Mahasystem
Chapter 3: The Blind Future
Apa
yang melintas di benakmu saat terbersit di pikiranmu dua kata yaitu
masa depan? Apakah kau berpikir tentang kehidupan yang
menyenangkan, sejahtera, bahagia bersama keluarga? Atau hari-hari yang kelam
yang ingin segera kau akhiri? Atau sesuatu yang sama sekali tak bisa
kaugambarkan? Apakah itu sebuah misteri? Teka-teki atau justru sebuah kejutan?
Orang bilang masa depan bisa kita prediksi, dengan berbagai macam hitungan
statistik dan menghitung kemungkinan. Ada juga yang bilang bahwa untuk melihat
hari esok kau harus bisa melihat makna dari hari ini. Lantas apakah jika
manusia mampu melihat apa yang terjadi di masa depan, apakah dia memiliki kuasa
untuk mengubahnya? Jika itu terjadi, apakah
manusia benar-benar memiliki kuasa atas waktu? Karena jika takdir atau karma
itu ada, bukankah perubahan merupakan bagian dari takdir juga? Dan karma adalah
akibat dari perubahan tersebut? Lantas bagaimana manusia bisa dengan lancang
untuk menerka? Apakah kita harus mempercayai para peramal? Aku? Tidak. Bahkan
aku tidak percaya ramalan. Namaku Mia. Mia Janita Amra. Dan selamat datang di
kisah hidupku.
Aku
menapaki jalan menuju rumah. Kira-kira tinggal 15 langkah lagi aku sampai
disana. Dengan sedikit naluri kupastikan bahwa sebentar lagi aku sampai. 13…
14… 15… ah. Tepat 15 langkah, hadap kanan dan… ah ini dia. Tapi tunggu…
tampaknya ada seseorang yang menghalangi jalanku.
“Kakak.
Apakah itu kau?”
Tidak
ada jawaban. Namun aku bisa merasakan dengan pasti suhu hangat didepanku. Aku mencoba
melangkah ke samping kiri dan kananku tapi orang ini masih saja menghalangiku.
“Kak,
aku tahu betul seperti apa ritme dari tarikan nafasmu… ini pasti dirimu. Tolong
biarkan aku lewat kak…”
Masih
tidak ada jawaban. Namun hawa hangat tadi kini terasa lebih dekat. Kali ini
aroma asap rokok pun mulai menjamah penciumanku.
“Ba-baiklah…
aku minta maaf. Aku… aku tak tahu harus bagaimana, ta-tapi tolong maafkan aku…”
ucapku lagi.
“Kau
tahu apa kesalahanmu?” akhirnya kakak perempuanku itu mulai menjawab.
“Aku…
aku… euh, aku pergi tanpa izin?” jawabku sedikit gugup.
“Pergi
tanpa izin? Apa kamu tahu ini sudah jam berapa? Sudah berjam-jam aku
mondar-mandir di depan pintu. Seandainya kamu meminta izinku, apa kamu pikir
akan kubiarkan kamu pergi keluar sana sendirian…?!” ujar kakakku lagi.
Tampaknya dia sedikit marah kepadaku.
“Ja-jangan
khawatir kak… sebenarnya aku sudah cukup hafal daerah sini. Dan lagi sebenarnya
aku sudah… aku sudah terbiasa dengan keadaanku… aku… seandainya ada bahaya di
sekitarku aku pasti sudah bisa mengetahui itu sebelumnya… jadi jangan
khawatirkan ak…”
PLAAAK…!
Kakak
menampar pipiku. Kemudian memelukku kencang. Jari jemarinya bergetar seraya
meremas rambutku. Pundakku terasa basah… nafas kakakku terisak-isak. Dia pasti
sedang menangis… aku tak tahu apa yang harus kulakukan… aku merasa tidak
nyaman… lalu perlahan kakakku melepas pelukannya.
“Sudah
terlalu banyak…” ujarnya.
“Kak…”
“Terlalu
banyak hal yang menghilang dari kehidupanku… maafkan tamparanku tadi… tapi aku
memang benar-benar marah padamu”
“Aku
benar-benar… minta maaf…”
“Dan
aku benar-benar marah. Disisi lain aku bersyukur kamu tidak apa-apa. Sudahlah.
Lagipula kamu sudah pulang sekarang… tidak ada laki-laki iseng yang menggodamu
kan? Apa kamu baik-baik saja? Dari mana saja kamu ini? Kuharap kamu punya
alasan bagus mengapa kamu tidak membiarkanku mengantarmu hari ini…”
“Maafkan
aku, tapi tadi pagi kakak masih tidur… jadi terpaksa aku harus pergi sendiri”
“Begitukah?
Lalu mengapa tidak kamu bangunkan aku? Atau menunggu aku terbangun begitu?
“Aku
sudah mencoba membangunkanmu tapi…”
Kakakku
termenung sejenak.
“Ya,
ya, ya baiklah. Aku memang sulit dibangunkan lalu mengapa kamu tidak menungguku
terbangun?” ujar kakakku lagi.
“Kak,
kalau aku terlambat pergi tadi pagi aku akan kehabisan, ada diskon
besar-besaran hari ini dan aku…”
“Diskon?
Benarkah? Wah pantas saja kamu membawa banyak barang bawaan. Wah apa ini? Ini
sepatu bot dan tas pinggang ini… untukku? Wah senangnyaaa” tiba-tiba kakakku
mengubah nada bicaranya dan dengan cepat merebut semua jingjinganku.
“Sebenarnya
aku memilihnya untuk kupakai sendiri tapi…”
“Wah
ini bahkan terlihat cocok sekali padaku, aku heran bagaimana caramu memilih
benda-benda ini tapi terima kasih yaa… haaah tahu begini kau siram saja aku
dengan seember air tadi pagi… ah tapi kamu memang adikku yang paling manis,
kamu selalu tahu benda apa yang paling kuinginkan selama ini”
“Ya
ya baiklah… kakak pakai saja…” jawabku
dengan sedikit kesal. Seandainya kakakku bisa melihat wajah cemberutku
ini aku tak tahu apakah dia masih peduli padaku. Yang benar saja, seenaknya
mengambil barang milik orang. Dasar perempuan ini… eeurrgggh. Seandainya dia
bukan kakakku pasti sudah kucubit-cubit pipinya sampai bengkak… lalu akan
kujambak dia, kusiram, ku…
“Adikku
yang manis, ayo masuk… kakakmu yang cantik dan baik hati ini sudah masak sup
ayam untukmu… mari…” seru kakakku lagi.
