Sabtu, 09 Juli 2016

Mahasystem Chapter 1

Mahasystem
Chapter 1 : Dreams

            Mata itu masih melihatku, mengejarku seperti binatang liar, dibiarkannya rambutnya terurai tak teratur… rambutnya yang panjang begitu hitam sehitam malam…  aku tak berdaya, aku lelah terus berlari seperti ini, di sebuah lorong kering bercahaya remang ini… kulihat dia mulai mendekat, sesekali sambil tertawa cekikikan… wanita itu berjalan seperti melayang… yang ia kenakan hanya longdress berwarna putih yang sekilas tampak seperti asap… dan aku tak mampu melihat ujung kakinya…!!! Diakah… diakah sosok yang mereka bilang kuntilanak? Matanya membeku tajam menatapku… aku tahu bahwa saat ini aku berada dalam mimpi, dan entah bagaimana aku tidak bisa bangun begitu saja… wanita itu masih tertawa… dengan nada yang sangat tinggi dan terus mendekat… ia hendak menyentuhku dengan lengan pucatnya… sambil berjalan pelan ke arahku ia memanggil-manggil namaku, kali ini suara tangis… ia menangis… ia menangis seraya terus mendekatiku, sedangkan aku masih tidak bergerak, tangisan ini adalah tangisan paling menakutkan yang pernah kudengar… tapi aku hanya bisa tersenyum… tidak, aku tidak ingin terbangun sekarang… ini mimpi yang sangat indah…
            Ini adalah mimpiku. Pikiranku yang menciptakannya… dan aku adalah raja dalam mimpiku sendiri. Perlahan kudekati sosok hantu itu, rambutnya cukup bagus… mungkin dia pernah menjadi model untuk iklan sampho, rambut itu begitu panjang sampai ke pangkal punggungnya, kujambak rambut itu sekerasnya. Dia menjerit. Aku tak perduli, dia menatapku seakan tengah menahan sakit. Kutarik rambut itu seraya menyeretnya bersama tubuhnya… yah memang dari tadi aku lelah membiarkannya terus mengejarku, karena meskipun aku tengah berada dalam mimpi aku masih bisa merasakan rasa sakit, panas, dingin dan juga rasa lelah… semua itu adalah manipulasi otak… terkadang berpengaruh langsung pada tubuhku. Jadi kubiarkan makhluk ini merasakannya juga… ah, apa dia juga punya rasa? Dia hanyalah tokoh imajinasi yang kuhidupkan dalam mimpi, jadi biarkan aku memainkan imajinasiku sekarang… kulihat wajah itu… seorang wanita. Cantik. Tengah menangis. Dia tengah terjerembab sekarang. Kutahan tubuhnya dengan kedua pahaku agar ia tak mampu lari dariku. Dia menjerit. Mengaduh. Aku tak perduli. Tiba-tiba kurasakan lidahku menjadi begitu panjang seperti kadal, kugunakan itu untuk menjilati wajahnya… dia meronta, akhirnya aku bisa merasakan kalau dia punya kaki… lalu kupikirkan sesuatu untuk melucuti pakaiannya. Tidak, pakaian? Apakah kain putih ini benar-benar pakaian? Kulihat benda ini tidak memiliki potongan bahkan terkesan sedikit melebar… seperti seprai, atau tirai putih begitu saja. Lalu kupikirkan bagaimana jika saja kurobek semua kain putih ini agar aku bisa melihat pakaian dalamnya? Atau kubuat saja dia memakai bikini dibalik kain putih itu? Sudah kubilang ini mimpiku, dan aku adalah raja dalam mimpi ini. Tapi tidak, kupikir itu akan merusak kepuasanku melakukannya pada makhluk ini. Apa yang kupikirkan tadi akan membuatnya tampak seperti wanita manusia… jadi begini saja, lebih baik dia tidak memakai apapun dibalik kain putih ini… jadi aku bisa lebih puas melihat pakaian itu tercabik-cabik dari tubuhnya. Hahahaha… lihat, bukankah dengan begini dia lebih terlihat seksi? Dia menangis. Kulihat wajahnya tampak putus asa. Kujilat leher dan belakang telinganya dengan lidah kadal tadi. Dia terus menjerit, meronta, terkadang memukul… tapi pukulannya terlalu lemah… kutahan saja kedua tangannya, memaksanya untuk terdiam, tapi dia justru menggigit bahuku, dan karena sakit terpaksa kulepas kedua tangan itu… dan kali ini dia mencakar punggungku dengan kuku-kukunya… dia menatapku dengan ganas, seolah hendak menyerang balik, dihimpitnya pinggangku dengan kedua pahanya. Sial. Ini tidak bagus, ya, meskipun kubilang bahwa aku bisa mengendalikannya, dalam mimpi semacam ini aku tidak bisa mengendalikannya secara total… ada hal-hal dalam mimpi yang berada diluar kuasaku… seolah mereka memiliki intelejensia tersendiri. Dan jika aku memaksa kesadaranku untuk bangkit seratus persen, aku akan terbangun… jadi dalam keadaanku yang seperti ini aku hanya bisa larut dalam ketakutanku sendiri… dan kusadari bahwa naluri bawah sadarku mulai melemah… aku hanya bisa menjerit dan berteriak…
“Sakiiittt!!!”
            Hantu itu tidak mengacuhkan teriakanku, malah kali ini dia tersenyum seraya terus menyebutkan namaku…
            “Raya…!! Raya!!”
            “Sakiiitt…!!!”
            “Kikikikiki…!!”
“Jangan… jangan… jangan gigit…!!”
            Kali ini dia tersenyum nakal. Aku tak tahu lagi harus berbuat apa, sekarang aku benar-benar berharap bisa terbangun, tapi ini menjadi lebih sulit sekarang… ketakutanku telah mengambil alih begitu banyak kesadaranku. Makhluk cantik itu menyeringai… bagus, kali ini sepasang taring kecil mulai tumbuh dari mulutnya…
            “Lepasin gue… jangan!!”
            “Hihihihi…”
            “Setan!! Nape lu jadi kuat sekarang?”
            “Ahheeeem…anata wa... urusai...nee
            “Gue bilang jangan gigit!!! Jangan gigit… APALAGI YANG ITU!!!!”
            “KRAUUKK!!!”
            “AAAAAAARRRRRGGGGHHH!!!”
            HAAAA!!!. Akhirnya… mataku terbelalak dan aku terbangun… sial, rasanya aku tidak puas dengan hasil mimpi tadi. Kuntilanak tadi berhasil menjamahku dan juga menggigit itu. Aku tidak terima, belum satu menit aku terbangun, kupikir masih ada kesempatan untuk membalas hantu yang sadomasochist itu. Kupejamkan mataku lagi dan kubiarkan sisa-sisa emosi tadi melekat dalam pikiranku, dan… ZAP! Benar saja aku kembali  ke lorong panjang dengan cahaya lampu remang-remang tadi, dan dia masih disana… dengan pakaian putih panjang yang robek disana-sini… kali ini aku akan sedikit serius… sebelumnya kuhilangkan dulu taring dari mulutnya dengan pikiranku dan… ZAP! Taring pun menghilang… hantu itu… ah tidak, maksudku, gadis cantik itu mulai tampak kebingungan sekarang… aku tersenyum dan dia mulai sedikit panik… berkali-kali ia jeritkan namaku lagi.
            “Raya..!! Cc-chotto mate kudasai Raya..!!”
            “Khakhakhakhakhakha!!!”
            Kali ini tidak akan kubiarkan rasa takut memiliki peluang untuk mengalahkanku lagi. Kugerakan kedua tanganku kesana kemari dan dari setiap sudut ruang mulai keluar rantai-rantai besi yang secara cepat mengikat lengan dan kaki gadis itu, dia masih saja menjeritkan namaku seraya menangis…
            “Raya..!! Yamete nee Raya..!!”
            “Diamlah… karena sekarang lu milik gue!!”
            “Yamete kudasai..... Rayaaa!!!”
            Kutatap lenganku dan mencoba untuk lebih fokus, kunaikan tingkat kesadaran hingga kira-kira 45 persen dan… ZAP!! Sebuah cambuk muncul dalam genggaman…
            Fiuh. Butuh setengah jam. Dan sekarang aku terbangun. Capek. Kubasuh semua keringat yang mengalir dari tubuhku. Rasanya melelahkan juga, dan celanaku mulai tidak terasa nyaman. Namaku Raya. Raya Pradhita Kusuma. Mungkin kau berpikir bahwa aku seorang maniak, sadomasochist, atau seorang psikopat. Tapi aku hanya bisa bilang kalau aku ini orang baik. Karena asal tahu saja, jika yang tadi kumimpikan adalah wanita dari dunia nyata, aku tidak pernah benar-benar berani untuk menyentuhnya. Bahkan jika dia adalah wanita yang kusukai. Karena biasanya aku tidak akan menyadari bahwa itu adalah mimpi jika yang kulihat disana adalah hal-hal nyata. Dan karena mimpiku tadi adalah dikejar kuntilanak yang bisa berbahasa jepang, maka aku sadar bahwa itu adalah mimpi. Terlebih lagi aku tidak tahu bagaimana lagi cara mengubah mimpi menyeramkan menjadi lebih indah selain dengan cara itu, maksudku, aku seorang pria normal berusia 22 tahun dan memiliki otak tengah yang isinya… ah, sudahlah…
            Lucy dream. Begitulah para psikolog menyebutnya, suatu mimpi yang bisa kita kendalikan apabila kemampuan bawah sadar kita cukup kuat untuk merangkainya. Aku mempelajari itu cukup lama diawali dengan mempelajari tehnik untuk bangun disaat keadaan darurat dalam menghadapi mimpi buruk. Misalnya saja dalam mimpiku, aku akan mencoba untuk memejamkan mata lalu membukanya kembali, memejamkan lagi dan membuka mataku lagi, biasanya aku akan langsung terbangun segenting apapun keadaan dalam mimpiku, dan jika aku tidak berhasil, maka yang terjadi adalah aku akan merasa terbangun padahal aku terbangun dalam keadaan masih di dalam mimpi. Kupikir itu masih terlalu beresiko terlebih jika kita mimpi dikejar monster, aku paling takut mimpi dikejar monster, terutama jika dia monster jantan… satu-satunya hal yang paling mudah untuk dilakukan adalah memikirkan sebuah jurang. Ya, sebuah jurang. Dan begitu monster itu hendak menangkap kita, kita tinggal meloncat ke dalam jurang dan welcome home, kita akan terbangun saat itu juga. Kenapa? Kemungkinan adrenaline yang menyebabkannya, ya jika adrenaline meningkat, otak secara otomatis akan membuat suatu gelombang kejut dengan tingkat kesadaran yang sama besar. Masih ingat bagaimana awalnya aku terbangun tadi? Tadi aku terbangun ketika setan itu mencoba menggigit sesuatu yang berharga dari diriku, adrenaline naik dan aku terbangun. Tapi kita juga bisa mengakhiri mimpi dengan cara yang lebih rileks dan santai, itu tergantung dari berapa lama kita tertidur. Terkadang perasaan berdosa dalam puncak kesenangan juga bisa membuat seseorang untuk terbangun dari mimpinya loh… ya, misalnya pada akhir mimpiku tadi.
            Baiklah cukup dengan mimpinya, cobalah semua trik yang kukatakan tadi, jika semua yang kukatakan itu tidak berhasil, setidaknya mimpi itu bisa ‘crash’ dan terganggu eksistensinya. Oh ya, ngomong-ngomong apa aku sudah mengatakan bahwa aku adalah seorang pria yang baik? Ya, percayalah aku pria yang baik, lupakan mimpi tadi, semua orang bisa memimpikan apa saja bukan? Aku hanya seorang mahasiswa jurusan seni musik. Bagiku musik adalah nafasku. Aku tidak bisa hidup tanpa musik. Selain itu aku juga aktif dalam sebuah komunitas peduli sesama. Sebuah komunitas yang mengedepankan kepentingan-kepentingan sosial. Sudah kubilang, aku adalah orang baik.
            Pagi ini, aku sudah ditawari berbagai kesibukan, misalnya saja aku harus mengantarkan beberapa paket kue buatan ibuku ke toko, sekaligus mengantarkan kakekku membeli bunga, kakekku suka sekali dengan bunga, terutama anyelir… yah, sebenarnya beliau adalah seorang veteran perang pada zaman dulu, beliau juga tergabung dalam organisasi PETA atau biasa disebut ‘pembela tanah air’ dan di usianya  yang begitu senja kakekku lebih memilih untuk menjadi pegawai perlintasan kereta api… sebenarnya saat ayahku yang seorang komposer itu masih ada, kakek tidak pernah ingin bekerja seperti ini, beliau lebih memilih terdiam mengkritisi buku-buku marxisme, atau berkebun. Kini ayahku telah tiada, ia meninggal saat aku masih berusia 10 tahun dikarenakan sakit yang dideritanya. Dan nenek selalu berpesan agar kita tidak pernah patah arang dalam berusaha, selama itu adalah hal yang baik, lakukan saja semua dengan keikhlasan hati, dan baginya bersyukur adalah cara yang paling indah dalam menikmati hidup. Itulah yang selalu ia katakan… dan sejak saat itu keluargaku mulai bangkit semangatnya dan kakekpun tampaknya tidak ingin membiarkan raganya terdiam begitu saja… ia masih ingin hidup untuk berarti. Aku? Akupun demikian, setelah kukayuh sepedaku, mengantarkan kakek dan mengantarkan kue ke toko, aku segera bergegas untuk sebuah tugas kemuliaan… bergabung sebagai relawan penyelamat bencana alam… bersama sebuah komunitas dimana aku ikut tergabung didalamnya. Nama komunitas itu adalah… Komunitas Semesta Hati.
            Komunitas ini didirikan pada awalnya hanya sebagai penyuara pesan-pesan sosial saja, misalnya saja kita membuat sebuah film independent pendek tentang kemanusiaan, membuat suatu acara melukis ramai-ramai di jalan bertemakan lingkungan dan sebagainya, dan karena kemampuanku hanyalah menciptakan lagu, biasanya aku hanya diminta untuk menjadi bintang tamu dalam acara-acara dimana aku bernyanyi dan bermain musik disana, tentu saja lagu-lagu yang dinyanyikan masih bernafaskan nilai-nilai kemanusiaan… lalu kegiatan komunitas ini pun semakin berkembang dan semakin meluas, kali ini kita lebih tertarik untuk terjun ke lapangan langsung, terlibat dengan masalah itu secara langsung, sehingga kita tidak hanya bisa bicara melalui karya, melainkan ikut terlibat juga di dalamnya. Hebat bukan? Jujur, aku memang bangga menjadi bagian dari orang-orang ini… orang-orang berhati mulia yang lebih mengedepankan hati mereka untuk hal-hal yang berarti
            Awan mendung menyapa, jam menunjukan pukul 10.34, sudah saatnya kita pergi, hari ini kita harus mengirimkan bantuan berupa makanan, air bersih, selimut, pakaian bekas yang layak pakai dan juga seperangkat peralatan untuk mendirikan dapur umum di sebuah desa yang saat ini tengah mengalami bencana banjir dahsyat dikarenakan curah hujan yang tinggi dan setelah mengupayakan kerjasama dengan badan SAR nasional, kami memutuskan untuk mulai mengirimkan bantuan hari ini.
            Sementara yang lain sudah mulai mempersiapkan segala yang harus dipersiapkan, tiba-tiba aku tertarik pada sosok seseorang, dia adalah… Pak David. Dia merupakan pendiri sekaligus ketua dari komunitas ini, sebenarnya beliau adalah warga negara asing, dari Amerika tepatnya. Sudah 7 tahun beliau bekerja di Indonesia, namun ia sudah sangat fasih dengan bahasa pribumi. David Moses, seorang aktivis pemerhati lingkungan dan saat ini dia tengah memilah-milah bantuan yang layak dan baik untuk dikirimkan ke tujuan.
            “Bagaimana dengan ini pak?” tiba-tiba seseorang yang membawa satu buah dus bertanya…
            “Mie instan ya? Sebenarnya jika kita bisa sampai disana sore ini, roti adalah makanan yang lebih baik ketimbang mie instan, dan jika kita berhasil mendirikan dapur umum disana, nasi dari beras merah jauh lebih baik untuk para pengungsi…”
            “Jadi bagaimana pak?” orang itu masih bertanya.
            “Ya sudah, bawa saja… kita jadikan itu sebagai makanan panitia, biar untuk konsumsi para pengungsi kita gunakan saja semua stock beras yang kita punya…”
            “Oh, siap kalau begitu…”
            Pak David memanglah seseorang yang cukup kukagumi disini, dia adalah sosok yang lebih mementingkan orang lain ketimbang dirinya sendiri, tapi tampaknya dia sadar bahwa saat ini aku tengah memperhatikannya, melihat itu dia langsung menegurku.
            “Hey! Raya! Jangan bisanya cuma senyum aja! Cepet bantu yang lain! Gimana sih?”
            “Oh ya Pak, maaf, hehe…”
            “Ayo semuanya semangat!! Hari ini kehadiran kita sangat dibutuhkan!!”
            Semua bahan bantuan telah selesai diangkut menggunakan mobil militer dan truk, kami juga telah menyediakan beberapa tenda tambahan dan peralatan lainnya untuk membuat sebuah dapur umum. Jarak yang ditempuh pun cukup jauh ditambah medan yang kurang bersahabat. Selama perjalanan mataku terasa berat dan aku mulai mengantuk, seolah bebatuan keras yang menghantam roda truk sama sekali tidak membuatku terjaga. Tak lama pandanganku terasa gelap, aku pun terlelap.
            Aku membuka mata dan kulihat sebuah jalan raya yang cukup besar, anehnya disini tidak ada kendaraan apapun yang melintas, semua toko dan rumah-rumah di sekitar sini pun tampak kosong dan beberapa diantaranya seperti pernah terbakar dan rusak parah, aku hanya berdiri di seberang jalan. Tak ada siapapun disini, seperti kota mati. Di depanku ada sebuah minimarket dan pintunya terbuka, kulihat lampunya telah dipadamkan dan isinya begitu berantakan seolah telah dijarah sebelumnya. Aku berjalan-jalan begitu lama dan yang kujumpai hanya mobil-mobil yang tampak sudah rusak berat dan ditinggalkan. Mimpi. Aku pasti sedang bermimpi, sekarang aku ingat bahwa dari tadi aku tengah berada didalam mobil truk tentara mengantarkan berbagai macam bantuan ke lokasi bencana... tapi mengapa aku disini? Apa tadi truk kita mengantarkan kita sampai disini? Tidak, ini pasti mimpi, jika ini adalah kenyataan, mungkin aku sudah bertemu dengan teman-temanku dan pak David disini. Ah mengapa sulit sekali aku mempertahankan kesadaranku bahwa ini hanyalah mimpi? Ini adalah mimpiku dan jika ini tidak menyenangkan aku tidak mau terlalu larut didalamnya. Tunggu... apa yang bisa kulakukan untuk membuat mimpi ini menyenangkan ya? Menjarah minimarket itu... tentu saja, aku akan masuk kesana dan mengambil apapun yang kusukai. Tapi tidak, minimarket itu tampak gelap dan menyeramkan... aku tidak mau masuk kesana, sesuatu seperti itu hanya menimbulkan motivasi-motivasi negatif yang membuatku melihat hal-hal mengerikan dalam mimpi. Jadi apa? Apa aku harus terdiam disini saja atau bagaimana? Karena meskipun ini tampak seperti siang hari tapi dengan suasana sesepi ini tempat ini terasa mencekam... hah, sial. Gara-gara aku berpikir seperti itu kota ini tampak lebih menyebalkan saja. Bagaimana mungkin di siang hari seperti ini tiba-tiba bisa muncul kabut tebal...? ini pasti karena aku mulai berpikir negatif tentang kota ini. Tak ada orang, tak ada kendaraan, semua tampak ditinggalkan dan rusak ditambah kabut misterius ini. Sempurna.
Menyebalkan. Cukup sudah, aku harus terbangun dan meninggalkan mimpi ini secepatnya... biar kupejamkan mataku, kubuka, kupejamkan lagi, kubuka mataku lagi, kupejamkan lagi... ini aneh. Biasanya aku bisa langsung terbangun jika aku melakukan ini di mimpi, atau paling tidak mimpiku akan berubah. Tapi mengapa aku masih berada disini? Mencubit lenganku tidak akan efektif, karena rasa sakit bisa diciptakan lewat stimulan palsu melalui otak. Haaah... setidaknya bisakah aku mendapatkan teman di tempat seperti ini? Teman? Itu dia. Seandainya saja aku bisa membayangkan satu sosok yang bisa menemaniku di tempat seperti ini... hm... teman... seorang perempuan? Tidak. Aku tidak tertarik berkencan di tempat mengerikan seperti ini. Mungkin laki-laki, laki-laki yang cukup kuat dan tampak tangguh. Seseorang yang bisa kuandalkan untuk melindungiku. Pak David? Baiklah, bayangkan saja dia datang dari balik kabut itu... dan, tadaaa. Aku melihat siluet bayangan seseorang datang dari balik kabut dan menghampiriku. Ia muncul dan tersenyum padaku, tapi siapa orang ini?
Tentu saja. Dia bukan pak David yang kukenal, tapi yah, aku memaklumi itu karena membayangkan detail wajah seseorang didalam mimpi bukan hal yang mudah. Terutama karena wajah orang-orang dalam mimpi senantiasa berubah-ubah dan sosok ini mungkin hanya sosok yang diciptakan imajinasiku secara acak. Kulihat pria itu berambut panjang, bagian atas rambutnya diikat seperti dalam serial kolosal persilatan jaman dulu. Haaah yang benar saja, kenapa otakku menciptakan sosok dengan bentuk sekonyol ini... ia memiliki garis wajah yang tegas dengan janggut hitam yang... oh apa kau bercanda? Janggutnya panjang sekali... hampir menyentuh dadanya. Tapi dia masih tampak muda, usianya mungkin sekitar 30-an, entahlah apa peduliku. Ia mengenakan jaket berbahan kulit ular yang dibiarkan terbuka tanpa apapun dibaliknya, menunjukan bentuk otot perut yang atletis dan celana jins yang tampak sudah usang. Sepatunya.. ah sudahlah, aku tak peduli.
“Hai” pria aneh itu mulai menyapaku.
“Euh hai...” jawabku sedikit ragu.
“Jadi kau merasa kesepian disini?”
“Ini... ini dimana?”
“Ini masa depanmu, itupun jika kamu terlibat didalamnya”
“Masa depan?” aku mengernyitkan dahi. Ah sudahlah. Ini hanya mimpi dengan fantasi seperti dalam komik, tak perlu kutanggapi dengan serius, pikirku.
“Ya, masa depan... ayo kita berkeliling sebentar...”
“Kemana orang orang?” tanyaku, meski sebenarnya aku tahu bahwa ini hanya bentuk dari imajinasiku tapi tetap saja aku penasaran dengan jawabannya. Sambil berjalan menembus kabut aku berusaha untuk mengobrol dengan imajinasiku.
“Mereka pergi”
“Pergi? Kemana? Apa tempat ini mengalami wabah atau semacamnya?”
“Maksudku... mereka semua telah mati” jawab orang itu.
“Oh begitu rupanya... tentu saja” ujarku tanpa menunjukan rasa kaget sama sekali. Sekarang aku yakin aku pasti terlalu banyak menonton film atau bermain game silent hill.
“Haha... lucy dream ya?” ujar orang itu lagi.
“Hah? Apa?”
“Seperti inikah mimpi yang kamu ciptakan?”
Aku terdiam. Orang ini terlalu pintar sebagai imajinasiku, tapi itu tandanya aku pun telah meningkatkan intelejensia otakku.
“Intelejensia kamu bilang?” orang itu bertanya lagi.
“Apa?”
“Aku membaca apa yang kamu pikirkan dan kamu bilang aku ini tercipta oleh... intelejensiamu?”
“Ah... ya, entah berguna atau tidak jika saya katakan ini. Tapi kota ini, kabut tebal ini, suasana ini bahkan anda sekalipun. Ini semua hanya bagian dari mimpi saya dan pikiran saya menciptakan anda untuk  menemani saya menjelajahi mimpi saya sendiri” jawabku. Sekarang aku tahu bahwa pikiranku terhubung dengan mimpi bukan hanya secara bentuknya saja, melainkan setiap persona yang muncul didalamnya pun merupakan bagian dari pikiran dan tentu saja dengan begitu orang ini bisa membaca pikiranku dan meresponnya. Orang itu hanya tersenyum.
“So... Raya... apa yang paling kamu inginkan didunia ini...?” orang itu bertanya lagi.
“Apa ya? Mungkin... wanita cantik, mungkin uang yang banyak atau mungkin juga kebahagiaan untuk semua orang...” jawabku. Pria tadi hanya kembali tersenyum.
“Kamu jujur. Bagus. Aku suka itu”
“Maksudnya?”
“Di masa depanmu nanti orang yang jujur akan sulit dicari, manusia akan lebih senang membuat pencitraan bagi diri mereka masing-masing, mereka akan melakukan satu kebaikan untuk menutupi seribu kejahatan”
“Ya ya ya... terkadang saya juga ingin menutup mata dan telinga ketika ada hal buruk yang terjadi di sekitar saya, apakah itu melalui pemberitaan televisi, berita di koran, internet atau bahkan hanya melihat anak jalanan dan pengemis di perkotaan. Saya kesal ketika saya tidak bisa melakukan apapun untuk perubahan. Saya hanya melihat, merasakan sakit yang mereka rasakan lalu berpura-pura tidak peduli dan berusaha melupakan. Itu sedikit menyiksa” jawabku.
“Itu empati”
“Ya?”
“Empatimu itu mungkin bisa merubah masa depan...”
“Anda bicara seperti itu maksudnya agar masa depan tidak tampak sekacau ini ya? Yah, sejujurnya saya tidak sebaik itu. Saya sudah berusaha agar bisa membantu orang-orang dengan terlibat di komunitas sosial dan lingkungan, tapi itu sama sekali bukan apa-apa. Waktu terus berjalan dan saya tidak bisa membuat semua orang tersenyum, di setiap sudut dunia ini kesedihan akan selalu ada, kelaparan, kekeringan, perang, kejahatan... saya tidak bisa menghentikan itu. Ah lagipula untuk apa saya menceritakan ini pada anda... anda kan hanya sosok dalam mimpi saya saja haha”
“Kamu salah tentang satu hal” ujar pria itu.
“Apa?”
“Tentu saja kamu tidak bisa membuat seluruh dunia tersenyum. Kamu hanya manusia, kamu bahkan punya masalah kamu sendiri. Tidak perlu memaksakan apa yang kamu tidak sanggup lakukan. Bahkan satu senyuman yang berhasil kamu ciptakan untuk orang lain pun sudah merupakan kebaikan.”
“Tapi...”
“Tentu saja, semua rasa sakit itu akan tetap ada dan kamu harus menjaganya tetap ada”
“Kenapa?”
“Karena hanya rasa sakit itu yang membuatmu tetap menjadi manusia”
“Maksudnya?”
“Kebaikan adalah sifat Tuhan. Manusia yang merasakan sakit hanya dengan melihat kesakitan orang lain adalah manusia yang baik, karena dengan begitu dia tidak akan berani menyakiti orang lain. Hakekatnya, karena manusia adalah ciptaanNya, maka kamu bisa merasakanNya ada dalam dirimu”
“Seandainya saja... saya bisa lebih berarti dari sekedar ini... saya tidak mau dunia di masa depan berkembang menjadi seperti ini”
“Mau tahu sesuatu?”
“Apa? Haha aku baru sadar. Dari tadi aku memanggilmu dengan sebutan anda anda, seolah kau itu benar-benar ada saja... hahaha... aku pasti sudah gila karena mencoba bersikap sopan pada khayalanku sendiri... baiklah... apa?” ujarku mulai tidak peduli.
“Kabut tebal yang kamu lihat ini...”
“Kabut? Ah ya, kabut ini... tadinya aku berpikir macam-macam tentang kota ini... dan gara-gara itu kabut ini pun muncul... tapi tenang saja, jika kutingkatkan kesadaranku sampai 45 persen... aku pasti bisa menyingkirkan kabut menyebalkan ini...” ujarku seraya mencoba membayangkan kabut-kabut ini menghilang dari pandanganku.
“Tidak. Kamu tidak bisa. Ini bukan kabut imajinasi, ini polusi udara... di masa depanmu ini, manusia dengan segala kerakusannya telah berubah menjadi binatang buas, memakan pohon dan besi, hasilnya seperti yang kamu lihat ini... udara disini telah tercemar...”
“Ah. Sial. Mengapa kau harus berkata begitu? Ini membuatku sedikit kesulitan untuk fokus karena pikiranku jadi mempercayai kata-katamu!” ujarku lagi. Pria itu hanya terkekeh.
“Begini saja, kuantarkan kamu pada kesadaran... jadi kamu bisa bangun nanti” ujar pria itu lagi.
“Kesadaran? Bicaramu itu aneh sekali. Oh ya, apa kau tahu dimana aku bisa menemukan sebuah jurang? Ah, kenapa juga aku bertanya. Biar kubuat lubang sendiri...”
“Jurang...?”
“Iya jurang... seandainya disini ada jurang yang dalam, aku bisa menjatuhkan diri kedalamnya dan voila! Aku akan bangun seketika. Sekarang... biarkan aku berkonsentrasi... terciptalah... jurang! Jurang! Ah kenapa ini tidak berhasil...” ini aneh, pikirku. Biasanya aku bisa menciptakan bentuk jurang dengan cepat, sedangkan pria itu terus menatapku seakan aku ini orang gila. Dia lalu membuka telapak tangannya...
“Apa yang sedang kau lakukan?” tanyaku.
“Sudah kubilang aku akan mengantarmu...” ujar pria itu seraya mengarahkan telapak tangannya ke arah jalanan.
“Mengantar?”
Dan secara tiba-tiba... ZAP! Sebuah motor Harley Davidson muncul searah dengan lengan pria itu. Caranya memunculkan sepeda motor itu hampir sama dengan saat ketika aku memunculkan rantai dan cambuk pada mimpiku tempo hari.
“Itu tidak mungkin... apa jangan-jangan kau adalah seorang pengendali mimpi juga? Tapi tidak, setahuku mimpi seseorang tidak bisa berhubungan dengan mimpi orang lain... kau hanya imajinasiku yang sedikit pintar... iya, pasti begitu” ujarku keheranan.
“Naiklah...” ujar pria itu.
Aku pun menurut. Pria imajinasiku ini pun memboncengku dengan sepeda motornya menembus kabut, selama perjalanan aku melihat sekelilingku dan di beberapa sudut yang meski samar karena kabut aku bisa melihat ada banyak bekas kekacauan disana-sini. Seolah pernah ada aksi demonstrasi besar-besaran atau perang sipil dan semacamnya, aku berpikir demikan setelah kulihat ada banyak bekas ban mobil yang terbakar, kaca-kaca toko yang pecah, puing-puing dan rumah-rumah yang hancur...
“Apa yang terjadi disini sebenarnya...” tanpa sengaja kata itu terlontar dari mulutku.
“Semua ini berkat ulah seseorang yang tidak tahu bagaimana caranya menjadi orang baik...” jawab pria imajinasiku itu.
“Apa?”
“Kita sudah sampai...” ujar pria itu lagi. Motor terhenti. Jika saja aku tidak melihat ke bawah dengan seksama aku pasti tidak tahu bahwa beberapa inci dari motor itu merupakan jurang yang sangat dalam dan curam... lebih tepatnya itu adalah jalan raya yang terpotong dan amblas begitu dalam... aku langsung mengurungkan niatku untuk menjatuhkan diri ke dalamnya.
“Kamu mau turun sekarang?” pria itu bertanya.
“Apa kau gila? Jurang securam itu? Aku tidak pernah memikirkan bentuk jurang semengerikan ini di mimpiku sebelumnya... tidak.. biar aku buat jurang ini sedikit memiliki sudut miring...” jawabku seraya mencoba menggerakan bebatuan di sekitarku dengan kekuatan pikiran, namun lagi-lagi aku gagal melakukannya, suasana yang kurasakan dalam mimpi ini tampak begitu nyata sehingga aku kesulitan untuk meningkatkan kesadaran pikiranku dan mengambil kendali.
“Begini saja. Apa mobil yang paling kau sukai?” tanya pria itu lagi
“Mobil... mobil apa... tentu saja Lamborghini... mungkin Gallardo.”
“Lamborghini Gallardo ya...”
“Ya... aku sering melihat para selebritis memakainya. Dan itu keren sekali”
“Benarkah?”
“Ya. Kenapa tiba-tiba bertanya soal itu?”
Tiba-tiba dari balik kabut muncul sepasang cahaya menyilaukan... dan secara tiba-tiba pula tubuhku sudah berada di tepian jurang, dan sepasang cahaya itu berubah menjadi sepasang lampu mobil Lamborghini Gallardo berwarna kuning yang tengah melaju kencang dan menghantam tubuhku begitu keras, menghempasku jatuh ke dasar jurang. Ini sama sekali tidak sakit namun sensasi guncangannya cukup membuatku panik. Sesaat ketika aku terjatuh aku menoleh ke arah pria tadi... ia hanya tersenyum seraya berkata...
“Sampai jumpa...”
Haaaa. Mataku terbelalak dan aku terbangun seiring hentakan keras yang juga kurasakan didalam truk tentara ini. Bebatuan keras sepanjang perjalanan mengguncang roda-roda besar truk. Mimpi yang aneh. Lalu sebuah jari menyentil dahiku dengan sangat keras. Pak David.
“Hei tukang tidur... hebat sekali kamu ini, bisa tidur disaat seperti ini...” ujarnya. Aku hanya tersenyum, rasanya sedikit memalukan. Lalu salah seorang anggota komunitas yang lain ikut mengejekku.
“Wah, jangankan dikasih medan bebatuan begini pak, kalaupun kita tinggalin si Raya di jalan tadi juga dia pasti pulas tidurnya...”
“Ah sudahlah kalian ini. Kemarin malam saya begadang, jadi sekarang saya sedikit mengantuk, wajar saja kan?” ujarku mencoba membela diri.
“Terus kenapa kamu harus ikut kalau begitu? Jangan lupa, kita pergi ini bukan untuk main-main! Ini misi kemanusiaan! Kalau fisikmu sendiri payah, kamu hanya akan merepotkan kami nantinya!” ujar pak David lagi.
“Siap pak. Saya janji saya tidak akan merepotkan...” jawabku tegas.
Tiba-tiba hujan turun dengan deras dan semua iringan mobil pun tiba-tiba terhenti.
“Ada apa?” aku bergumam.
“Entahlah. Ayo kita turun...” ujar pak David. Kami semua pun turun ditengah hujan deras memeriksa apa yang tengah terjadi. Kulihat pak David mencoba berbicara dengan salah satu pimpinan SAR, mungkin untuk mencari informasi. Lalu tak lama pak David kembali.
“Semesta hati berkumpul semua!” seru pak David menyuruh seluruh anggota komunitas untuk segera berkumpul.
“Dengarkan semuanya! Jalan didepan amblas. Kendaraan tidak bisa menembus medan sekarang. Untuk sementara, kita menunggu keputusan dari pihak badan SAR nasional untuk intruksi selanjutnya.” Seru pak David lagi.
“Tapi pak... bagaimana dengan nasib para pengungsi nanti? Kita harus melakukan evakuasi secepatnya sebelum banjir ini memakan korban yang lebih banyak...” ujarku.
“Untuk saat ini kita tidak bisa berbuat apa-apa, karena baik medan maupun cuaca sama sekali tidak bersahabat. Saat ini jalan alternatif kita satu-satunya ada disana, berada di antara tebing-tebing, medannya pun tidak bisa dilalui kendaraan besar. Dan banjir di lokasi bukan sekedar banjir biasa. Dari informasi yang saya dengar, beberapa tanggul danau telah jebol dan kita tidak punya gambaran sama sekali tentang kondisinya. Kita tidak punya pilihan selain menunggu” jawab pak David.
“Tapi hanya sekedar diam disini saja bukanlah solusi pak...” ujarku. Pak David tampak geram, ia menarik kerah bajuku dan menatapku dalam.
“Dengarkan baik-baik bocah. Jika kamu ingin pergi menempuh bahaya disana, pergilah, tapi jangan libatkan kami didalamnya, keselamatan korban itu penting, tapi jika kamu sendiri hanya mengirimkan nyawa kamu maka kehadiran mayat kamu itu sama sekali tidak berguna bagi mereka”
“Jika itu adalah satu-satunya jalan. Jika itu masih mungkin untuk dilakukan. Maka pengorbanan itu pantas untuk diberikan!” ujarku bersikukuh. Pak David terdiam.
“Kamu tidak mengerti apa yang kamu bicarakan” pak David menatapku sinis.
“Sudahlah Raya! Kamu dengar apa kata ketua... medan disana tidak bisa dilalui kendaraan... kita tidak akan berhasil sampai disana sambil membawa bahan bantuan!” sanggah salah seorang anggota.
“Iya. Betul itu. Kita tidak bisa mengambil resiko dalam keadaan seperti ini” anggota yang lain ikut menimpali. Aku merasa tertekan. Tak ada yang mendukung pendapatku, aku benci seperti ini, terdiam tanpa melakukan apa-apa. Menyebalkan.
“Semesta adalah rumah. Hati adalah energi. Tak ada gunung, laut, atau badai topan sekalipun yang menghentikan langkah, karena resiko adalah tugas kami” aku berkata dengan nada lantang. Semua orang terdiam, bahkan pak David pun menoleh sesaat. “Itu kata-kata yang selalu bapak ucapkan... itu adalah slogan kita. Semesta hati” ujarku lagi. Kali ini semua orang benar-benar terdiam. Hening...
“Turunkan semua perbekalan dari mobil...” tiba-tiba pak David memberi instruksi. Akhirnya aku bisa sedikit tersenyum. Suasana menjadi sedikit riuh, perdebatan mulai terjadi diantara para anggota.
“Tapi pak. Itu tidak mungkin, saat ini hujan masih turun dan kita tidak tahu dengan kondisi medan di depan! Kita tidak bisa memaksakan diri membawa suplai dan bahan bantuan lain hanya dengan kekuatan tekad... saat ini bertindak realistis jauh lebih penting pak!”
“Pak David tolong pertimbangkan lagi keputusan bapak. Setidaknya kita harus merapatkan hal ini terdahulu dengan pihak badan SAR nasional, kita tidak bisa bertindak seenaknya tanpa seizin mereka” semua anggota tampak keberatan dengan keputusan pak David dan juga pendapatku. Pak David hanya menghela nafasnya dan menatapku lagi.
“Apa yang dikatakan oleh bocah tadi membuatku berpikir, benar, medan didepan sana tidak stabil dan berbahaya, namun, saat ini, saat kita tengah meributkan hal ini... masyarakat disana tengah terisolasi tanpa makanan juga air bersih dan mereka hanya bisa menunggu. Sedangkan lengan dan kaki kita masih berfungsi dengan baik. Melakukan apa yang bisa kita lakukan. Bawa semua yang bisa kita bawa, ambil peralatan seperlunya, sekarang juga kita pergi dari sini, yang tidak berani ikut, lebih baik diam disini dan tunggu instruksi selanjutnya. Dengar, seperti apapun itu kita tidak akan diizinkan pihak SAR untuk pergi sekarang, jadi mulai sekarang kalian ikuti perintah saya saja. Jangan lanjutkan perjalanan jika saya bilang berhenti. SEMESTA HATI! ARE YOU WITH ME?”
“Sejujurnya kata-kata itu norak sih pak, tapi... im with you sir...” ujarku seraya tersenyum dan mengacungkan kepalan tinjuku yang segera disambut dengan kepalan tinju yang lain. “So do i” ujar salah seorang anggota, lambat laun kepalan demi kepalan tangan kami saling menyatu dan kini kami berdiri membentuk sebuah lingkaran. Pak David tersenyum dengan mata yang berkaca-kaca.
“Lets do it boys!”
Kami pun meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki dan mengangkut perbekalan menggunakan kereta sorong dan roda- roda. Dengan roda-roda ini kami tidak perlu repot memikul beban. Dan begitulah, meski pada awalnya pihak SAR tidak setuju pada keputusan kami, namun kami sepakat untuk menjadi tim survey di barisan depan untuk memantau apa yang terjadi di lokasi bencana sebenarnya, pihak SAR pun menyetujui usul kami dengan menyertakan 10 anggotanya untuk mendampingi.
Hujan bertambah deras, derap sepatu bot terasa bergetar diantara tanah-tanah berbatu yang ada di sekitar kami. Tebing-tebing yang curam seolah hendak melahap kami bulat-bulat.
“Berhenti” tiba-tiba pak David memberi instruksi, semua relawan pun ikut menghentikan langkahnya tak terkecuali 10 anggota badan SAR nasional. Pak David mendongakan wajahnya ke atas, memperhatikan puncak tebing, dan dari bebatuan itu bergulir kerikil-kerikil kecil menuruni tebing.
“Ada apa?” salah satu anggota SAR bertanya.
“Tidak apa-apa, saya hanya merasa bahwa tebing ini sedikit... bergetar...” jawab pak David.
“Ya, hanya beberapa batu kerikil. Tidak masalah. Itu pasti karena sepatu bot dan roda-roda itu. Ah hujan ini tidak mau berhenti lagi, ayo kita lanjutkan!” seru anggota badan SAR nasional itu. Kami pun kembali melanjutkan perjalanan.
“Kau dengar apa katanya barusan?” ujarku pada seorang teman.
“Apa?”
“Kerikil-kerikil yang terjatuh itu. Pak David bahkan bisa merasakan getarannya... bukankah itu hebat?”
“Hebat apanya? Kamu ini. Ya, meskipun aku tidak sepenuhnya setuju harus melakukan ini, tapi kupikir pak David itu sedikit berlebihan...”
“Berlebihan? Berlebihan kenapa?”
“Kupikir dia terlalu khawatir, lihat, meskipun dinding-dinding tebing ini terlihat rapuh, kupikir tebing ini masih cukup kokoh... lihatlah” temanku itu pun menendang-nendang dinding tebing dengan sepatu botnya.
“See? Tebing ini bahkan cukup kuat untuk guncangan kecil seperti itu, tidak ada yang perlu dikhawatir...” belum selesai temanku itu berbicara, kami merasakan bahwa tanah yang kami pijak bergetar hebat, diiringi suara gemuruh yang muncul dari arah tebing.
“Apa yang terjadi?” ujarku
“Apa ini salahku?” ujar temanku lagi.
“Semuanya berlindung!” pak David berseru.
Semua teriakan jadi terdengar sayup-sayup, aku terkesima diantara kepanikan orang-orang. Bebatuan besar mulai bergulir menuruni tebing... tanah yang tergerus oleh hujan perlahan-lahan mulai turun... dalam detik-detik itu aku masih bisa melihat seberapa besar longsoran tebing yang hendak menelan kami. Semua jadi terlihat gelap... gelap... begitu sunyi... dan... sakit.
Hingga akhirnya sayup-sayup aku mendengar sebuah suara...
“Anata wa... daijobu?” suara perempuan. Suara ini tampak tidak asing di telingaku. Lambat laun mataku mulai menemukan titik cahaya, cahaya itu semakin meluas hingga kemudian terang benderang. Yang kulihat hanya rambut hitam panjang berkilau dan longdress panjang berwarna putih... perempuan itu tersenyum padaku...
“Kuntilanak Jepang, ngapain kamu disini?” ujarku begitu pelan.
“Yokattaa nee Raya-kun...” sekali lagi perempuan yang tampak seperti hantu itu mengucapkan kalimat yang tak kumengerti, lagipula darimana dia belajar bahasa itu? Apakah dia orang Jepang? Yang benar saja. Punggungku benar-benar terasa sakit dan kegelapan kembali menyelimuti pandanganku.
Entah sudah berapa lama, namun aku tahu betul bahwa aku masih hidup. Telingaku pun mulai menangkap suara dan hidungku mulai mencium aroma... lalu suara bip. Seperti nada tombol handphone. Bip... bip bip... bip bip... ah suara apa ini? Seperti berada dalam pesawat alien saja... bip... bip bip bip... bip bip bip... bipbipbipbip.... tiba-tiba frekuensi suara itu semakin merapat dan konstan, hidungku pun sudah bisa berdiplomasi dengan otak dan memastikan aroma apa yang ia cium... ini aroma obat-obatan... aroma rumah sakit... kucoba untuk membuka mata namun aku merasa mataku begitu lengket, sangat lengket sampai aku kesulitan untuk memastikan apa yang tengah kulihat... semua tampak buram...
“Raya?” sebuah suara tampak menyambutku.
“Raya! Kamu sudah sadar... Raya! Dokter... dokter...!!!” suara itu berteriak... sekarang aku ingat kalau itu suara ibuku. Mataku terasa mengeluarkan banyak air, lenganku... lenganku terasa begitu kaku dengan jarum infus yang masih menusuk. Aku... di rumah sakit... aku tidak begitu yakin dengan apa yang kuingat sekarang... semua tampak begitu lama kutinggalkan, seperti kenangan yang jauh atau tugas yang tertunda. Mengapa aku bisa ada disini? Kuusap kedua mataku yang berair, dan semua terlihat lebih jelas sekarang... aku melihat nenekku tersenyum, dan kakekku yang mengelus kepalaku.
“Syukurlah kamu sudah sadar...” kakekku tersenyum dengan mata yang berkaca-kaca.
“Kenapa saya ada disini?” ujarku.
“Sekarang kamu istirahat saja, tidak perlu memikirkan yang lain-lain. Ya?” nenekku berkata.
Namun sebuah televisi yang kebetulan menyala di ruangan itu kembali membangkitkan ingatanku. Sebuah tayangan berita tentang musibah banjir...
“Sampai saat ini jenazah korban banjir yang ditemukan berjumlah 45 orang dan diprediksi jumlahnya akan bertambah seiring pencarian korban oleh pihak Badan Sar Nasional...”
Apa? Sekarang aku ingat bahwa sebelum ini aku bersama teman-temanku tengah mengupayakan evakuasi korban banjir di sebuah desa... namun kami terhenti karena...
“Pak, ini matiinnya gimana...?” tiba-tiba nenekku tampak panik, televisi itu tergantung diatas dan ia tak sanggup menjangkaunya... kakekku pun segera mencari cara untuk mematikan televisi tersebut.
“Tunggu jangan dimatikan...” ujarku.
“Di lain pihak, korban longsor yang hendak memantau lokasi bencana banjir melalui jalur alternatif masih menjalani perawatan intensif di rumah sakit militer TNI AD, beruntung korban yang terdiri dari sebuah komunitas relawan dan sepuluh anggota BASARNAS dapat dievakuasi secepatnya mengingat jarak lokasi kejadian yang cukup dekat dengan tim evakuasi, sehingga para korban longsor bisa segera diselamatkan meski hingga kini satu orang diantaranya masih dinyatakan hilang”
“Pak cepetin matiin TVnya dong, langsung dicetrekin aja gitu...” nenekku masih bersikeras.
“Iya susah... remotenya mana remotenya...?” ujar kakekku, entah apa yang ingin mereka sembunyikan dariku, mungkin mereka takut aku mengalami trauma sehingga mereka bersikukuh ingin mematikan televisi tersebut, disisi lain mataku yang baru saja terbuka sudah terlanjur menyimak apa yang tersiar dalam berita tersebut.
Pak David. Benar juga, pak David... apa dia baik-baik saja?
“Salah satu korban longsor yang hingga kini belum ditemukan bernama David Moses, warga negara Amerika yang kemudian diketahui sebagai pendiri komunitas relawan Semesta Hati. Mengenai hal ini, ketua BASARNAS Pramudyo Laksono berkata bahwa tindakan evakuasi baik untuk korban banjir maupun longsor masih akan terus dilaksanakan, berikut petikan wawancara kami dengan ketua BASARNAS, Pramudyo Laksono...”
Plap. Televisi pun akhirnya dimatikan. Kakekku tengah menggenggam remote. Ibuku pun akhirnya kembali seraya memelukku dan disampingnya seseorang berpakaian layaknya dokter memegang stetoskop dan memeriksa tubuhku...
Setelah semua itu aku baru tahu bahwa aku telah mengalami koma selama 4 hari. Beberapa diantara temanku telah dipulangkan dari rumah sakit. Kini sebulan telah berlalu, tulang punggungku sudah sembuh. Namun kabar tentang pak David masih belum terungkap, terlebih lagi tidak ada satu pun petunjuk mengenai keluarganya di Amerika yang bisa dihubungi oleh pemerintah, meski begitu pihak Amerika sendiri menyatakan akan ikut andil dalam memberikan bantuan baik secara materil maupun tenaga ahli hingga akhirnya pihak BASARNAS memutuskan untuk menghentikan pencarian. Komunitas Semesta Hati secara resmi dibubarkan dengan menyisakan perasaan sesak di dada. Perasaan bersalah, dimana seandainya aku tidak bersikeras untuk pergi di tengah hujan deras pada saat itu, mungkin semua ini tidak pernah terjadi. Meski semua berlangsung berdasarkan kesepakatan bersama, namun perasaan bahwa semua ini disebabkan olehku itu masih ada... aku berperan besar dalam kematian pak David yang hingga kini masih misteri.
Kukayuh sepeda dengan kencang, diantara mobil-mobil yang berlalu. Sejenak, aku merasakan kekosongan. Pikiranku seolah melayang, bagaimanapun pak David telah mengisi satu ruang di hatiku yaitu sosok seorang ayah dan aku... aku telah kehilangan figur ayahku sejak masih kecil, namun aku masih ingat bagaimana caranya memainkan biola... dan seolah bayangan itu kembali muncul di kepalaku. Seolah dia masih ada. Dan tiba-tiba aku bisa mengingat setiap nada yang ia alunkan... nada yang begitu indah... nada yang membuatku...
            CKIITTTTT... BRAAAKKKKK!!!
            Terguncang. Aku merasakan guncangan yang amat hebat dan menyakitkan, aku terpental jauh dari sepedaku tapi ajaibnya aku merasa bahwa aku baik-baik saja. Suara klakson berbunyi disana-sini. Di jalan raya itu aku melihat orang-orang keluar dari mobilnya... kulihat sepedaku yang ringsek. Tadi pasti aku menabrak sesuatu... pikirku. Atau mungkin ada sesuatu yang menabrakku. Entahlah... lalu dari balik keramaian itu muncul sebuah mobil... mobil itu... Lamborghini Gallardo berwarna kuning... sama seperti mobil yang pernah kuimpikan! Mobil yang sangat keren... tapi tunggu, kenapa mobil itu tidak berhenti? Aku tengah berada di hadapannya dan dia melaju dengan kecepatan seperti itu, di tengah keramaian ini? Aku mendengar semua orang meneriakinya dan aku bisa melihat kepanikan sang sopir yang terlihat ugal-ugalan dan menabrak apapun yang berada disekitarnya dan kali ini... dia melaju kencang ke arahku? Yang benar saja!
Aku mengangkat kedua tanganku secara refleks karena tak sanggup untuk melihat. Aku sama sekali tidak menghindar dan aku... masih baik-baik saja? Mobil itu melaju begitu saja tanpa mengenaiku? Bagaimana mungkin? Hingga akhirnya aku tersadar setelah aku mendapati apa yang dikerumuni oleh orang-orang ini... aku melihat cairan serupa darah mengaliri aspal dan sesosok tubuh dengan mata terbelalak yang dari telinga maupun mulutnya juga mengeluarkan darah, sosok ini berpakaian sepertiku, setinggi aku dan berwajah sama seperti aku? Tunggu... apa... apakah itu aku? Lalu mobil Lamborghini dan sepedaku yang ringsek itu... jadi... aku telah...
mati?
Tak berapa lama secercah cahaya putih terang benderang mewarnai pandangan...

Mahasystem Chapter One
“Dreams”
End.