... bip... bip bip bip... bip bip bip... bipbipbipbip.... tiba-tiba
frekuensi suara itu semakin merapat dan konstan, hidungku pun sudah bisa
berdiplomasi dengan otak dan memastikan aroma apa yang ia cium... ini aroma
obat-obatan... aroma rumah sakit... kucoba untuk membuka mata namun aku merasa
mataku begitu lengket, sangat lengket sampai aku kesulitan untuk memastikan apa
yang tengah kulihat... semua tampak buram...
“Raya?” sebuah suara tampak
menyambutku.
“Raya! Kamu sudah sadar...
Raya! Dokter... dokter...!!!” suara itu berteriak... sekarang aku ingat kalau
itu suara ibuku. Mataku terasa mengeluarkan banyak air, lenganku... lenganku
terasa begitu kaku dengan jarum infus yang masih menusuk. Aku... di rumah
sakit... aku tidak begitu yakin dengan apa yang kuingat sekarang... semua
tampak begitu lama kutinggalkan, seperti kenangan yang jauh atau tugas yang
tertunda. Mengapa aku bisa ada disini? Kuusap kedua mataku yang berair, dan
semua terlihat lebih jelas sekarang... aku melihat nenekku tersenyum, dan
kakekku yang mengelus kepalaku.
“Syukurlah kamu sudah
sadar...” kakekku tersenyum dengan mata yang berkaca-kaca.
“Kenapa saya ada disini?”
ujarku.
“Sekarang kamu istirahat
saja, tidak perlu memikirkan yang lain-lain. Ya?” nenekku berkata.
Namun sebuah televisi yang
kebetulan menyala di ruangan itu kembali membangkitkan ingatanku. Sebuah
tayangan berita tentang musibah banjir...
“Sampai saat ini jenazah
korban banjir yang ditemukan berjumlah 45 orang dan diprediksi jumlahnya akan
bertambah seiring pencarian korban oleh pihak Badan Sar Nasional...”
Apa? Sekarang aku ingat
bahwa sebelum ini aku bersama teman-temanku tengah mengupayakan evakuasi korban
banjir di sebuah desa... namun kami terhenti karena...
“Pak, ini matiinnya gimana...?”
tiba-tiba nenekku tampak panik, televisi itu tergantung diatas dan ia tak
sanggup menjangkaunya... kakekku pun segera mencari cara untuk mematikan
televisi tersebut.
“Tunggu jangan dimatikan...”
ujarku.
“Di lain pihak, korban
longsor yang hendak memantau lokasi bencana banjir melalui jalur alternatif
masih menjalani perawatan intensif di rumah sakit militer TNI AD, beruntung
korban yang terdiri dari sebuah komunitas relawan dan sepuluh anggota BASARNAS
dapat dievakuasi secepatnya mengingat jarak lokasi kejadian yang cukup dekat
dengan tim evakuasi, sehingga para korban longsor bisa segera diselamatkan
meski hingga kini satu orang diantaranya masih dinyatakan hilang”
“Pak cepetin matiin TVnya
dong, langsung dicetrekin aja gitu...” nenekku masih bersikeras.
“Iya susah... remotenya mana
remotenya...?” ujar kakekku, entah apa yang ingin mereka sembunyikan dariku,
mungkin mereka takut aku mengalami trauma sehingga mereka bersikukuh ingin
mematikan televisi tersebut, disisi lain mataku yang baru saja terbuka sudah
terlanjur menyimak apa yang tersiar dalam berita tersebut.
Pak David. Benar juga, pak
David... apa dia baik-baik saja?
“Salah satu korban longsor
yang hingga kini belum ditemukan bernama David Moses, warga negara Amerika yang
kemudian diketahui sebagai pendiri komunitas relawan Semesta Hati. Mengenai hal
ini, ketua BASARNAS Pramudyo Laksono berkata bahwa tindakan evakuasi baik untuk
korban banjir maupun longsor masih akan terus dilaksanakan, berikut petikan
wawancara kami dengan ketua BASARNAS, Pramudyo Laksono...”
Plap. Televisi pun akhirnya
dimatikan. Kakekku tengah menggenggam remote. Ibuku pun akhirnya kembali seraya
memelukku dan disampingnya seseorang berpakaian layaknya dokter memegang
stetoskop dan memeriksa tubuhku...
Setelah semua itu aku baru
tahu bahwa aku telah mengalami koma selama 4 hari. Beberapa diantara temanku
telah dipulangkan dari rumah sakit. Kini sebulan telah berlalu, tulang
punggungku sudah sembuh. Namun kabar tentang pak David masih belum terungkap,
terlebih lagi tidak ada satu pun petunjuk mengenai keluarganya di Amerika yang
bisa dihubungi oleh pemerintah, meski begitu pihak Amerika sendiri menyatakan
akan ikut andil dalam memberikan bantuan baik secara materil maupun tenaga ahli
hingga akhirnya pihak BASARNAS memutuskan untuk menghentikan pencarian.
Komunitas Semesta Hati secara resmi dibubarkan dengan menyisakan perasaan sesak
di dada. Perasaan bersalah, dimana seandainya aku tidak bersikeras untuk pergi
di tengah hujan deras pada saat itu, mungkin semua ini tidak pernah terjadi.
Meski semua berlangsung berdasarkan kesepakatan bersama, namun perasaan bahwa
semua ini disebabkan olehku itu masih ada... aku berperan besar dalam kematian
pak David yang hingga kini masih misteri.
Kukayuh sepeda dengan
kencang, diantara mobil-mobil yang berlalu. Sejenak, aku merasakan kekosongan.
Pikiranku seolah melayang, bagaimanapun pak David telah mengisi satu ruang di
hatiku yaitu sosok seorang ayah dan aku... aku telah kehilangan figur ayahku
sejak masih kecil, namun aku masih ingat bagaimana caranya memainkan biola...
dan seolah bayangan itu kembali muncul di kepalaku. Seolah dia masih ada. Dan
tiba-tiba aku bisa mengingat setiap nada yang ia alunkan... nada yang begitu
indah... nada yang membuatku...
CKIITTTTT... BRAAAKKKKK!!!
Terguncang. Aku merasakan guncangan yang amat hebat dan
menyakitkan, aku terpental jauh dari sepedaku tapi ajaibnya aku merasa bahwa
aku baik-baik saja. Suara klakson berbunyi disana-sini. Di jalan raya itu aku
melihat orang-orang keluar dari mobilnya... kulihat sepedaku yang ringsek. Tadi
pasti aku menabrak sesuatu... pikirku. Atau mungkin ada sesuatu yang
menabrakku. Entahlah... lalu dari balik keramaian itu muncul sebuah mobil...
mobil itu... Lamborghini Gallardo berwarna kuning... sama seperti mobil yang
pernah kuimpikan! Mobil yang sangat keren... tapi tunggu, kenapa mobil itu
tidak berhenti? Aku tengah berada di hadapannya dan dia melaju dengan kecepatan
seperti itu, di tengah keramaian ini? Aku mendengar semua orang meneriakinya
dan aku bisa melihat kepanikan sang sopir yang terlihat ugal-ugalan dan
menabrak apapun yang berada disekitarnya dan kali ini... dia melaju kencang ke
arahku? Yang benar saja!
Aku mengangkat kedua
tanganku secara refleks karena tak sanggup untuk melihat. Aku sama sekali tidak
menghindar dan aku... masih baik-baik saja? Mobil itu melaju begitu saja tanpa
mengenaiku? Bagaimana mungkin? Hingga akhirnya aku tersadar setelah aku
mendapati apa yang dikerumuni oleh orang-orang ini... aku melihat cairan serupa
darah mengaliri aspal dan sesosok tubuh dengan mata terbelalak yang dari
telinga maupun mulutnya juga mengeluarkan darah, sosok ini berpakaian
sepertiku, setinggi aku dan berwajah sama seperti aku? Tunggu... apa... apakah
itu aku? Lalu mobil Lamborghini dan sepedaku yang ringsek itu... jadi... aku
telah...
mati?
Tak berapa lama secercah
cahaya putih terang benderang mewarnai pandangan...
Mahasystem Chapter One
“Dreams”
End.