“Semoga
saja supnya tidak keasinan seperti tempo hari ya…” aku yang masih kesal mencoba
bergumam.
“Mia…
apa kamu mengucapkan sesuatu barusan…?”
“Ah
tidak penting kak. Lupakan saja”
Begitulah
kakak. Namanya Maya. Maya Shinta Diana. 31 tahun. Seorang wanita perokok dan
juga peminum alkohol berat. Seorang janda yang ditinggal pergi suaminya entah
kemana. Kami tinggal berdua. Ayahku wafat saat usiaku masih 14 tahun. Disusul
ibuku yang meninggal tepat satu minggu setelah kakakku menikah. Kakakku sendiri
terpaksa menikah dikarenakan ia terlanjur hamil oleh kekasihnya. Yang membuat
hubungan mereka tampak dipaksakan dan tidak harmonis, hingga akhirnya
percekcokan diantara mereka membuahkan kekerasan dalam rumah tangga. Kakakku
terjatuh dan menyebabkannya keguguran. Ia mengalami pendarahan hebat sedangkan
suaminya melarikan diri begitu saja. Itulah mengapa kakakku tidak mempercayai
laki-laki dengan mudah dan tidak membiarkanku dekat dengan pria manapun. Aku
sendiri sudah berusia 22 tahun dan aku kehilangan penglihatanku. Itu benar, aku
buta. Aku mulai kehilangan penglihatanku sejak aku mulai bisa melakukan…
“Mia…
kemarilah sebentar…”
“Ya
kak?”
“Bisakah
kamu mencoba memeriksa ini?”
“Mana
kak?” aku mencoba untuk meraba-raba apa yang kak Maya sodorkan padaku.
Teksturnya seperti sekumpulan kertas, sedikit licin, mungkin majalah.
“Ini…
yang ini.” kak Maya mengarahkan jemariku pada sebuah gambar yang ia lihat… dan
saat itulah… aku mulai merasakan sesuatu.
“Mall
ini berada di sebuah tempat yang cukup strategis dan ramai. Mungkin peluang
usahanya cukup bagus. Ah, satu lagi… mall ini baru akan dibuka dan diresmikan
sekitar… hmm… sekitar sebulanan lagi kak. Kenapa?” ujarku.
“Apakah
akan ada diskon seperti hari ini?” kakakku bertanya.
“Sayangnya
aku tidak melihat petunjuk apapun mengenai hal itu kak”
“Hah…
sayang sekali yaa…”
Melakukan
itu. Aku mulai kehilangan penglihatanku sejak aku bisa melakukan itu. Entah
bagaimana awalnya, namun kini hanya dengan menyentuh sebuah objek atau gambar,
maka secara otomatis aku akan menerima beberapa gambaran di pikiranku, entah
itu berupa informasi atau sebuah gambaran kejadian. Aku mengalaminya, yang
sayangnya, aku harus kehilangan penglihatanku sejak saat itu. Dan dari
kemampuan itulah kakakku mulai memanfaatkan kemampuanku ini untuk bertahan
hidup. Tidak, bukan sebagai peramal. Lebih mirip seperti penjudi. Kita
melakukan investasi kecil dalam beberapa hal. Emas, mata uang asing, dan kau
tahu situs forex? Dengan kemampuan ini kita bisa meraup untung dalam
memprediksi mata uang, naik turunnya harga saham dan di masa ini, kita bisa
melakukan transaksi itu secara online tanpa harus terlibat dengan perusahaan
yang nyata. Setiap investasi dilakukan dalam jumlah kecil, sehingga tidak
terlalu mencolok. Kita tidak ingin diketahui. Karena jika kemampuanku ini
sampai tersiar, tidak terbayang berapa banyak manusia serakah yang akan
memanfaatkanku nanti. Kakakku melakukan semua yang tak bisa kulakukan. Disini
kakakku berperan sebagai mataku. Dan dia tidak akan berbuat curang padaku,
karena dia tahu aku akan mengetahuinya. Kakakku selalu berkata bahwa peramal
sejati tidak akan menjual ramalannya, karena seharusnya ia bisa menguntungkan
dirinya sendiri dengan kemampuannya. Tapi terkadang aku pernah juga meramal
untuk orang lain, para tetanggaku. Seandainya ada hal buruk yang akan menimpa
mereka, maka aku akan memperingatkannya. Dan sebenarnya tidak semua gambaran
itu muncul secara disengaja, ada juga beberapa gambaran masa depan yang muncul
secara tiba-tiba dan mendadak, seolah itu sebuah “daydreaming” atau ilusi
disaat aku tidak melakukan aktivitas yang berkaitan dengan kemampuanku.
“Mia…”
kakakku kembali memanggilku.
“Pria
mana yang menurutmu cocok untukku? Erik Fabian atau Alex Rolland? Ah, tapi aku
tidak suka Alex, mungkin Erik. Mungkin Erik lebih baik, dia kaya, tampan dan
juga berprestasi, disisi lain dia juga orang yang sederhana, bagaimana
menurutmu?” Tanya kakakku.
“Aku
bahkan tidak mengenal mereka kak”
“Ah.
Kau ini. mereka itu adalah dua pemuda yang cukup berpengaruh pada
perusahaan-perusahaan besar di negeri ini. Seharusnya kamu tahu itu, kamu kan
wanita dan kelak kamu harus menikah dengan pria yang kaya”
“Kukira
kakak tidak tertarik membicarakan laki-laki”
“Tergantung.
Jika kamu bisa mendapatkan mereka dan menjadikan mereka sebagai budak cintamu
apa ruginya? Terlebih jika dia adalah orang kaya. Alex Rolland misalnya,
mungkin dia seorang albino yang sangat sombong, tapi semenjak kebijakan
pemerintah yang mengizinkan orang asing untuk menjadi kepala perusahaan BUMN di
negeri ini, Rolland Wong, ayahnya yang merupakan warga negara Tiongkok dan
perusahaannya Rolland Corporation, hendak mengakuisi perusahaan migas di negeri
ini. Buruk bagi negeri ini, tapi jika kamu berhasil mendapatkan hati anaknya,
Alex Rolland, yang merupakan warga negara Indonesia, maka kamu bisa punya
segalanya.”
“Kakak
hanya berpikir tentang uang. Apa bagusnya?”
“Ini
untuk masa depanmu juga, dituliskan di majalah ini bahwa Alex merupakan anak
pertama dari Rolland Wong yang baru ditemukan 5 tahun lalu. Dengan begitu,
secara otomatis dia akan menjadi pewaris utama dari perusahaan Rolland.
Sayangnya, pemuda ini dikenal dengan tabiat yang kurang baik, kasar terhadap wartawan,
senang memamerkan kekayaan dan sangat sombong. Padahal, dulunya dia dikenal
sebagai anak laki-laki yang hidup sederhana bersama ibu dan adik perempuannya.
Mungkin, karena kekayaannya yang mendadak ditambah latar belakangnya yang
selalu diremehkan orang itulah sifatnya mulai berubah menjadi lebih angkuh.
Tapi lihat sisi baiknya, tidak ada wanita yang mau dekat dengannya… bukankah
itu bagus? Mungkin saja kamu punya peluang untuk mendekatinya… dikabarkan,
ayahnya itu juga dekat dengan presiden negeri ini. Akhir-akhir ini negeri ini memang
begitu dekat dengan pengusaha-pengusaha China. Tinggal tunggu saja siapa tahu
negara ini akan berubah menjadi negeri komunis nantinya… hohoho.”
“Hentikan
itu kak. Aku tidak suka komunisme. Lalu siapa pria yang satunya? Erik?”
“Hahahaha.
Aku bercanda. Erik Fabian. Kalau yang satu ini jatah kakak. Wajahnya tampan,
keturunan bangsawan sejak dulu, jadinya tidak kaya mendadak seperti Alex.
Ayahnya merupakan orang terkaya di negeri ini, ia memiliki perusahaan
komunikasi, pertambangan, perkebunan kelapa sawit di Kalimantan sekaligus ketua
partai politik di negeri ini. Sayangnya, berbeda dengan ayahnya, Erik sama
sekali tidak berambisi dengan perusahaan atau politik. Ia adalah pria yang sederhana,
bergerak di bidang franchise, ia berjuang sendiri untuk merintis sebuah bisnis
kecil. Ia memiliki café yang khusus menyediakan kopi sebagai sajian utamanya.
Dan café ini memiliki ratusan cabang di Indonesia. Ok, tampaknya bukan bisnis
kecil kalau begitu. Ia berkepribadian ramah terhadap wartawan, disukai para
wanita dan sangat rendah hati. Ia sendiri adalah seorang barista profesional.
Kau tahu? Itu sebutan untuk orang yang ahli dalam menyajikan kopi yang
berkualitas. Meski tampak remeh, barista adalah pekerjaan yang hanya bisa dipelajari
bertahun-tahun…”
“Tapi
apa mereka berdua akan tertarik pada perempuan biasa seperti kita? Sudahlah
kak. Kita beruntung karena kita bisa meraup keuntungan dengan prediksi keuangan
dan menjual uang dollar kita. Tapi aku sedih jika nilai tukar mata uang kita
sendiri terus merosot seperti ini… orang-orang yang benar-benar berusaha di
usaha kecil menengah terkena imbasnya. Seandainya aku bisa menjadi menteri
ekonomi saat ini…”
“Nah.
Itu. Itu dia. Kita bisa menggunakan kemampuanmu itu untuk mencari peluang mendekati
mereka berdua… bagaimana?”
“A…
apa maksudnya? Jangan konyol ah…”
“Dengan
kemampuanmu, kita bisa melihat kelemahan pria-pria ini, apa yang mereka sukai,
atau sisi paling sensitif dari kehidupan mereka, dengan begitu kita bisa
mencari kesempatan untuk mendekati mereka seolah itu tidak sengaja, bagaimana?”
“Hal
seperti itu… mana bisa dilakukan kak… kemampuan melihatku ini… aku tidak bisa
mengendalikannya, aku tidak tahu informasi apa yang akan aku dapat dari
menyentuh foto mereka, semua itu… diluar kendaliku kak…”
“Kalau
begitu setidaknya kau mencobanya dulu… ini. Kau pegang majalahnya. Ini, sebelah
sini” kakakku kembali mengarahkan tanganku pada foto kedua pria di majalah itu.
Dan aku mulai mencoba untuk merasakan. Dan ini dia… gambaran itu…
“Seorang
pria albino?” ujarku.
“Ya
kamu benar… itu Alex. Seperti itulah dirinya…”
“Yang
satu lagi… dia lumayan tampan…” ujarku lagi.
“Itu
Erik. Ayolah apa tidak ada lagi informasi yang bisa kau sampaikan?” ujar
kakakku.
“Sebentar”
jawabku.
Gambaran
itu mulai muncul. Seperti kilatan cahaya atau lintasan garis aurora, terkadang
begitu jelas dan terkadang menjadi buram, semua tempat yang ada tampak
berpindah begitu cepat, suara yang menggaung, bisikan, lalu… apa yang kulihat
ini… membuat lenganku bergetar… aku terhenyak melihat gambaran ini sampai
majalah itu terjatuh dari tanganku.
“Apa?
Apa yang kau lihat?”
“…”
aku tidak menjawab. Tanganku bergetar hebat dan tubuhku tiba-tiba menggigil.
“Mia…
jangan membuatku takut. Ayo ceritakan apa yang kau lihat?”
“Kakak…”
“Apa?!”
“Kita…
kita harus…”
“Apa?
Kita harus apa?!”
“Kita
harus mengingatkan mereka berdua kak!”
“Mengingatkan
apa?”
“Lokasinya
tidak jauh dari sini… itu… itu salah satu jalan protokol… itu pusat kota kak.
Mereka…”
“Mereka…
mereka apa? Lokasi apa? Mengingatkan apa?”
“Akan
ada kecelakaan. Mereka terlibat didalamnya. Jika kita tidak mengingatkan atau
mencegah mereka, mereka bisa tewas kak!”
“Apa?!”
“Waktunya
dua hari dari sekarang… kita harus bisa menghentikannya kak!”
“Tunggu
bukankah itu artinya… kita merubah takdir seseorang?”
“Apapun
itu kak… selama kita bisa melakukan sesuatu atau apapun untuk mencegahnya… kita
mungkin bisa menyelamatkan nyawa keduanya…”
“Tapi
bagaimana? Kita tak pernah melakukan ini sebelumnya! Aku tidak masalah dengan
prediksimu soal mata uang atau naik turunnya harga saham… kita hanya mengambil
keuntungan dari mengetahuinya, tidak mengubah nilainya… tapi kematian?
Percayalah adikku, itu adalah hal yang… besar… di luar kendali kita… apakah kau
yakin tidak ada resiko apapun jika kita mengubahnya?”
“Setidaknya
itu yang bisa kita lakukan! Apa yang menjadi kemampuanku itu pun merupakan
bagian dari takdir kak! Dan aku yakin bahwa itu memiliki tujuan!”
“Kuharap
kau benar… baiklah… pertama-tama apa yang harus kita lakukan?”
2 hari kemudian…
Kukenakan
sunglass oval biru untuk menutupi kebutaanku, blus panjang berwarna coklat dan
kupadukan dengan kulot panjang berwarna biru tua serta sandal bermotif kayu sebagai
penutup.
“Hah.
Lihat ini… adikku yang satu ini, seandainya dia bisa melihat kecantikannya hari
ini… halloow… kita akan pergi menyelamatkan nyawa orang lain hari ini, apa kamu
memang harus tampil vintage pada saat
apapun? Kamu tampak seperti penyihir dari Korea…”
“Kakak
sendiri, apa harus sewangi ini? Tidak biasanya… lagipula tas dan sepatu itu kan
seharusnya aku yang pakai…”
“Sudah
kubilang ini lebih cocok untukku. Memangnya kamu ingin bersaing denganku soal
kecantikan? Setidaknya rambutku lebih panjang dan mempesona… ohoho…”
“Begitukah?
Hei kakakku yang baik hatinya, rambutku memang hanya sebatas bahu, tapi
perempuan berambut pendek itu lebih seksi tau!”
“Hah.
Yang benar saja. Baiklah, kita lihat apakah si pria albino itu akan tertarik
padamu atau tidak…”
“Apa?
Enak saja… kakak saja yang berururusan dengannya. Aku ada janji dengan Erik”
“Erik
itu jatahku. Sebagai adik, seharusnya kamu menghormati yang lebih tua”
“Dan
sebagai kakak seharusnya kakak lebih sering mengalah…”
“Baiklah,
biar adil. Kita lakukan ini berdua. Siapa yang harus kita kunjungi lebih dulu?”
“Erik.
Dari foto di majalah ini aku bisa melihat bahwa dia tengah berada di salah satu
kedai kopi miliknya, sekitar jalan Sudirman.
“Hanya
beberapa menit dari sini. Ok, kita akan menaiki transportasi umum kalau begitu.
Ah… itu saja… taksi!”
“Aku
tidak percaya aku akan melakukan ini…”
“Apa
yang akan kita lakukan?”
“Kita
temui resepsionisnya, bagian kasir, pelayan atau apapun itu… lalu kita tanyakan
apakah Erik ada disana”
“Lalu?”
“Begitu
kita temukan dia, kita ceritakan kepadanya semuanya secara langsung tentang
kemampuanmu dan apa yang tidak boleh ia lakukan… yaitu jangan berkendara sampai
jam yang ditentukan. Dengan begitu dia bisa lolos”
“Itu
saja?”
“Ya
itu saja”
“Tapi
bagaimana jika dia tahu dengan kemampuanku, bukankah itu akan membuat
kemampuanku ini terbongkar?”
“Kita
tidak punya pilihan. Lagipula kita hanya mengingatkan, kita tidak bertanggung
jawab atas takdir. Kau harus ingat itu. Dan santai saja, identitas kita tidak
bisa begitu saja ia ketahui hanya dengan sekali lihat.”
Lalu
sampailah kami di kedai kopi itu. Kakakku langsung bertanya pada pelayan
resepsionis disana.
“Permisi,
apa bapak Erik Fabian-nya ada?”
“Pak
Erik baru saja datang. Apa sudah ada janji?”
“Belum,
kami hanya mau menyapanya saja. Kami… penggemar…”
Tak
berapa lama pelayan itu menuju meja bar dan mulai menelpon.
“Pak
Erik, ada dua tamu yang datang mau bertemu bapak… ya… euh katanya… penggemar….
namanya nona…” pelayan itu sesaat menatap kami berdua.
“Maya”
ujar kakakku.
“Dan
Mia” sambungku.
“Nona
Maya dan nona Mia… bagaimana?... baik… baiklah…”
“…”
“Kata
pak Erik silahkan tunggu di meja kami. Kopi?”
“Ya…
boleh… mungkin cappuccino dan…”
“Coffeelatte.”
“Satu
cappuccino dan satu cofeelatte-nya akan segera disajikan, harap menunggu
sebentar”
Akhirnya
kami berdua hanya terduduk di tempat yang telah disediakan.
“Bagaimana
ini, kita duduk menunggu saja disini atau bagaimana? Aku sudah terlanjur
berkata bahwa kita ini penggemarnya, uh rasanya bukankah itu sedikit
memalukan?” seru kakakku dengan sedikit panik.
“Aku
ini buta kak, dan aku berharap aku tak perlu melihat kejadian ini” jawabku.
“Ah…
kamu ini. Tidak membantuku sama sekali. Aku sedang panik, entah kenapa aku
tidak setenang barusan… haaah. Semoga saja aku masih cantik, semoga saja aku
masih cantik…”
“Cantik
atau tidak, tidak ada hubungannya kak, kita disini bukan untuk…”
“Pssst!!
Diamlah!” tiba-tiba kakakku mencubit lenganku.
“Halo
nona nona cantik… apa ada yang bisa aku bantu?”
“…”
suara itu muncul, dan tak ada yang bisa mengucapkan sepatah katapun, baik aku
maupun kakakku. Kami berdua terdiam. Membeku.
“Euh…
apa kalian baik-baik saja?” Erik mulai bertanya.
“Oh.
Ah. Iya. Perkenalkan, namaku Maya, dan ini… ini adikku Mia” jawab kakakku.
“Senang
berjumpa denganmu” ujarku seraya menganggukan kepala. Bahkan untuk wanita buta
sepertiku, aku masih sedikit canggung mendengar suaranya. Mungkin itu karena
kakakku selalu menjauhkanku dari pria-pria yang mendekatiku. Jadinya ini terasa
aneh.
“So…
here iam… hehehe… kudengar kalian penggemarku. Apa itu benar?” ujar Erik lagi.
“Ya…
ya… euh bisakah… kami meminta foto selfie bareng denganmu? Sebagai
kenang-kenangan…” jawab kakakku.
“Tentu,
dimana? Disini? Seperti ini?” aku merasakan suhu hangat disampingku. Tubuh pria
ini harum… dan wanginya menenangkan. Lalu sebuah kilatan cahaya. Mataku masih
bisa merasakannya, flash kamera itu. “Sekali lagi?” lalu kilatan cahaya itu
muncul kembali.
“Sudah?”
ujarnya lagi.
“Ah…
iya, su… sudah…” jawab kakakku.
“E…
Erik? Bisakah…” ujarku tertahan.
“Ya…?”
jawab Erik. Kulepaskan kacamataku, membiarkannya tahu warna pupil dan
kebutaanku. Aku bisa merasakan ia terkejut, ia menarik nafasnya dengan cepat
dan dalam, namun akhirnya ia tenang kembali.
“Aku
buta… aku tidak bisa melihatmu, jadi bisakah aku menyentuh wajahmu sekali
saja?” ujarku.
“Mia!”
seru kakakku.
“Ah,
jangan khawatir, tidak apa-apa silahkan saja” jawab Erik. Perlahan kubiarkan
jemariku meraba wajah itu, rasanya menyenangkan. Aku bisa dengan cepat
mengetahui kalau dia orang baik.
“Kamu
lebih tampan dibanding foto yang ada di majalah” ujarku.
“Mia!”
kakakku berseru lagi.
“Tidak.
Tidak apa-apa, terus? Sudah puas menyentuhku?”
“Ah
iya. Maaf. Rupanya kamu penyayang binatang juga, kamu memelihara seekor anjing”
jawabku.
“Waw.
Kalian benar-benar penggemarku atau memang memata-mataiku? Hahaha ya, ya, ya,
namanya Barky, anjingku. Tapi setahuku aku tidak pernah mengeksposnya ke media,
bagaimana kamu bisa…?”
“Ehem.
Baiklah, pak Erik, biar aku jelaskan situasinya padamu” ujar kakakku. “Kami
bukanlah penggemarmu… kami datang kemari juga bukan karena ingin berfoto
denganmu… kami mohon padamu untuk percaya…” ujar kakakku.
“Apa…
apa maksudnya? Aku tidak mengerti. Kalian bukan penggemar, jadi kalian…” ujar
Erik lagi. Tampaknya ia mulai keheranan dengan maksud kami berdua.
“Adikku
ini… dia, meskipun dia buta, kenyataannya dia bisa melihat masa depan… ya,
mungkin ini terdengar konyol, tapi percayalah dia melakukannya. Dan dia telah
melihat masa depanmu. Dan kami memohon, untuk kebaikanmu, janganlah bepergian
dalam waktu…”
“Kurang
lebih dua jam lagi…” sambungku.
“Ya,
dua jam lagi. Kenapa? Karena menurut adikku ini kau akan mengalami kecelakaan
hebat yang akan merenggut nyawamu. Jika kamu punya rencana untuk berpergian
tundalah itu sampai 3 jam lagi… dan jangan coba-coba menggunakan mobil… mobil
apa?”
“Aku
tidak tahu jenis mobilnya, tapi yang jelas itu berwarna kuning…” sambungku
lagi.
“Ya
warna kuning. Warna kematian… cobalah untuk tidak menggunakannya hari ini.
Karena itu berbahaya untukmu. Begitulah, kami kemari hanya untuk
mengingatkanmu…” ujar kakakku.
“Wo
wo wo. Ladies, wait a minute, jangan hanya karena adik kecilmu ini…”
“Mia.
Namaku Mia”
“Yeah,
whatever, jangan berpikir hanya karena dia bisa menebak bahwa aku memelihara
seekor anjing, lantas aku harus percaya pada kalian…” jawab Erik.
“Percaya
atau tidak kami serahkan padamu. Namun tolong pikirkan, tidak ada ruginya sama
sekali jika kamu mau menurut…” ujar kakakku lagi.
“Tidak
ada ruginya? Sebentar lagi akan ada rapat pemegang saham perusahaan BUMN,
keputusan untuk mengakuisisi perusahaan itu ada padaku, sebagai wakil dari
ayahku, Rizal Fabian. Jika aku tidak hadir, perusahaan itu akan jatuh ke tangan
asing. Rolland Company… meskipun aku tidak menyukai bisnis ayahku, tapi aku
tidak bisa membiarkan perusahaan migas dalam negeri berada dalam kekuasaan
pihak asing… jutaan rakyat Indonesia akan berharap pada
keputusan ini…” jawab Erik.
Aku
dan kakakku terdiam. Lalu kami pun bangkit dari kursi kami.
“Well.
Kalau begitu tampaknya takdirmu tidak bagus. Kami juga tidak bisa memaksamu…
ayo Mia…” seru kakakku, aku menoleh sebentar.
“Tapi
kak…” ujarku.
“Sudahlah…
tak ada yang bisa kita lakukan dengan takdir, setidaknya kita masih bisa
mengingatkan satu orang lagi…” jawab kakakku
“Tunggu
dulu…” ujar Erik. “Kalian… kalian pasti mata-mata perusahaan bukan?”
“Apa?”
aku dan kakakku langsung menoleh ke belakang.
“Kalian
berdua… pasti mata-mata perusahaan Rolland. Kalian ingin mencegahku pergi pada
rapat hari ini betul begitu kan?” ujar Erik lagi.
“Dengan
segala hormat pak Erik… kami tidak datang dengan misi tertentu selain untuk
kebaikanmu…!” seru kakakku.
“Kebaikan
apa? Dengar, aku memiliki kemampuan photographic memory dan sebagai barista aku
juga memiliki penciuman yang tajam… jika kalian terbukti berbohong, aku bisa
menemukan kalian…” ujar Erik lagi.
“Apa
kau mengancam?” seru kakakku. Kurasakan ia langsung menarik lenganku dan
mengambil posisi di depan. Tampaknya dia berusaha melindungiku.
“Parfum
yang kamu gunakan… itu Issey Miyake… L’eau D’Issey bukan?” ujar Erik lagi.
“Apa?”
kakakku sepertinya terkejut dengan pernyataan Erik itu, entah kebetulan atau
bagaimana, itu memang merk parfumnya.
“Dan
kamu, si cenayang, kamu menggunakan parfum Escape… For Men. Apa aku benar?
Seperti yang kalian tahu, aku bisa menganalisa semua tentang kalian hanya
dengan sekali lihat. Tas dan sepatu bot barumu, juga kacamata dan blus adikmu
itu, aku tahu dimana kalian membelinya. Sisa benang karet di jaketmu itu. Aromanya
seperti pengharum yang digunakan dalam mobil,
benang dari safety belt mobil, aku tahu. Kalian pasti naik taksi. Ini pengharum yang biasa mereka gunakan. Dan dari aroma
parfum yang memuai ini aku bisa menebak berapa lama kalian mulai memakainya di
pakaian kalian. Sekitar satu jam. Yang harus kulakukan hanya mengecek jalur
tercepat taksi tersebut, dan aku sudah bisa mengetahui lokasi awal kalian
menaikinya… dan satu hal lagi. Mobil berwarna kuning? Itu konyol, siapa yang
mau memakainya? Dengar, jika kalian terbukti berbohong, aku akan membuat sketsa
wajah kalian dan menyerahkannya pada yang berwajib untuk tuduhan perlakuan
tidak menyenangkan”
Kakakku
menarik nafas dalam. Bagaimanapun, itu analisa yang mengejutkan.
“Erik
Fabian. Sejujurnya, aku benar-benar kecewa kamu bersikap seperti ini… tadinya
aku menyukaimu, tapi sekarang… tidak lagi.” Ujar kakakku.
“Yah.
Aku juga.” Sambungku.
“Pintu
keluar ke arah sana… silahkan” ujar Erik lagi.
Kami
segera meninggalkan tempat itu, sang pelayan menghalangi kami seraya membawa
pesanan kopinya.
“Ko…
kopinya mbak…?”
“Tidak
jadi!” jawab kakakku.
Kami
pun pergi dengan perasaan kecewa. “Sekarang apa? Kamu telah membuatku kehilangan
mukaku tadi, hah. Mobil berwarna kuning katanya. Dia bahkan tidak memilikinya,
mau apa kita sekarang? Menemui konglomerat muda satunya lagi, Alex?
Mempermalukanku lagi? Haaah…” kakakku mulai mengeluh. “Maaf kak. Tapi aku
enggak tahu akan seperti ini jadinya.” Ujarku. “Yah, semoga saja Erik hanya
bercanda soal mengadukan kita berdua ke polisi… yang benar saja, analisanya
itu… dia menakutkan.” Jawab kakakku lagi. “Selanjutnya kita kemana?” kakakku
bertanya. “Alex… dia sedang menuju sebuah restoran cepat saji… di jalan Gatot
Subroto” jawabku. “Aku tahu tempat itu… ayo kita kesana…” seru kakakku.
Raja Burger, satu
jam setengah sebelum insiden.
“Coba
kamu sentuh foto itu lagi, kira-kira berapa lama lagi dia akan sampai?” seru
kakakku. Aku pun mencoba menyentuh foto itu lagi dan kemudian berusaha
merasakan keberadaannya.
“Dia…
dia sudah datang…” jawabku.
“Apa?”
“Dia
ada dibelakang kita!”
Kakakku
pun mulai menoleh ke arah belakang meja kami, “Bagaimana kak, apa dia
benar-benar ada disana?”
“Ya,
aku melihatnya… arah jam 7 darimu Mia, dia datang bersama seseorang…”
“Temannya?”
“Entahlah,
ia sedikit tampak lebih tua darinya, mungkin sopirnya atau bisa juga itu
asistennya, yang menjadi pertanyaanku, mengapa orang kaya sombong sepertinya mau
makan di restoran cepat saji seperti ini?” Kakakku bertanya heran. Tiba-tiba
sebuah suara mulai terdengar di telinga kami.
“Kau
tahu Hardi, sejak kecil aku selalu ingin makan di tempat ini, Hamburger ini,
ini enak, ayo cobalah…”
“Tapi
den…” sambung suara lainnya.
“Ayoo
makanlah”
“Den…”
“Ayo
aaaaa”
“Aaamm”
“Enak
kan?”
“Apa
suara gaduh itu berasal darinya?” aku bertanya. Kakakku tampak terkekeh-kekeh
menahan tawa. “Iya… pfft… dia lucu sekali, si Alex itu, dia menyuapi temannya
sampai pipinya kembung… pffftt hahaha”
“Temannya
memanggilnya dengan sebutan den, mungkin dia semacam anak buahnya begitu?”
“Mungkin
saja, tapi pfftt… dia seolah tidak peduli dengan lingkungan sekitarnya… ini
adalah hubungan bos dan anak buah yang paling aneh yang pernah kulihat… hahaha”
kakakku masih saja tertawa kecil menyaksikan tingkah Alex di belakangku.
“Aku
tidak tahu mengapa orang-orang menyebut ini sebagai makanan sampah, padahal ini
enak sekali” suara Alex kembali berceloteh.
“Mwnurutmwu
bwegitwu?” suara dari lawan bicaranya sedikit tidak jelas. Tampaknya mulutnya
itu masih penuh dengan makanan.
“Ya
benar, meskipun aku tahu bahwa makanan ini tidak sebaik yang selalu kau
hidangkan di rumah, tapi aku mensyukurinya, maksudku, akhirnya aku
merasakannya, kau tentu tidak pernah makan bakwan dengan minyak bercampur
plastik bukan?”
“…”
tak ada jawaban.
“Itu
benar, aku pernah melihatnya, seorang pedagang memasukan plastik ke minyaknya,
dan hasilnya, bakwan itu memang terasa lebih renyah, atau bakso dengan boraks,
mie formalin dengan saus pepaya busuk, atau apapun itu, bagaimana kita
menyebutnya jika burger senikmat ini saja bisa disebut sampah?” Tanya Alex
lagi.
“Tapi
den…”
“Tapi
tapi… tapi apa?”
“Tapi
rapat hari ini…”
“Rapat
lagi, rapat lagi, apa hanya itu yang ada di pikiranmu sekarang? Sudahlah
biarkan saja PT Fabian Jaya yang mendapatkan perusahaan itu, aku tidak peduli…”
“Tapi
den, juragan…”
“Apa?
Ayahku? Jangan pikirkan dia… tugasmu disini adalah menjadi asisten pribadiku.
Ok?”
“Tapi
saya bisa dipecat juragan, den…”
“Aku
yang akan bertanggung jawab. Apa kau tahu kondisi kita tidak menguntungkan?
Orang-orang memiliki sentiment pada perusahaan ayahku, tahu sebabnya? Itu
karena ayahku orang China. Apa kau tahu berapa banyak China memberikan pekerja
kasar tanpa keahlian ke negeri ini? 24.000 orang… untuk satu perusahaannya, aku
bukan bermaksud rasis karena aku pun orang keturunan, tapi darahku berasal dari
merahnya Indonesia dan aku tahu betul apa itu kemiskinan… 33000 orang
pengangguran dalam satu wilayah kecil, bukan provinsi, setiap perusahaan
melakukan PHK massal… kita berada di masa krisis kau mengerti itu? Jika
perusahaan migas milik negara sampai jatuh ke tangan kita… aku takut itu akan
menyebabkan revolusi di negeri ini…”
“Lalu
bagaimana dengan juragan?”
“Biar
aku yang mengurusnya, kita akan beralasan bahwa kita kalah dalam tender pada
rapat pemegang saham, PT Fabian Jaya akan mendapatkan restu dari direksi
perusahaan dan kementerian BUMN… kita tidak perlu menghalangi mereka…”
“Tapi
apa itu tidak apa-apa den? PT Fabian Jaya bukanlah perusahaan dengan track
record yang bagus, banyak isu korupsi mencuat disana, masih ingat dengan
tragedi di pertambangan milik mereka? Ribuan warga terkena dampak dari
pengrusakan lingkungan yang mereka lakukan, banjir tempo hari diakibatkan
hilangnya resapan air dan jebolnya tanggul sebuah danau… semua terjadi setelah
mereka menjamah tanah itu… ditambah lagi isu pembakaran lahan hutan yang
dilakukan perkebunan kelapa sawit mereka, belum lagi kenyataan soal pekerjanya
yang merupakan bagian dari sanak family. Jika kita membiarkan manajemen
perusahaan migas negeri ini ke tangan mereka, apa yang akan mereka lakukan
selain menaikan harga bahan bakar minyak? Ini akan menyengsarakan rakyat. Apa
aden yakin akan membiarkan hal itu terjadi?”
“Kau
benar… aku jadi bingung sekarang, aku tak tahu kenapa negeri ini bukan hanya
membiarkan dirinya terjajah secara ekonomi oleh pihak asing, tapi juga
digerogoti oleh anaknya sendiri…”
“Tidak
den… bukan anaknya, tapi para pemimpinnya. Aden adalah anak Indonesia, sudah
saatnya aden menunjukan ke-Indonesiaan aden selama ini…”
Alex
terdiam sejenak.
“Kau
benar Hardi, kita harus mengambil tindakan… ayo kita siapkan mobil” jawab Alex
“Tunggu
dulu…” seru kakakku seraya mendatangi kedua orang itu.
“Siapa
kalian?” Alex bertanya.
“Perkenalkan
namaku Maya dan ini adikku… Mia”
“Hardi,
apa kamu mengenal mereka?”
“Tidak
den…”
“Aku
tidak punya waktu banyak jadi jika ada yang kalian inginkan, selesaikan
secepatnya”
“Kami
berdua juga bermaksud begitu, namun sebelum itu tolong dengar permintaan kami”
“Sumbangan?
Dana amal? Hardi urus orang-orang ini dengan baik, jika mereka hanya
menginginkan uang beri saja mereka secukupnya. Aku malas berbasa-basi…”
“Apa
katamu? Uang? Apa hanya itu yang dipikirkan olehmu? Dengar bocah albino, kami
kesini bukan untuk meminta apapun darimu, kami hanya ingin menghentikanmu untuk
pergi dari sini!”
“Hey,
jangan melawak disini, berapa yang harus kubayar, sebutkan saja.”
Kakak
lalu mengambil segelas cola dan menyiramkannya ke kepala Alex. Aku berusaha
menenangkannya.
“Hey,
pakaianku, apa yang kalian lakukan… dengar kalian harus bertanggung jawab atas
ini…”
“Maafkan
aku, anda harus percaya pada kami, jika anda pergi nyawa anda bisa terancam…”
ujarku.
“Apa
maksudmu nyawaku terancam? Kalianlah yang telah merusak hidupku sekarang…
rambutku… pakaianku… ini jas Armani! Kalian harus ganti rugi! Hardi usir mereka
dari hadapanku!”
“Permisi
nona-nona tapi kalian sebaiknya tidak disini”
“Pak,
setidaknya bapak harus percaya, mobil itu, mobil sedan hitam itu jika Alex
memakainya maka ia akan mengalami kecelakaan dalam waktu satu setengah jam
lagi…”
“Apa?”
“Itu
benar pak! Tolong percayalah pada kami…”
“Den…”
“Jangan
dengarkan mereka Hardi, mobil itu bukan mobil sembarangan, itu adalah seri Audi
R8 mobil semacam itu sudah pasti aman, mereka hanya orang iseng, jangan
dengarkan mereka”
Kakakku
kemudian mengambil pisau dari meja yang biasa digunakan untuk memotong steak.
“Ayo
Mia, jika kita tidak bisa menyelamatkannya, pisau ini mungkin bisa…”
“Ka-kakak…”
“Hey
apa yang akan kalian lakukan dengan pisau itu…!! Hey!!” Alex berteriak.
Kakakku
langsung menuju mobil milik Alex yang disebutkan tadi, dan dengan pisau tadi ia
lalu…
DDUUAAARRR!!!
Tampaknya
kakakku merobek ban mobil itu sampai meletus.
“Apa
yang kalian lakukan?! Hey Hardi ayo kejar mereka! Jangan diam saja disitu! Ayo
kejar!”
“Mia!
Ayo lari!”
Kami
berdua pun lari dari kejaran mereka berdua, beruntung kami bisa bersembunyi
dibalik semak-semak di dalam sebuah cafe, membuat Alex dan rekannya berlari
terus melewati kami.
“Sekarang
bagaimana?”
“Mungkin
lebih baik kita menuju lokasi kejadian perkara, jalan Soekarno-Hatta!”
Jalan
Soekarno-Hatta beberapa menit sebelum insiden.
“Tadi
itu… menegangkan sekali bukan? Haah… haaah… kita berurusan dengan dua
konglomerat muda karena penglihatanmu itu. Sekarang kita lihat apakah takdir
yang kau lihat itu benar adanya…” ujar kakakku.
“Yah…
tapi… ada yang aneh”
“Aneh?
Apa?”
“Saat
aku menyentuh mobil Alex… aku tidak mendapatkan penglihatan apapun soal
kecelakaan”
“Yah
barangkali… itu artinya dia akan selamat… kita sudah menggembosi ban mobilnya
ingat?”
“Tapi
tetap saja, ada yang janggal… saat aku menyentuh wajah Erik, aku masih bisa
merasakan bahwa ia akan mengalami kecelakaan itu… tapi Alex, aku memang tidak
menyentuhnya, tapi aku tahu betul bahwa mobil yang akan bertabrakan itu adalah
mobil yang sama yang kita gembosi tadi…”
“Sudahlah
saat ini kita harus berpikir positif, Erik sendiri yang bilang bahwa dia tidak
pernah memiliki mobil berwarna kuning seperti yang kamu katakan… kita tunggu
saja… berapa lama lagi?”
Kakakku
menyodorkan jam tangannya, dan aku berusaha membacanya.
“Sekitar
15 menit lagi…”
“Waw.
Lihat itu, tadi aku hanya mengetesmu, rupanya kau lebih hebat dari yang kukira,
kau bisa membaca jam tanganku… dan rupanya waktunya tidak berubah, semua
terjadi pada jam 1 siang ini, baiklah itu sebentar lagi kan?”
15 menit kemudian
“Sudah
jam 1. Tidak ada tanda-tanda akan kemunculan kecelakaan..”
“Tunggu,
entah kenapa aku masih merasa was-was… ada yang aneh… kita tunggu sebentar
lagi…”
15 menit berikutnya
“Hey,
ini sudah jam 1 lebih seperempat… sudahlah, kecelakaan itu tidak terjadi,
thanks for us… kita berhasil menyelamatkan dua pemuda dari kecelakaan ini dan
sebagai gantinya Erik dan Alex mungkin akan mengincar kita karena telah…”
“Kumohon
tunggu dulu kak… mata… mataku… rasanya… sakit sekali…”
“Mi…
mia… apa kau tidak apa-apa?”
“Mataku…
entahlah… rasanya sakit…”
“Ba…
bagaimana ini… kita… ah kita pergi ke rumah sakit saja, kita lupakan dulu soal
ini…”
“Tidak
kak, tunggu… tunggu dulu… sebentar lagi…”
15 menit
selanjutnya. Pukul 13.30
“Mataku…
aaarrrgghh…”
“Persetan
sudah… ayo kita pergi, aku tak tahan jika harus melihatmu kesakitan seperti
ini…”
Kakakku
kemudian memapahku untuk berjalan.
“Tidak
kak… aku masih bisa merasakannya…”
“Sudahlah…”
Kriing…kriing…kriing…
tiba-tiba suara bel sepeda ontel melintas diantara kami…
“Suara
itu… suara itu rasanya aku pernah mendengarnya…”
“Apa?
Hanya suara sepeda, sudahlah… jangan berpikir yang lain-lain dulu… ini sudah
jam setengah dua… baru kali ini ramalanmu bisa dirubah hasilnya… hahahaha…”
“Tidak,
biasanya, itu tidak pernah terjadi, aku berpikir bahwa hasilnya mungkin bisa
berubah, tapi aku tidak tahu kalau waktunya akan berubah juga…”
Kakakku
terdiam dan menghentikan langkahnya.
“Kak…”
“Sial…
sial… sial….”
“Kak?”
“Aku
lupa…”
“Kakak
lupa?”
“Selama
ini agar aku tidak selalu terlambat dan bangun kesiangan, aku selalu
mempercepat waktu jamku sekitar setengah jam…”
“Itu
artinya…”
Barulah
aku ingat. Aku mendengar suara bel sepeda itu dalam penglihatanku… ya, aku
mendengarnya, itu artinya, kejadian itu memang akan terjadi dan sesaat kami
berdua terdiam, tiba-tiba suara mesin kencang sebuah mobil terdengar… disusul
suara hantaman keras yang kemudian disambut dengan jeritan dan pekik kesakitan.
Aku seolah bahkan dalam kebutaanku, aku telah melihat sebuah kejadian yang
mengerikan… sebuah suara yang menggaung, benturan logam yang terhempas… semua
suara itu… semua suara itu telah kudengar dari penglihatanku sebelumnya…
“Tidak…
Mia…”
“Ka…
kakak..”
“Aku…
aku melihatnya… sepeda tadi… dan itu… itu Erik… ia… dia…”
“A…
ada apa kak? To… tolong jelaskan… tolong jelaskan apa yang terjadi kak…”
“Sepeda…
Erik… dia…”
“…”
“Erik
mengendarai mobil kuning yang kau sebutkan itu dan menabrak pemuda bersepeda
yang melintasi kita tadi…”
“A…
apa…?”
“E…
Erik juga melarikan diri… dia melarikan diri dengan mobilnya…”
“Lalu…
lalu apa yang terjadi dengan pemuda bersepeda tadi kak?”
“Keadaannya…
tampaknya ia sudah tak terselamatkan… ia mengalami pendarahan parah…”
“Bagaimana
ini… apa yang harus kita lakukan sekarang?”
“Ayo…
kita pergi… kita tidak boleh berada disini…”
“Tapi
kak…”
“Kubilang
ayo pergi! Apa kau ingin bersaksi atas kejadian ini? Wajah kita telah diketahui
oleh Erik ingat? Dia tidak akan melepaskan kita sekarang… sama sepertinya, kita
juga harus lari dari masalah ini… kuharap pengendara sepeda itu baik-baik saja…
jika Erik sampai terjerat hukum, kesaksiannya tentang pertemuannya dengan kita
akan merepotkan… sebaliknya jika ia selamat, maka Erik akan mengincar kita
untuk menggunakan kemampuanmu…”
Itulah
lucunya masa depan. Kita tak pernah tau masa depan akan berpihak pada siapa,
tidak peduli apakah kau bisa mengubahnya atau tidak. Karena sejatinya waktu
terus berubah, takdir tidak terpaku dari apa yang harus terjadi, melainkan apa
yang telah diusahakan. Takdir tidak memihak. Begitu juga dengan kematian, tak
ada diskriminasi disini. Tak ada kompromi. Aku dan kakakku mungkin telah
mengubah takdir, namun hasilnya sama saja. Kematian. Tidak penting apakah
nilainya satu atau dua jiwa, kematian tidak bisa ditunda. Seperti ucapanku
pertama kali. Terkadang takdir, tidak berkaitan dengan perubahan. Karena
perubahan pada takdir hakekatnya adalah takdir itu sendiri. Dan jika ada karma,
maka apa karma buatku? Aku telah kehilangan penglihatanku dan penglihatanku
yang lain tidak memiliki manfaat banyak. Pada akhirnya, kami telah lari dari
masa depan yang telah kami ciptakan.
Mahasytem Chapter
Three
“The Blind
Future”
End.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar