Sabtu, 09 Juli 2016

Mahasystem Chapter 3

Mahasystem
Chapter 3: The Blind Future

Apa yang melintas di benakmu saat terbersit di pikiranmu dua kata yaitu masa depan? Apakah kau berpikir tentang kehidupan yang menyenangkan, sejahtera, bahagia bersama keluarga? Atau hari-hari yang kelam yang ingin segera kau akhiri? Atau sesuatu yang sama sekali tak bisa kaugambarkan? Apakah itu sebuah misteri? Teka-teki atau justru sebuah kejutan? Orang bilang masa depan bisa kita prediksi, dengan berbagai macam hitungan statistik dan menghitung kemungkinan. Ada juga yang bilang bahwa untuk melihat hari esok kau harus bisa melihat makna dari hari ini. Lantas apakah jika manusia mampu melihat apa yang terjadi di masa depan, apakah dia memiliki kuasa untuk mengubahnya? Jika itu terjadi,  apakah manusia benar-benar memiliki kuasa atas waktu? Karena jika takdir atau karma itu ada, bukankah perubahan merupakan bagian dari takdir juga? Dan karma adalah akibat dari perubahan tersebut? Lantas bagaimana manusia bisa dengan lancang untuk menerka? Apakah kita harus mempercayai para peramal? Aku? Tidak. Bahkan aku tidak percaya ramalan. Namaku Mia. Mia Janita Amra. Dan selamat datang di kisah hidupku.
Aku menapaki jalan menuju rumah. Kira-kira tinggal 15 langkah lagi aku sampai disana. Dengan sedikit naluri kupastikan bahwa sebentar lagi aku sampai. 13… 14… 15… ah. Tepat 15 langkah, hadap kanan dan… ah ini dia. Tapi tunggu… tampaknya ada seseorang yang menghalangi jalanku.
“Kakak. Apakah itu kau?”
Tidak ada jawaban. Namun aku bisa merasakan dengan pasti suhu hangat didepanku. Aku mencoba melangkah ke samping kiri dan kananku tapi orang ini masih saja menghalangiku.
“Kak, aku tahu betul seperti apa ritme dari tarikan nafasmu… ini pasti dirimu. Tolong biarkan aku lewat kak…”
Masih tidak ada jawaban. Namun hawa hangat tadi kini terasa lebih dekat. Kali ini aroma asap rokok pun mulai menjamah penciumanku.
“Ba-baiklah… aku minta maaf. Aku… aku tak tahu harus bagaimana, ta-tapi tolong maafkan aku…” ucapku lagi.
“Kau tahu apa kesalahanmu?” akhirnya kakak perempuanku itu mulai menjawab.
“Aku… aku… euh, aku pergi tanpa izin?” jawabku sedikit gugup.
“Pergi tanpa izin? Apa kamu tahu ini sudah jam berapa? Sudah berjam-jam aku mondar-mandir di depan pintu. Seandainya kamu meminta izinku, apa kamu pikir akan kubiarkan kamu pergi keluar sana sendirian…?!” ujar kakakku lagi. Tampaknya dia sedikit marah kepadaku.
“Ja-jangan khawatir kak… sebenarnya aku sudah cukup hafal daerah sini. Dan lagi sebenarnya aku sudah… aku sudah terbiasa dengan keadaanku… aku… seandainya ada bahaya di sekitarku aku pasti sudah bisa mengetahui itu sebelumnya… jadi jangan khawatirkan ak…”
PLAAAK…!
Kakak menampar pipiku. Kemudian memelukku kencang. Jari jemarinya bergetar seraya meremas rambutku. Pundakku terasa basah… nafas kakakku terisak-isak. Dia pasti sedang menangis… aku tak tahu apa yang harus kulakukan… aku merasa tidak nyaman… lalu perlahan kakakku melepas pelukannya.
“Sudah terlalu banyak…”  ujarnya.
“Kak…”
“Terlalu banyak hal yang menghilang dari kehidupanku… maafkan tamparanku tadi… tapi aku memang benar-benar marah padamu”
“Aku benar-benar… minta maaf…”
“Dan aku benar-benar marah. Disisi lain aku bersyukur kamu tidak apa-apa. Sudahlah. Lagipula kamu sudah pulang sekarang… tidak ada laki-laki iseng yang menggodamu kan? Apa kamu baik-baik saja? Dari mana saja kamu ini? Kuharap kamu punya alasan bagus mengapa kamu tidak membiarkanku mengantarmu hari ini…”
“Maafkan aku, tapi tadi pagi kakak masih tidur… jadi terpaksa aku harus pergi sendiri”
“Begitukah? Lalu mengapa tidak kamu bangunkan aku? Atau menunggu aku terbangun begitu?
“Aku sudah mencoba membangunkanmu tapi…”
Kakakku termenung sejenak.
“Ya, ya, ya baiklah. Aku memang sulit dibangunkan lalu mengapa kamu tidak menungguku terbangun?” ujar kakakku lagi.
“Kak, kalau aku terlambat pergi tadi pagi aku akan kehabisan, ada diskon besar-besaran hari ini dan aku…”
“Diskon? Benarkah? Wah pantas saja kamu membawa banyak barang bawaan. Wah apa ini? Ini sepatu bot dan tas pinggang ini… untukku? Wah senangnyaaa” tiba-tiba kakakku mengubah nada bicaranya dan dengan cepat merebut semua jingjinganku.
“Sebenarnya aku memilihnya untuk kupakai sendiri tapi…”
“Wah ini bahkan terlihat cocok sekali padaku, aku heran bagaimana caramu memilih benda-benda ini tapi terima kasih yaa… haaah tahu begini kau siram saja aku dengan seember air tadi pagi… ah tapi kamu memang adikku yang paling manis, kamu selalu tahu benda apa yang paling kuinginkan selama ini”
“Ya ya baiklah… kakak pakai saja…” jawabku  dengan sedikit kesal. Seandainya kakakku bisa melihat wajah cemberutku ini aku tak tahu apakah dia masih peduli padaku. Yang benar saja, seenaknya mengambil barang milik orang. Dasar perempuan ini… eeurrgggh. Seandainya dia bukan kakakku pasti sudah kucubit-cubit pipinya sampai bengkak… lalu akan kujambak dia, kusiram, ku…
“Adikku yang manis, ayo masuk… kakakmu yang cantik dan baik hati ini sudah masak sup ayam untukmu… mari…” seru kakakku lagi.
“Semoga saja supnya tidak keasinan seperti tempo hari ya…” aku yang masih kesal mencoba bergumam.
“Mia… apa kamu mengucapkan sesuatu barusan…?”
“Ah tidak penting kak. Lupakan saja”
Begitulah kakak. Namanya Maya. Maya Shinta Diana. 31 tahun. Seorang wanita perokok dan juga peminum alkohol berat. Seorang janda yang ditinggal pergi suaminya entah kemana. Kami tinggal berdua. Ayahku wafat saat usiaku masih 14 tahun. Disusul ibuku yang meninggal tepat satu minggu setelah kakakku menikah. Kakakku sendiri terpaksa menikah dikarenakan ia terlanjur hamil oleh kekasihnya. Yang membuat hubungan mereka tampak dipaksakan dan tidak harmonis, hingga akhirnya percekcokan diantara mereka membuahkan kekerasan dalam rumah tangga. Kakakku terjatuh dan menyebabkannya keguguran. Ia mengalami pendarahan hebat sedangkan suaminya melarikan diri begitu saja. Itulah mengapa kakakku tidak mempercayai laki-laki dengan mudah dan tidak membiarkanku dekat dengan pria manapun. Aku sendiri sudah berusia 22 tahun dan aku kehilangan penglihatanku. Itu benar, aku buta. Aku mulai kehilangan penglihatanku sejak aku mulai bisa melakukan…
“Mia… kemarilah sebentar…”
“Ya kak?”
“Bisakah kamu mencoba memeriksa ini?”
“Mana kak?” aku mencoba untuk meraba-raba apa yang kak Maya sodorkan padaku. Teksturnya seperti sekumpulan kertas, sedikit licin, mungkin majalah.
“Ini… yang ini.” kak Maya mengarahkan jemariku pada sebuah gambar yang ia lihat… dan saat itulah… aku mulai merasakan sesuatu.
“Mall ini berada di sebuah tempat yang cukup strategis dan ramai. Mungkin peluang usahanya cukup bagus. Ah, satu lagi… mall ini baru akan dibuka dan diresmikan sekitar… hmm… sekitar sebulanan lagi kak. Kenapa?” ujarku.
“Apakah akan ada diskon seperti hari ini?” kakakku bertanya.
“Sayangnya aku tidak melihat petunjuk apapun mengenai hal itu kak”
“Hah… sayang sekali yaa…”
Melakukan itu. Aku mulai kehilangan penglihatanku sejak aku bisa melakukan itu. Entah bagaimana awalnya, namun kini hanya dengan menyentuh sebuah objek atau gambar, maka secara otomatis aku akan menerima beberapa gambaran di pikiranku, entah itu berupa informasi atau sebuah gambaran kejadian. Aku mengalaminya, yang sayangnya, aku harus kehilangan penglihatanku sejak saat itu. Dan dari kemampuan itulah kakakku mulai memanfaatkan kemampuanku ini untuk bertahan hidup. Tidak, bukan sebagai peramal. Lebih mirip seperti penjudi. Kita melakukan investasi kecil dalam beberapa hal. Emas, mata uang asing, dan kau tahu situs forex? Dengan kemampuan ini kita bisa meraup untung dalam memprediksi mata uang, naik turunnya harga saham dan di masa ini, kita bisa melakukan transaksi itu secara online tanpa harus terlibat dengan perusahaan yang nyata. Setiap investasi dilakukan dalam jumlah kecil, sehingga tidak terlalu mencolok. Kita tidak ingin diketahui. Karena jika kemampuanku ini sampai tersiar, tidak terbayang berapa banyak manusia serakah yang akan memanfaatkanku nanti. Kakakku melakukan semua yang tak bisa kulakukan. Disini kakakku berperan sebagai mataku. Dan dia tidak akan berbuat curang padaku, karena dia tahu aku akan mengetahuinya. Kakakku selalu berkata bahwa peramal sejati tidak akan menjual ramalannya, karena seharusnya ia bisa menguntungkan dirinya sendiri dengan kemampuannya. Tapi terkadang aku pernah juga meramal untuk orang lain, para tetanggaku. Seandainya ada hal buruk yang akan menimpa mereka, maka aku akan memperingatkannya. Dan sebenarnya tidak semua gambaran itu muncul secara disengaja, ada juga beberapa gambaran masa depan yang muncul secara tiba-tiba dan mendadak, seolah itu sebuah “daydreaming” atau ilusi disaat aku tidak melakukan aktivitas yang berkaitan dengan kemampuanku.
“Mia…” kakakku kembali memanggilku.
“Pria mana yang menurutmu cocok untukku? Erik Fabian atau Alex Rolland? Ah, tapi aku tidak suka Alex, mungkin Erik. Mungkin Erik lebih baik, dia kaya, tampan dan juga berprestasi, disisi lain dia juga orang yang sederhana, bagaimana menurutmu?” Tanya kakakku.
“Aku bahkan tidak mengenal mereka kak”
“Ah. Kau ini. mereka itu adalah dua pemuda yang cukup berpengaruh pada perusahaan-perusahaan besar di negeri ini. Seharusnya kamu tahu itu, kamu kan wanita dan kelak kamu harus menikah dengan pria yang kaya”
“Kukira kakak tidak tertarik membicarakan laki-laki”
“Tergantung. Jika kamu bisa mendapatkan mereka dan menjadikan mereka sebagai budak cintamu apa ruginya? Terlebih jika dia adalah orang kaya. Alex Rolland misalnya, mungkin dia seorang albino yang sangat sombong, tapi semenjak kebijakan pemerintah yang mengizinkan orang asing untuk menjadi kepala perusahaan BUMN di negeri ini, Rolland Wong, ayahnya yang merupakan warga negara Tiongkok dan perusahaannya Rolland Corporation, hendak mengakuisi perusahaan migas di negeri ini. Buruk bagi negeri ini, tapi jika kamu berhasil mendapatkan hati anaknya, Alex Rolland, yang merupakan warga negara Indonesia, maka kamu bisa punya segalanya.”
“Kakak hanya berpikir tentang uang. Apa bagusnya?”
“Ini untuk masa depanmu juga, dituliskan di majalah ini bahwa Alex merupakan anak pertama dari Rolland Wong yang baru ditemukan 5 tahun lalu. Dengan begitu, secara otomatis dia akan menjadi pewaris utama dari perusahaan Rolland. Sayangnya, pemuda ini dikenal dengan tabiat yang kurang baik, kasar terhadap wartawan, senang memamerkan kekayaan dan sangat sombong. Padahal, dulunya dia dikenal sebagai anak laki-laki yang hidup sederhana bersama ibu dan adik perempuannya. Mungkin, karena kekayaannya yang mendadak ditambah latar belakangnya yang selalu diremehkan orang itulah sifatnya mulai berubah menjadi lebih angkuh. Tapi lihat sisi baiknya, tidak ada wanita yang mau dekat dengannya… bukankah itu bagus? Mungkin saja kamu punya peluang untuk mendekatinya… dikabarkan, ayahnya itu juga dekat dengan presiden negeri ini. Akhir-akhir ini negeri ini memang begitu dekat dengan pengusaha-pengusaha China. Tinggal tunggu saja siapa tahu negara ini akan berubah menjadi negeri komunis nantinya… hohoho.”
“Hentikan itu kak. Aku tidak suka komunisme. Lalu siapa pria yang satunya? Erik?”
“Hahahaha. Aku bercanda. Erik Fabian. Kalau yang satu ini jatah kakak. Wajahnya tampan, keturunan bangsawan sejak dulu, jadinya tidak kaya mendadak seperti Alex. Ayahnya merupakan orang terkaya di negeri ini, ia memiliki perusahaan komunikasi, pertambangan, perkebunan kelapa sawit di Kalimantan sekaligus ketua partai politik di negeri ini. Sayangnya, berbeda dengan ayahnya, Erik sama sekali tidak berambisi dengan perusahaan atau politik. Ia adalah pria yang sederhana, bergerak di bidang franchise, ia berjuang sendiri untuk merintis sebuah bisnis kecil. Ia memiliki café yang khusus menyediakan kopi sebagai sajian utamanya. Dan café ini memiliki ratusan cabang di Indonesia. Ok, tampaknya bukan bisnis kecil kalau begitu. Ia berkepribadian ramah terhadap wartawan, disukai para wanita dan sangat rendah hati. Ia sendiri adalah seorang barista profesional. Kau tahu? Itu sebutan untuk orang yang ahli dalam menyajikan kopi yang berkualitas. Meski tampak remeh, barista adalah pekerjaan yang hanya bisa dipelajari bertahun-tahun…”
“Tapi apa mereka berdua akan tertarik pada perempuan biasa seperti kita? Sudahlah kak. Kita beruntung karena kita bisa meraup keuntungan dengan prediksi keuangan dan menjual uang dollar kita. Tapi aku sedih jika nilai tukar mata uang kita sendiri terus merosot seperti ini… orang-orang yang benar-benar berusaha di usaha kecil menengah terkena imbasnya. Seandainya aku bisa menjadi menteri ekonomi saat ini…”
“Nah. Itu. Itu dia. Kita bisa menggunakan kemampuanmu itu untuk mencari peluang mendekati mereka berdua… bagaimana?”
“A… apa maksudnya? Jangan konyol ah…”
“Dengan kemampuanmu, kita bisa melihat kelemahan pria-pria ini, apa yang mereka sukai, atau sisi paling sensitif dari kehidupan mereka, dengan begitu kita bisa mencari kesempatan untuk mendekati mereka seolah itu tidak sengaja, bagaimana?”
“Hal seperti itu… mana bisa dilakukan kak… kemampuan melihatku ini… aku tidak bisa mengendalikannya, aku tidak tahu informasi apa yang akan aku dapat dari menyentuh foto mereka, semua itu… diluar kendaliku kak…”
“Kalau begitu setidaknya kau mencobanya dulu… ini. Kau pegang majalahnya. Ini, sebelah sini” kakakku kembali mengarahkan tanganku pada foto kedua pria di majalah itu. Dan aku mulai mencoba untuk merasakan. Dan ini dia… gambaran itu…
“Seorang pria albino?” ujarku.
“Ya kamu benar… itu Alex. Seperti itulah dirinya…”
“Yang satu lagi… dia lumayan tampan…” ujarku lagi.
“Itu Erik. Ayolah apa tidak ada lagi informasi yang bisa kau sampaikan?” ujar kakakku.
“Sebentar” jawabku.
Gambaran itu mulai muncul. Seperti kilatan cahaya atau lintasan garis aurora, terkadang begitu jelas dan terkadang menjadi buram, semua tempat yang ada tampak berpindah begitu cepat, suara yang menggaung, bisikan, lalu… apa yang kulihat ini… membuat lenganku bergetar… aku terhenyak melihat gambaran ini sampai majalah itu terjatuh dari tanganku.
“Apa? Apa yang kau lihat?”
“…” aku tidak menjawab. Tanganku bergetar hebat dan tubuhku tiba-tiba menggigil.
“Mia… jangan membuatku takut. Ayo ceritakan apa yang kau lihat?”
“Kakak…”
“Apa?!”
“Kita… kita harus…”
“Apa? Kita harus apa?!”
“Kita harus mengingatkan mereka berdua kak!”
“Mengingatkan apa?”
“Lokasinya tidak jauh dari sini… itu… itu salah satu jalan protokol… itu pusat kota kak. Mereka…”
“Mereka… mereka apa? Lokasi apa? Mengingatkan apa?”
“Akan ada kecelakaan. Mereka terlibat didalamnya. Jika kita tidak mengingatkan atau mencegah mereka, mereka bisa tewas kak!”
“Apa?!”
“Waktunya dua hari dari sekarang… kita harus bisa menghentikannya kak!”
“Tunggu bukankah itu artinya… kita merubah takdir seseorang?”
“Apapun itu kak… selama kita bisa melakukan sesuatu atau apapun untuk mencegahnya… kita mungkin bisa menyelamatkan nyawa keduanya…”
“Tapi bagaimana? Kita tak pernah melakukan ini sebelumnya! Aku tidak masalah dengan prediksimu soal mata uang atau naik turunnya harga saham… kita hanya mengambil keuntungan dari mengetahuinya, tidak mengubah nilainya… tapi kematian? Percayalah adikku, itu adalah hal yang… besar… di luar kendali kita… apakah kau yakin tidak ada resiko apapun jika kita mengubahnya?”
“Setidaknya itu yang bisa kita lakukan! Apa yang menjadi kemampuanku itu pun merupakan bagian dari takdir kak! Dan aku yakin bahwa itu memiliki tujuan!”
“Kuharap kau benar… baiklah… pertama-tama apa yang harus kita lakukan?”
2 hari kemudian…
Kukenakan sunglass oval biru untuk menutupi kebutaanku, blus panjang berwarna coklat dan kupadukan dengan kulot panjang berwarna biru tua serta sandal bermotif kayu sebagai penutup.
“Hah. Lihat ini… adikku yang satu ini, seandainya dia bisa melihat kecantikannya hari ini… halloow… kita akan pergi menyelamatkan nyawa orang lain hari ini, apa kamu memang harus tampil vintage pada saat apapun? Kamu tampak seperti penyihir dari Korea…”
“Kakak sendiri, apa harus sewangi ini? Tidak biasanya… lagipula tas dan sepatu itu kan seharusnya aku yang pakai…”
“Sudah kubilang ini lebih cocok untukku. Memangnya kamu ingin bersaing denganku soal kecantikan? Setidaknya rambutku lebih panjang dan mempesona… ohoho…”
“Begitukah? Hei kakakku yang baik hatinya, rambutku memang hanya sebatas bahu, tapi perempuan berambut pendek itu lebih seksi tau!”
“Hah. Yang benar saja. Baiklah, kita lihat apakah si pria albino itu akan tertarik padamu atau tidak…”
“Apa? Enak saja… kakak saja yang berururusan dengannya. Aku ada janji dengan Erik”
“Erik itu jatahku. Sebagai adik, seharusnya kamu menghormati yang lebih tua”
“Dan sebagai kakak seharusnya kakak lebih sering mengalah…”
“Baiklah, biar adil. Kita lakukan ini berdua. Siapa yang harus kita kunjungi lebih dulu?”
“Erik. Dari foto di majalah ini aku bisa melihat bahwa dia tengah berada di salah satu kedai kopi miliknya, sekitar jalan Sudirman.
“Hanya beberapa menit dari sini. Ok, kita akan menaiki transportasi umum kalau begitu. Ah… itu saja… taksi!”
“Aku tidak percaya aku akan melakukan ini…”
“Apa yang akan kita lakukan?”
“Kita temui resepsionisnya, bagian kasir, pelayan atau apapun itu… lalu kita tanyakan apakah Erik ada disana”
“Lalu?”
“Begitu kita temukan dia, kita ceritakan kepadanya semuanya secara langsung tentang kemampuanmu dan apa yang tidak boleh ia lakukan… yaitu jangan berkendara sampai jam yang ditentukan. Dengan begitu dia bisa lolos”
Itu saja?”
“Ya itu saja”
“Tapi bagaimana jika dia tahu dengan kemampuanku, bukankah itu akan membuat kemampuanku ini terbongkar?”
“Kita tidak punya pilihan. Lagipula kita hanya mengingatkan, kita tidak bertanggung jawab atas takdir. Kau harus ingat itu. Dan santai saja, identitas kita tidak bisa begitu saja ia ketahui hanya dengan sekali lihat.”
Lalu sampailah kami di kedai kopi itu. Kakakku langsung bertanya pada pelayan resepsionis disana.
“Permisi, apa bapak Erik Fabian-nya ada?”
“Pak Erik baru saja datang. Apa sudah ada janji?”
“Belum, kami hanya mau menyapanya saja. Kami… penggemar…”
Tak berapa lama pelayan itu menuju meja bar dan mulai menelpon.
“Pak Erik, ada dua tamu yang datang mau bertemu bapak… ya… euh katanya… penggemar…. namanya nona…” pelayan itu sesaat menatap kami berdua.
“Maya” ujar kakakku.
“Dan Mia” sambungku.
“Nona Maya dan nona Mia… bagaimana?... baik… baiklah…”
“…”
“Kata pak Erik silahkan tunggu di meja kami. Kopi?”
“Ya… boleh… mungkin cappuccino dan…”
“Coffeelatte.”
“Satu cappuccino dan satu cofeelatte-nya akan segera disajikan, harap menunggu sebentar”
Akhirnya kami berdua hanya terduduk di tempat yang telah disediakan.
“Bagaimana ini, kita duduk menunggu saja disini atau bagaimana? Aku sudah terlanjur berkata bahwa kita ini penggemarnya, uh rasanya bukankah itu sedikit memalukan?” seru kakakku dengan sedikit panik.
“Aku ini buta kak, dan aku berharap aku tak perlu melihat kejadian ini” jawabku.
“Ah… kamu ini. Tidak membantuku sama sekali. Aku sedang panik, entah kenapa aku tidak setenang barusan… haaah. Semoga saja aku masih cantik, semoga saja aku masih cantik…”
“Cantik atau tidak, tidak ada hubungannya kak, kita disini bukan untuk…”
“Pssst!! Diamlah!” tiba-tiba kakakku mencubit lenganku.
“Halo nona nona cantik… apa ada yang bisa aku bantu?”
“…” suara itu muncul, dan tak ada yang bisa mengucapkan sepatah katapun, baik aku maupun kakakku. Kami berdua terdiam. Membeku.
“Euh… apa kalian baik-baik saja?” Erik mulai bertanya.
“Oh. Ah. Iya. Perkenalkan, namaku Maya, dan ini… ini adikku Mia” jawab kakakku.
“Senang berjumpa denganmu” ujarku seraya menganggukan kepala. Bahkan untuk wanita buta sepertiku, aku masih sedikit canggung mendengar suaranya. Mungkin itu karena kakakku selalu menjauhkanku dari pria-pria yang mendekatiku. Jadinya ini terasa aneh.
“So… here iam… hehehe… kudengar kalian penggemarku. Apa itu benar?” ujar Erik lagi.
“Ya… ya… euh bisakah… kami meminta foto selfie bareng denganmu? Sebagai kenang-kenangan…” jawab kakakku.
“Tentu, dimana? Disini? Seperti ini?” aku merasakan suhu hangat disampingku. Tubuh pria ini harum… dan wanginya menenangkan. Lalu sebuah kilatan cahaya. Mataku masih bisa merasakannya, flash kamera itu. “Sekali lagi?” lalu kilatan cahaya itu muncul kembali.
“Sudah?” ujarnya lagi.
“Ah… iya, su… sudah…” jawab kakakku.
“E… Erik? Bisakah…” ujarku tertahan.
“Ya…?” jawab Erik. Kulepaskan kacamataku, membiarkannya tahu warna pupil dan kebutaanku. Aku bisa merasakan ia terkejut, ia menarik nafasnya dengan cepat dan dalam, namun akhirnya ia tenang kembali.
“Aku buta… aku tidak bisa melihatmu, jadi bisakah aku menyentuh wajahmu sekali saja?” ujarku.
“Mia!” seru kakakku.
“Ah, jangan khawatir, tidak apa-apa silahkan saja” jawab Erik. Perlahan kubiarkan jemariku meraba wajah itu, rasanya menyenangkan. Aku bisa dengan cepat mengetahui kalau dia orang baik.
“Kamu lebih tampan dibanding foto yang ada di majalah” ujarku.
“Mia!” kakakku berseru lagi.
“Tidak. Tidak apa-apa, terus? Sudah puas menyentuhku?”
“Ah iya. Maaf. Rupanya kamu penyayang binatang juga, kamu memelihara seekor anjing” jawabku.
“Waw. Kalian benar-benar penggemarku atau memang memata-mataiku? Hahaha ya, ya, ya, namanya Barky, anjingku. Tapi setahuku aku tidak pernah mengeksposnya ke media, bagaimana kamu bisa…?”
“Ehem. Baiklah, pak Erik, biar aku jelaskan situasinya padamu” ujar kakakku. “Kami bukanlah penggemarmu… kami datang kemari juga bukan karena ingin berfoto denganmu… kami mohon padamu untuk percaya…” ujar kakakku.
“Apa… apa maksudnya? Aku tidak mengerti. Kalian bukan penggemar, jadi kalian…” ujar Erik lagi. Tampaknya ia mulai keheranan dengan maksud kami berdua.
“Adikku ini… dia, meskipun dia buta, kenyataannya dia bisa melihat masa depan… ya, mungkin ini terdengar konyol, tapi percayalah dia melakukannya. Dan dia telah melihat masa depanmu. Dan kami memohon, untuk kebaikanmu, janganlah bepergian dalam waktu…”
“Kurang lebih dua jam lagi…” sambungku.
“Ya, dua jam lagi. Kenapa? Karena menurut adikku ini kau akan mengalami kecelakaan hebat yang akan merenggut nyawamu. Jika kamu punya rencana untuk berpergian tundalah itu sampai 3 jam lagi… dan jangan coba-coba menggunakan mobil… mobil apa?”
“Aku tidak tahu jenis mobilnya, tapi yang jelas itu berwarna kuning…” sambungku lagi.
“Ya warna kuning. Warna kematian… cobalah untuk tidak menggunakannya hari ini. Karena itu berbahaya untukmu. Begitulah, kami kemari hanya untuk mengingatkanmu…” ujar kakakku.
“Wo wo wo. Ladies, wait a minute, jangan hanya karena adik kecilmu ini…”
“Mia. Namaku Mia”
“Yeah, whatever, jangan berpikir hanya karena dia bisa menebak bahwa aku memelihara seekor anjing, lantas aku harus percaya pada kalian…” jawab Erik.
“Percaya atau tidak kami serahkan padamu. Namun tolong pikirkan, tidak ada ruginya sama sekali jika kamu mau menurut…” ujar kakakku lagi.
“Tidak ada ruginya? Sebentar lagi akan ada rapat pemegang saham perusahaan BUMN, keputusan untuk mengakuisisi perusahaan itu ada padaku, sebagai wakil dari ayahku, Rizal Fabian. Jika aku tidak hadir, perusahaan itu akan jatuh ke tangan asing. Rolland Company… meskipun aku tidak menyukai bisnis ayahku, tapi aku tidak bisa membiarkan perusahaan migas dalam negeri berada dalam kekuasaan pihak asing… jutaan rakyat Indonesia akan berharap pada keputusan ini…” jawab Erik.
Aku dan kakakku terdiam. Lalu kami pun bangkit dari kursi kami.
“Well. Kalau begitu tampaknya takdirmu tidak bagus. Kami juga tidak bisa memaksamu… ayo Mia…” seru kakakku, aku menoleh sebentar.
“Tapi kak…” ujarku.
“Sudahlah… tak ada yang bisa kita lakukan dengan takdir, setidaknya kita masih bisa mengingatkan satu orang lagi…” jawab kakakku
“Tunggu dulu…” ujar Erik. “Kalian… kalian pasti mata-mata perusahaan bukan?”
“Apa?” aku dan kakakku langsung menoleh ke belakang.
“Kalian berdua… pasti mata-mata perusahaan Rolland. Kalian ingin mencegahku pergi pada rapat hari ini betul begitu kan?” ujar Erik lagi.
“Dengan segala hormat pak Erik… kami tidak datang dengan misi tertentu selain untuk kebaikanmu…!” seru kakakku.
“Kebaikan apa? Dengar, aku memiliki kemampuan photographic memory dan sebagai barista aku juga memiliki penciuman yang tajam… jika kalian terbukti berbohong, aku bisa menemukan kalian…” ujar Erik lagi.
“Apa kau mengancam?” seru kakakku. Kurasakan ia langsung menarik lenganku dan mengambil posisi di depan. Tampaknya dia berusaha melindungiku.
“Parfum yang kamu gunakan… itu Issey Miyake… L’eau D’Issey bukan?” ujar Erik lagi.
“Apa?” kakakku sepertinya terkejut dengan pernyataan Erik itu, entah kebetulan atau bagaimana, itu memang merk parfumnya.
“Dan kamu, si cenayang, kamu menggunakan parfum Escape… For Men. Apa aku benar? Seperti yang kalian tahu, aku bisa menganalisa semua tentang kalian hanya dengan sekali lihat. Tas dan sepatu bot barumu, juga kacamata dan blus adikmu itu, aku tahu dimana kalian membelinya. Sisa benang karet di jaketmu itu. Aromanya seperti pengharum yang digunakan dalam mobil, benang dari safety belt mobil, aku tahu. Kalian pasti naik taksi. Ini pengharum yang biasa mereka gunakan. Dan dari aroma parfum yang memuai ini aku bisa menebak berapa lama kalian mulai memakainya di pakaian kalian. Sekitar satu jam. Yang harus kulakukan hanya mengecek jalur tercepat taksi tersebut, dan aku sudah bisa mengetahui lokasi awal kalian menaikinya… dan satu hal lagi. Mobil berwarna kuning? Itu konyol, siapa yang mau memakainya? Dengar, jika kalian terbukti berbohong, aku akan membuat sketsa wajah kalian dan menyerahkannya pada yang berwajib untuk tuduhan perlakuan tidak menyenangkan”
Kakakku menarik nafas dalam. Bagaimanapun, itu analisa yang mengejutkan.
“Erik Fabian. Sejujurnya, aku benar-benar kecewa kamu bersikap seperti ini… tadinya aku menyukaimu, tapi sekarang… tidak lagi.” Ujar kakakku.
“Yah. Aku juga.” Sambungku.
“Pintu keluar ke arah sana… silahkan” ujar Erik lagi.
Kami segera meninggalkan tempat itu, sang pelayan menghalangi kami seraya membawa pesanan kopinya.
“Ko… kopinya mbak…?”
“Tidak jadi!” jawab kakakku.
Kami pun pergi dengan perasaan kecewa. “Sekarang apa? Kamu telah membuatku kehilangan mukaku tadi, hah. Mobil berwarna kuning katanya. Dia bahkan tidak memilikinya, mau apa kita sekarang? Menemui konglomerat muda satunya lagi, Alex? Mempermalukanku lagi? Haaah…” kakakku mulai mengeluh. “Maaf kak. Tapi aku enggak tahu akan seperti ini jadinya.” Ujarku. “Yah, semoga saja Erik hanya bercanda soal mengadukan kita berdua ke polisi… yang benar saja, analisanya itu… dia menakutkan.” Jawab kakakku lagi. “Selanjutnya kita kemana?” kakakku bertanya. “Alex… dia sedang menuju sebuah restoran cepat saji… di jalan Gatot Subroto” jawabku. “Aku tahu tempat itu… ayo kita kesana…” seru kakakku.
Raja Burger, satu jam setengah sebelum insiden.
“Coba kamu sentuh foto itu lagi, kira-kira berapa lama lagi dia akan sampai?” seru kakakku. Aku pun mencoba menyentuh foto itu lagi dan kemudian berusaha merasakan keberadaannya.
“Dia… dia sudah datang…” jawabku.
“Apa?”
“Dia ada dibelakang kita!”
Kakakku pun mulai menoleh ke arah belakang meja kami, “Bagaimana kak, apa dia benar-benar ada disana?”
“Ya, aku melihatnya… arah jam 7 darimu Mia, dia datang bersama seseorang…”
“Temannya?”
“Entahlah, ia sedikit tampak lebih tua darinya, mungkin sopirnya atau bisa juga itu asistennya, yang menjadi pertanyaanku, mengapa orang kaya sombong sepertinya mau makan di restoran cepat saji seperti ini?” Kakakku bertanya heran. Tiba-tiba sebuah suara mulai terdengar di telinga kami.
“Kau tahu Hardi, sejak kecil aku selalu ingin makan di tempat ini, Hamburger ini, ini enak, ayo cobalah…”
“Tapi den…” sambung suara lainnya.
“Ayoo makanlah”
“Den…”
“Ayo aaaaa”
“Aaamm”
“Enak kan?”
“Apa suara gaduh itu berasal darinya?” aku bertanya. Kakakku tampak terkekeh-kekeh menahan tawa. “Iya… pfft… dia lucu sekali, si Alex itu, dia menyuapi temannya sampai pipinya kembung… pffftt hahaha”
“Temannya memanggilnya dengan sebutan den, mungkin dia semacam anak buahnya begitu?”
“Mungkin saja, tapi pfftt… dia seolah tidak peduli dengan lingkungan sekitarnya… ini adalah hubungan bos dan anak buah yang paling aneh yang pernah kulihat… hahaha” kakakku masih saja tertawa kecil menyaksikan tingkah Alex di belakangku.
“Aku tidak tahu mengapa orang-orang menyebut ini sebagai makanan sampah, padahal ini enak sekali” suara Alex kembali berceloteh.
“Mwnurutmwu bwegitwu?” suara dari lawan bicaranya sedikit tidak jelas. Tampaknya mulutnya itu masih penuh dengan makanan.
“Ya benar, meskipun aku tahu bahwa makanan ini tidak sebaik yang selalu kau hidangkan di rumah, tapi aku mensyukurinya, maksudku, akhirnya aku merasakannya, kau tentu tidak pernah makan bakwan dengan minyak bercampur plastik bukan?”
“…” tak ada jawaban.
“Itu benar, aku pernah melihatnya, seorang pedagang memasukan plastik ke minyaknya, dan hasilnya, bakwan itu memang terasa lebih renyah, atau bakso dengan boraks, mie formalin dengan saus pepaya busuk, atau apapun itu, bagaimana kita menyebutnya jika burger senikmat ini saja bisa disebut sampah?” Tanya Alex lagi.
“Tapi den…”
“Tapi tapi… tapi apa?”
“Tapi rapat hari ini…”
“Rapat lagi, rapat lagi, apa hanya itu yang ada di pikiranmu sekarang? Sudahlah biarkan saja PT Fabian Jaya yang mendapatkan perusahaan itu, aku tidak peduli…”
“Tapi den, juragan…”
“Apa? Ayahku? Jangan pikirkan dia… tugasmu disini adalah menjadi asisten pribadiku. Ok?”
“Tapi saya bisa dipecat juragan, den…”
“Aku yang akan bertanggung jawab. Apa kau tahu kondisi kita tidak menguntungkan? Orang-orang memiliki sentiment pada perusahaan ayahku, tahu sebabnya? Itu karena ayahku orang China. Apa kau tahu berapa banyak China memberikan pekerja kasar tanpa keahlian ke negeri ini? 24.000 orang… untuk satu perusahaannya, aku bukan bermaksud rasis karena aku pun orang keturunan, tapi darahku berasal dari merahnya Indonesia dan aku tahu betul apa itu kemiskinan… 33000 orang pengangguran dalam satu wilayah kecil, bukan provinsi, setiap perusahaan melakukan PHK massal… kita berada di masa krisis kau mengerti itu? Jika perusahaan migas milik negara sampai jatuh ke tangan kita… aku takut itu akan menyebabkan revolusi di negeri ini…”
“Lalu bagaimana dengan juragan?”
“Biar aku yang mengurusnya, kita akan beralasan bahwa kita kalah dalam tender pada rapat pemegang saham, PT Fabian Jaya akan mendapatkan restu dari direksi perusahaan dan kementerian BUMN… kita tidak perlu menghalangi mereka…”
“Tapi apa itu tidak apa-apa den? PT Fabian Jaya bukanlah perusahaan dengan track record yang bagus, banyak isu korupsi mencuat disana, masih ingat dengan tragedi di pertambangan milik mereka? Ribuan warga terkena dampak dari pengrusakan lingkungan yang mereka lakukan, banjir tempo hari diakibatkan hilangnya resapan air dan jebolnya tanggul sebuah danau… semua terjadi setelah mereka menjamah tanah itu… ditambah lagi isu pembakaran lahan hutan yang dilakukan perkebunan kelapa sawit mereka, belum lagi kenyataan soal pekerjanya yang merupakan bagian dari sanak family. Jika kita membiarkan manajemen perusahaan migas negeri ini ke tangan mereka, apa yang akan mereka lakukan selain menaikan harga bahan bakar minyak? Ini akan menyengsarakan rakyat. Apa aden yakin akan membiarkan hal itu terjadi?”
“Kau benar… aku jadi bingung sekarang, aku tak tahu kenapa negeri ini bukan hanya membiarkan dirinya terjajah secara ekonomi oleh pihak asing, tapi juga digerogoti oleh anaknya sendiri…”
“Tidak den… bukan anaknya, tapi para pemimpinnya. Aden adalah anak Indonesia, sudah saatnya aden menunjukan ke-Indonesiaan aden selama ini…”
Alex terdiam sejenak.
“Kau benar Hardi, kita harus mengambil tindakan… ayo kita siapkan mobil” jawab Alex
“Tunggu dulu…” seru kakakku seraya mendatangi kedua orang itu.
“Siapa kalian?” Alex bertanya.
“Perkenalkan namaku Maya dan ini adikku… Mia”
“Hardi, apa kamu mengenal mereka?”
“Tidak den…”
“Aku tidak punya waktu banyak jadi jika ada yang kalian inginkan, selesaikan secepatnya”
“Kami berdua juga bermaksud begitu, namun sebelum itu tolong dengar permintaan kami”
“Sumbangan? Dana amal? Hardi urus orang-orang ini dengan baik, jika mereka hanya menginginkan uang beri saja mereka secukupnya. Aku malas berbasa-basi…”
“Apa katamu? Uang? Apa hanya itu yang dipikirkan olehmu? Dengar bocah albino, kami kesini bukan untuk meminta apapun darimu, kami hanya ingin menghentikanmu untuk pergi dari sini!”
“Hey, jangan melawak disini, berapa yang harus kubayar, sebutkan saja.”
Kakak lalu mengambil segelas cola dan menyiramkannya ke kepala Alex. Aku berusaha menenangkannya.
“Hey, pakaianku, apa yang kalian lakukan… dengar kalian harus bertanggung jawab atas ini…”
“Maafkan aku, anda harus percaya pada kami, jika anda pergi nyawa anda bisa terancam…” ujarku.
“Apa maksudmu nyawaku terancam? Kalianlah yang telah merusak hidupku sekarang… rambutku… pakaianku… ini jas Armani! Kalian harus ganti rugi! Hardi usir mereka dari hadapanku!”
“Permisi nona-nona tapi kalian sebaiknya tidak disini”
“Pak, setidaknya bapak harus percaya, mobil itu, mobil sedan hitam itu jika Alex memakainya maka ia akan mengalami kecelakaan dalam waktu satu setengah jam lagi…”
“Apa?”
“Itu benar pak! Tolong percayalah pada kami…”
“Den…”
“Jangan dengarkan mereka Hardi, mobil itu bukan mobil sembarangan, itu adalah seri Audi R8 mobil semacam itu sudah pasti aman, mereka hanya orang iseng, jangan dengarkan mereka”
Kakakku kemudian mengambil pisau dari meja yang biasa digunakan untuk memotong steak.
“Ayo Mia, jika kita tidak bisa menyelamatkannya, pisau ini mungkin bisa…”
“Ka-kakak…”
“Hey apa yang akan kalian lakukan dengan pisau itu…!! Hey!!” Alex berteriak.
Kakakku langsung menuju mobil milik Alex yang disebutkan tadi, dan dengan pisau tadi ia lalu…
DDUUAAARRR!!!
Tampaknya kakakku merobek ban mobil itu sampai meletus.
“Apa yang kalian lakukan?! Hey Hardi ayo kejar mereka! Jangan diam saja disitu! Ayo kejar!”
“Mia! Ayo lari!”
Kami berdua pun lari dari kejaran mereka berdua, beruntung kami bisa bersembunyi dibalik semak-semak di dalam sebuah cafe, membuat Alex dan rekannya berlari terus melewati kami.
“Sekarang bagaimana?”
“Mungkin lebih baik kita menuju lokasi kejadian perkara, jalan Soekarno-Hatta!”
Jalan Soekarno-Hatta beberapa menit sebelum insiden.
“Tadi itu… menegangkan sekali bukan? Haah… haaah… kita berurusan dengan dua konglomerat muda karena penglihatanmu itu. Sekarang kita lihat apakah takdir yang kau lihat itu benar adanya…” ujar kakakku.
“Yah… tapi… ada yang aneh”
“Aneh? Apa?”
“Saat aku menyentuh mobil Alex… aku tidak mendapatkan penglihatan apapun soal kecelakaan”
“Yah barangkali… itu artinya dia akan selamat… kita sudah menggembosi ban mobilnya ingat?”
“Tapi tetap saja, ada yang janggal… saat aku menyentuh wajah Erik, aku masih bisa merasakan bahwa ia akan mengalami kecelakaan itu… tapi Alex, aku memang tidak menyentuhnya, tapi aku tahu betul bahwa mobil yang akan bertabrakan itu adalah mobil yang sama yang kita gembosi tadi…”
“Sudahlah saat ini kita harus berpikir positif, Erik sendiri yang bilang bahwa dia tidak pernah memiliki mobil berwarna kuning seperti yang kamu katakan… kita tunggu saja… berapa lama lagi?”
Kakakku menyodorkan jam tangannya, dan aku berusaha membacanya.
“Sekitar 15 menit lagi…”
“Waw. Lihat itu, tadi aku hanya mengetesmu, rupanya kau lebih hebat dari yang kukira, kau bisa membaca jam tanganku… dan rupanya waktunya tidak berubah, semua terjadi pada jam 1 siang ini, baiklah itu sebentar lagi kan?”
15 menit kemudian
“Sudah jam 1. Tidak ada tanda-tanda akan kemunculan kecelakaan..”
“Tunggu, entah kenapa aku masih merasa was-was… ada yang aneh… kita tunggu sebentar lagi…”
15 menit berikutnya
“Hey, ini sudah jam 1 lebih seperempat… sudahlah, kecelakaan itu tidak terjadi, thanks for us… kita berhasil menyelamatkan dua pemuda dari kecelakaan ini dan sebagai gantinya Erik dan Alex mungkin akan mengincar kita karena telah…”
“Kumohon tunggu dulu kak… mata… mataku… rasanya… sakit sekali…”
“Mi… mia… apa kau tidak apa-apa?”
“Mataku… entahlah… rasanya sakit…”
“Ba… bagaimana ini… kita… ah kita pergi ke rumah sakit saja, kita lupakan dulu soal ini…”
“Tidak kak, tunggu… tunggu dulu… sebentar lagi…”
15 menit selanjutnya. Pukul 13.30
“Mataku… aaarrrgghh…”
“Persetan sudah… ayo kita pergi, aku tak tahan jika harus melihatmu kesakitan seperti ini…”
Kakakku kemudian memapahku untuk berjalan.
“Tidak kak… aku masih bisa merasakannya…”
“Sudahlah…”
Kriing…kriing…kriing… tiba-tiba suara bel sepeda ontel melintas diantara kami…
“Suara itu… suara itu rasanya aku pernah mendengarnya…”
“Apa? Hanya suara sepeda, sudahlah… jangan berpikir yang lain-lain dulu… ini sudah jam setengah dua… baru kali ini ramalanmu bisa dirubah hasilnya… hahahaha…”
“Tidak, biasanya, itu tidak pernah terjadi, aku berpikir bahwa hasilnya mungkin bisa berubah, tapi aku tidak tahu kalau waktunya akan berubah juga…”
Kakakku terdiam dan menghentikan langkahnya.
“Kak…”
“Sial… sial… sial….”
“Kak?”
“Aku lupa…”
“Kakak lupa?”
“Selama ini agar aku tidak selalu terlambat dan bangun kesiangan, aku selalu mempercepat waktu jamku sekitar setengah jam…”
“Itu artinya…”
Barulah aku ingat. Aku mendengar suara bel sepeda itu dalam penglihatanku… ya, aku mendengarnya, itu artinya, kejadian itu memang akan terjadi dan sesaat kami berdua terdiam, tiba-tiba suara mesin kencang sebuah mobil terdengar… disusul suara hantaman keras yang kemudian disambut dengan jeritan dan pekik kesakitan. Aku seolah bahkan dalam kebutaanku, aku telah melihat sebuah kejadian yang mengerikan… sebuah suara yang menggaung, benturan logam yang terhempas… semua suara itu… semua suara itu telah kudengar dari penglihatanku sebelumnya…
“Tidak… Mia…”
“Ka… kakak..”
“Aku… aku melihatnya… sepeda tadi… dan itu… itu Erik… ia… dia…”
“A… ada apa kak? To… tolong jelaskan… tolong jelaskan apa yang terjadi kak…”
“Sepeda… Erik… dia…”
“…”
“Erik mengendarai mobil kuning yang kau sebutkan itu dan menabrak pemuda bersepeda yang melintasi kita tadi…”
“A… apa…?”
“E… Erik juga melarikan diri… dia melarikan diri dengan mobilnya…”
“Lalu… lalu apa yang terjadi dengan pemuda bersepeda tadi kak?”
“Keadaannya… tampaknya ia sudah tak terselamatkan… ia mengalami pendarahan parah…”
“Bagaimana ini… apa yang harus kita lakukan sekarang?”
“Ayo… kita pergi… kita tidak boleh berada disini…”
“Tapi kak…”
“Kubilang ayo pergi! Apa kau ingin bersaksi atas kejadian ini? Wajah kita telah diketahui oleh Erik ingat? Dia tidak akan melepaskan kita sekarang… sama sepertinya, kita juga harus lari dari masalah ini… kuharap pengendara sepeda itu baik-baik saja… jika Erik sampai terjerat hukum, kesaksiannya tentang pertemuannya dengan kita akan merepotkan… sebaliknya jika ia selamat, maka Erik akan mengincar kita untuk menggunakan kemampuanmu…”
Itulah lucunya masa depan. Kita tak pernah tau masa depan akan berpihak pada siapa, tidak peduli apakah kau bisa mengubahnya atau tidak. Karena sejatinya waktu terus berubah, takdir tidak terpaku dari apa yang harus terjadi, melainkan apa yang telah diusahakan. Takdir tidak memihak. Begitu juga dengan kematian, tak ada diskriminasi disini. Tak ada kompromi. Aku dan kakakku mungkin telah mengubah takdir, namun hasilnya sama saja. Kematian. Tidak penting apakah nilainya satu atau dua jiwa, kematian tidak bisa ditunda. Seperti ucapanku pertama kali. Terkadang takdir, tidak berkaitan dengan perubahan. Karena perubahan pada takdir hakekatnya adalah takdir itu sendiri. Dan jika ada karma, maka apa karma buatku? Aku telah kehilangan penglihatanku dan penglihatanku yang lain tidak memiliki manfaat banyak. Pada akhirnya, kami telah lari dari masa depan yang telah kami ciptakan.

Mahasytem Chapter Three
“The Blind Future”
End.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar